Sukses

Istri Eks Kepala Bea Cukai Makassar Dicecar soal Uang yang Dinikmati Suami dari Ekspor Impor

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Nurlina Burhanuddin, istri mantan Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono pada Jumat, 28 Juli 2023, di Gedung KPK.

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Nurlina Burhanuddin, istri mantan Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono pada Jumat, 28 Juli 2023, di Gedung KPK.

Nurlina diperiksa berkaitan dengan kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Dirjen Bea Cukai yang menjerat Andhi Pramono.

Selain Nurlina, pada hari yang sama tim penyidik KPK juga turut memeriksa dua pegawai negeri sipil (PNS) bernama Agus Triono dan Rully Ardian serta karyawan swasta bernama Fani Pontiafny. Mereka diperiksa di gedung KPK.

"Para saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan aliran uang yang dinikmati tersangka AP (Andhi Pramono) dari berbagai pihak swasta. Di samping itu terkait dengan jabatan tersangka AP yang memberikan kemudahan ke beberapa pengusaha dalam kegiatan ekspor impor dengan imbalan sejumlah uang," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (31/7/2023).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan mendalami unsur kerugian keuangan negara yang dilakukan mantan Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono karena memudahkan ekspor dan impor barang secara ilegal.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut, Andhi Pramono diduga bersekongkol dengan eksportir dan importir untuk memudahkan memasukkan maupun mengeluarkan barang secara ilegal. Diduga dalam hal ini tak hanya Andhi Pramono yang terlibat.

"Bisa dimungkinkan juga bahwa antara importir itu bersekongkol dengan petugas Bea Cukai untuk memudahkan atau memberikan fasilitas kemudahan sehingga barang-barang yang seharusnya itu tidak boleh masuk jadi boleh masuk. Atau barang-barang yang seharusnya dikenakan tarif tertentu kemudian dikenakan tarif yang tidak seharusnya," ujar Alex dalam keterangannya, Senin (10/7/2023).

Alex menyebut persekongkolan tersebut merugikan perekonomian negara karena bisa menyebabkan perusahaan-perusahaan tak mendapatkan pendapatan yang seharusnya. Malah, kata Alex, bisa saja perusahaan tersebut bangkrut karena praktik culas oknum Bea Cukai.

"Dalam hal ini tentu akan terjadi kerugian negara, mungkin juga kerugian perekonomian karena, misalnya, dengan banjirnya tekstil importir bisa menyebabkan pabrik-pabrik tekstil kita banyak yang tutup. Nah, itu kan kerugian perekonomian nyata sekali, sehingga menimbulkan dampak pengangguran di sektor industri tekstil," kata Alex.

Atas dasar itu, Alex menyatakan KPK akan mendalami unsur kerugian keuangan negara dalam perbuatan pidana Andhi. Pasal tentang kerugian keuangan negara bisa diterapkan ke Andhi seiring pengembangan penyidikan dugaan penerimaan gratifikasi.

"Tentu nanti akan didalami apakah gratifikasi-gratifikasi yang diterima oleh yang bersangkutan karena yang bersangkutan memberikan fasilitas atau kemudahan ekspor atau impor barang tersebut," kata Alex.

2 dari 2 halaman

KPK Tahan Andhi Pramono

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan mantan Kepala Kantor Bea Cukai Makassar Andhi Pramono. Andhi ditahan usai diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu).

"Untuk kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan tersangka dimaksud selama 20 hari pertama, terhitung 7 Juli 2023 hingga 26 Juli 2023 di Rutan KPK pada gedung Merah Putih," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jumat (7/7/2023).

Alex menyebut, Andhi diduga telah menerima gratifikasi selama menjabat sebagai pegawai di Bea Cukai sebesar Rp28 miliar. Uang gratifikasi ini digunakan Andhi untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

"Diduga AP membelanjakan, mentransfer uang yang diduga hasil korupsi dimaksud untuk keperluan AP dan keluarganya, diantaranya dalam kurun waktu 2021 dan 2022 melakukan pembelian berlian senilai Rp652 juta, pembelian polis asuransi senilai Rp1 miliar dan pembelian rumah di wilayah Pejaten, Jaksel senilai Rp20 miliar," kata Alex.

Alex menyebut Andhi Pramono menjadi makelar barang di luar negeri dan memberi karpet merah kepada pengusaha yang bergerak di bidang ekspor-impor. Andhi Pramono melakukan aksinya itu sejak 2012 hingga 2022.

"Dalam jabatannya selaku PPNS sekaligus pejabat eselon III di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, diduga memanfaatkan posisi dan jabatannya tersebut untuk bertindak sebagai broker atau perantara dan juga memberikan rekomendasi bagi para pengusaha yang bergerak di bidang ekspor-impor sehingga nantinya dapat dipermudah dalam melakukan aktivitas bisnisnya," kata Alex.

Alex menyebut, Andhi diduga menghubungkan antarimportir untuk mencarikan barang logistik yang dikirim dari wilayah Singapura dan Malaysia yang di antaranya dikirim ke Vietnam, Thailand, Filipina, Kamboja. Dari rekomendasi dan tindakan makelar yang dilakukannya, Andhi diduga menerima imbalan sejumlah uang dalam bentuk fee.

Menurut Alex, setiap rekomendasi yang dibuat dan disampaikan Andhi diduga menyalahi aturan kepabeanan termasuk para pengusaha yang mendapatkan izin ekspor-impor yang tidak berkompeten.

Siasat yang dilakukan Andhi untuk menerima fee di antaranya melalui transfer uang ke beberapa rekening bank dari pihak-pihak kepercayaannya yang merupakan pengusaha ekspor-impor dan pengurusan jasa kepabeanan dengan bertindak sebagai nomine.

Tindakan Andhi itu diduga sebagai upaya menyembunyikan sekaligus menyamarkan identitasnya sebagai pengguna duit yang sebenarnya untuk membelanjakan, menempatkan, maupun dengan menukarkan dengan mata uang lain.

Di sisi lain, lanjut Alex, KPK juga menemukan adanya transaksi keuangan melalui layanan perbankan melalui rekening bank milik Andhi dan ibu mertuanya, Kamariah.

"Pada proses penyidikan, ditemukan adanya transaksi keuangan melalui layanan perbankan melalui rekening bank milik Andhi dan ibu mertuanya," pungkas Alex.

Andhi disangkakan melanggar Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Serta Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Â