Sukses

Johanis Tanak Mengaku Diintimidasi Saat Minta Maaf ke TNI, Penyidik KPK Kecewa

Dalam audiensi dengan pegawai, Johanis Tanak mengaku menyalahkan anak buahnya karena mendapatkan intimidasi.

Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak meminta maaf kepada para penyelidik dan penyidik lembaga antirasuah saat audiensi antara pimpinan dan pegawai pada Senin (31/7/2023). Johanis Tanak meminta maaf karena telah menyalahkan tim penindakan dalam pengusutan kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas.

Dalam dugaan suap pengadaan alat pendeteksi korban retuntuhan ini diduga melibatkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, serta tiga pihak swasta.

Dalam audiensi dengan pegawai, Johanis mengaku menyalahkan anak buahnya karena mendapatkan intimidasi. Namun, Johanis tak menjelaskan bentuk intimidasi yang dia terima. Liputan6.com sudah berusaha menghubungi Johanis, tapi belum mendapatkan respons.

Menurut sumber penegak hukum di KPK, saat Johanis Tanak meminta maaf kepada pegawai karena adanya intimidasi, Johanis langsung disoraki. Bagaimana tidak, para pegawai kecewa dengan Johanis Tanak karena pegawai menganggap Johanis memiliki sifat yang pengecut.

"Penyidik sangat merasa kecewa dengan sikap tidak ksatria Tanak dan Alex serta Ghufron. Kami tidak rela dipimpin pengecut," ujar sumber internal Liputan6.com, Senin (31/7/2023).

Sumber menyebut pegawai merasa heran dengan sikap Johanis yang takut adanya intimidasi. Padahal, Johanis hanya bekerja di balik meja. Kalau pun pergi, Johanis selalu mendapatkan pengawalan. Sementara penyelidik dan penyidik yang bekerja di lapangan lebih riskan dengan intimidasi.

Contoh yang sudah terlihat jelas, yakni Novel Baswedan saat masih menjadi penyidik di lembaga antirasuah. Novel Baswedan berkali-kali mendapatkan ancaman hingga akhirnya harus kehilangan penglihatannya. Bahkan, usai kehilangan penglihatan, Novel Baswedan tetap tak takut memberantas korupsi hingga akhirnya disingkirkan lewat tes wawasan kebangsaan.

Novel Baswedan diketahui disiram air keras pada 11 April 2017 saat pulang menunaikan ibadah salat subuh. Padahal posisi masjid dengan kediaman Novel Baswedan hanya berjarak tak lebih dari 100 meter. Akibatnya, mata kiri Novel Baswedan buta permanen, sementara mata kanannya juga tak bisa melihat dengan sempurna.

Jauh sebelum terjadinya penyerangan air keras terhadap Novel, beberapa pimpinan dan pegawai KPK juga pernah mendapatkan ancaman hingga berujung kriminalisasi dikutip dari beberapa sumber menyebutkan pada 2009 dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Candra Hamzah diduga dikriminalisasi dengan dijerat Pasal 23 UU Tindak Pidana Korupsi jo pasal 421 KUHP Tentang Penyalahgunaan Wewenang.

2 dari 2 halaman

Kriminalisasi Pimpinan KPK Terhadulu

Rekayasa krimanalisasi Bibit-Candra terkuak ketika rekaman percakapan Anggodo Widjojo dengan sejumlah orang diputar di Mahkamah Konstitusi (MK). Rekaman yang berdurasi 4,5 jam itu terdiri dari sembilan bagian yang berisi, mulai dari Anggodo meminta bantuan Kejaksaan dalam mengkriminalisasi Bibit-Candra, sampai rencana pembunuhan terhadap Chandra Hamzah.

Kemudian kriminalisasi juga dialami Bambang Widjojanto atau BW saat menjadi wakil ketua KPK. Pada Januari 2015 BW dijadikan tersangka padahal pasal tindak pidananya tidak diketahui secara pasti. Penangkapan BW dinilai sebagai reaksi dari ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK.

BW tiba-tiba ditangkap tanpa ada proses pemanggilan. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru dikirimkan sore hari setelah BW ditangkap. BW disangka terlibat dalam memberi keterangan palsu dalam persidangan di MK. BW dituduh menyuruh para saksi memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa pilkada di Kotawaringin Barat pada 2010.

Begitupun juga Novel Baswedan yang mengalami kriminalisasi. Novel dibawa ke Bareskrim Polri 1 Mei 2015 dini hari dan menjalani pemeriksaan pada pagi buta tanpa didampingi kuasa hukum. Selang beberapa jam, Novel diboyong ke Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok, untuk melanjutkan pemeriksaan.

Sore harinya, tiba-tiba penyidik Polri membawa Novel ke Bengkulu untuk menjalani rekonstruksi. Saat itu tak ada seorang pun kuasa hukum yang mendampinginya. Padahal rekonstruksi seharusnya didampingi penasihat hukum supaya lebih tepat, namun permintaan Novel untuk didampingi oleh kuasa hukumnya tidak dipenuhi.

Novel kemudian dijadikan tersangka pada 1 Oktober 2012 oleh Polres Bengkulu atas dugaan penganiayaan seorang pencuri sarang burung walet hingga tewas pada tahun 2004 saat ia menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu.

Kemudian teror Bom di kediaman penyidik KPK Afief Julian Miftach pada Juli 2015. Afief menemukan benda mencurigakan di rumahnya sekitar pukul 22.00 WIB saat dirinya baru pulang ke rumah. Mendapat benda mencurigakan tersebut, Arief langsung menghubungi Polsek Bekasi Selatan.

Benda tersebut dicurigai sebagai bom karena dilengkapi detonator dan diletakkan di depan pagar rumah. Namun, setelah diperiksa, rangkaian tersebut ternyata hanya berisi stereofoam dan tidak memiliki daya ledak.

Kemudian pada 2015, BW yang saat itu masih menjadi pimpinan KPK membenarkan informasi adanya ancaman pembunuhan terhadap sejumlah penyidik KPK yang menangani kasus dugaan korupsi Komisaris Jenderal BG. Tak hanya penyidik KPK, teror juga dialami oleh keluarga penyidik KPK.

Kemudian, pada Rabu 9 Januari 2019, sebuah benda mirip bom berisi botol spiritus dengan sumbu serupa molotov teronggok di depan garasi rumah Wakil Ketua KPK Laode Mohammad Syarif. Tepatnya di Jalan Kalibata Selatan 42C Jakarta Selatan. Kala itu, jam masih menunjukkan pukul 05.30 WIB.

Pada waktu hampir bersamaan, sebuah benda mirip bom rakitan ditemukan di rumah Ketua KPK Agus Rahardjo, di Graha Indah, Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat. Benda mencurigakan itu terbungkus tas berwarna hitam dengan beberapa kabel, pipa paralon, baterai, paku, dan serbuk menyerupai rangkaian bom rakitan. Belakangan diketahui bom tersebut palsu.

Â