Liputan6.com, Jakarta - Ketua Kamar Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung (MA), Yulius, mengingatkan agar kondisi aset yang diserahkan obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) harus bebas dari masalah. Menurut Yulius, hal itu tertera dalam mekanisme Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) yang ditandangani pemerintah dengan pemegang saham pengendali (PSP) bank penerima BLBI.
“Sesuai dengan MSAA, semua aset yang diserahkan ke negara wajib clear and clean, tidak boleh ada yang bermasalah,” kata Yulius, saat menghadiri acara Focus Group Discussion (FGD) Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI (Satgas BLBI) di Hotel Hilton, Bandung dalam keterangan diterima, Kamis (27/7/2023).
Baca Juga
Yulius menjelaskan, merujuk mekanisme MSAA, PSP bank wajib membuat pernyataan mengenai kondisi aset yang diserahkan (disclosure), juga pernyataan yang menjamin tidak adanya masalah pada aset tersebut (representation & warranties). Melalui pernyataan itu, para obligor BLBI semestinya tidak menyembunyikan informasi apa pun serta menyampaikan informasi yang sebenarnya.
Advertisement
“Jika aset yang diserahkan ke negara tersebut ternyata tidak clear and clean, maka obligor telah melakukan pembohongan kepada negara," jelas Yulius.
Yulius mewanti, tindakan itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Sebab negara dirugikan karena aset obligor BLBI tidak tidak bisa dijual. Artinya, jaminan atas kebenaran pernyataan obligor sangat penting untuk memastikan kondisi aset benar-benar bersih.
“Sehingga negara betul-betul mendapatkan aset yang bersih dan bisa dijual untuk mengganti kerugian negara,” harap Yulius.
Dia menegaskan, siapa pun pengemplang dana BLBI wajib membayar utangnya kepada negara.
“Siapa pun itu ya tanpa pandang bulu,” dia memungkasi.
Negara Terus Kejar Target Obligor BLBI
Sebagai informasi, berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2021, nilai aset eks BLBI kurang lebih Rp.110,45 triliun.
Hingga 30 Mei 2023 atau dua tahun sejak dibentuk tahun 2021, Satgas BLBI berhasil mengamankan aset dan penerimaan negara bukan pajak (PNPB) dengan jumlah aset seluas 3.980,62 hektar dan estimasi nilai sebesar Rp.30,65 triliun.
Namun demikian, capaian tersebut baru 27,75 persen dari yang ditargetkan pemerintah. Hal itu disebabkan pelbagai kendala, seperti perbedaan hitungan utang antara data pemerintah dengan klaim obligor, termasuk informasi mengenai keberadaan dan nilai aset.
Advertisement