Sukses

Pakar Hukum Soroti Kejagung Periksa Airlangga Hartarto: Kebijakan Tak Bisa Dikriminalisasi

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Gde Pantja Astawa menyoroti pemeriksaan Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto di kasus mafia minyak goreng.

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Gde Pantja Astawa menyoroti pemeriksaan Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto di kasus mafia minyak goreng, yaitu perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit periode Januari 2022 sampai dengan April 2022.

"Persoalannya ini kan minyak goreng sudah normal kembali. Nah, masalahnya kenapa kemudian diungkit lagi. Itu yang menjadi pertanyaan saya. Kalau memang dikaitkan dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sehingga menyebabkan beliau dipanggil, apa motivasinya saya nggak tahu," tutur Gde kepada Liputan6.com, Rabu (2/8/2023).

Jika pemeriksaan itu hanya terkait dengan kebijakan Menko Perekonomian, lanjut Gde, tentu merupakan hal yang wajar lantaran Kemenko Perekonomian memang mengkoordinir beberapa kementerian terkait, di antaranya Kemendag, Kemenperin, Kementan, dan lainnya.

"Artinya kebijakan di bidang perekonomian tentu disepakati oleh semua kementerian yang ada yang dikoordinir, termasuk yang menyangkut minyak goreng. Nah sekarang persoalan minyak goreng sudah ditetapkan lima terdakwa dan sudah dihukum, minyak goreng sudah kembali normal tidak lagi seperti dulu hilang di pasaran, harganya meroket yang meresahkan masyarakat. Karena itu pertanyaan saya apa yang dipersoalkan kembali," jelas dia.

Berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung (MA) soal pengembalian kerugian keuangan negara kasus korupsi CPO dibebankan terhadap tiga tersangka korporasi, Gde berpendapat harusnya penyidikan lanjutan lebih condong ke pihak perusahaan swasta.

"Kan pertanyaan saya apa urusannya kembali diungkit dan meminta keterangan dari Menko Perekonomian Pak Airlangga. Apakah ada kaitannya dengan kebijakan yang berubah-ubah, yang pernah dikeluarkan Menteri Perdagangan sebelum Pak Lutfi diberhentikan dari Mendag kan. Apakah memang ada hubungannya ketika Pak Lutfi menjadi Mendag, kan mengeluarkan peraturan yang cepat sekali berubah-ubah,” katanya.

"Mungkin Pak Airlangga dimintai keterangan ada apa sebenarnya terjadi perubahan-perubahan terus sehingga menimbulkan kebingungan bagi perusahaan yang bergerak di bidang minyak goreng. Ya tentu yang tahu itu Kejagung,” sambungnya.

2 dari 2 halaman

Pakar Sebut Kebijakan Tak Bisa Dikriminalisasi

Adapun soal Kejagung yang menyebut adanya benang merah antara Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dengan mantan Mendag Muhammad Lutfi di kasus mafia minyak goreng, Gde menegaskan tidak bisa begitu saja menyimpulkan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan keduanya.

"Ya kita nggak bisa secara apriori menyuruh orang, belum tentu. Bahwa ada kaitannya iya. Saya bisa katakan iya, karena itu berbicara tentang perekonomian, antara lain minyak goreng. Bisa jadi dalam konteks ini Pak Airlangga dipanggil untuk konfirmasi apakah anda pernah mengeluarkan kebijakan di bidang perekonomian pada umumnya, dan khususnya di bidang minyak goreng," beber Gde.

"Nggak salah kalau beliau dimintai keterangan seperti itu. Enggak ada masalah menurut saya. Yang jelas pasti ada korelasi dalam arti hubungan kerja. Cuma sekali lagi kembali ke awal, apakah kemudian kebijakan itu bisa dikriminalisasi," tukasnya.

Gde menerangkan, kebijakan itu tidak dapat lepas kaitannya dengan kewenangan bebas atau vrij bevoegdheid, discretionary power atau Freies Ermessen. Secara singkat, Freies Ermessen dalam konteks pemerintahan merupakan kebebasan yang diberikan kepada badan/pejabat pemerintah/Administrasi Negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan Administrasi Negara terhadap kehidupan sosial ekonomi warga negara yang semakin kompleks.

Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, Freies Ermessen dilakukan oleh Administrasi Negara dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in concreto terhadap suatu masalah tertentu;

2. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat Administrasi Negara memberikan kebebasan sepenuhnya; dan

3. Adanya delegasi perundang-undangan, maksudnya Administrasi Negara diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri hal-hal yang tidak ada pengaturannya untuk menjawab persoalan konkret yang dihadapi.

"Kewenangan bebas, diskresi, atau Freies Ermessen itu melekat pada Administrasi Negara/Pejabat Pemerintah atau inherent aan het bestuur yang diaktualisasikan ke dalam bentuk kebijakan. Suatu kebijakan tidak mungkin dapat dituntut untuk diajukan ke pengadilan, apalagi dikenakan sanksi pidana, karena dasar hukum kebijakan yang akan menjadi dasar penuntutannya memang tidak ada," tuturnya.

Dengan kata lain, ujar Gde, pengadilan tidak boleh mengadili kebijakan lantaran hakim tidak boleh mempertimbangkan doelmatigheid dari suatu perbuatan pemerintah, sebab fungsi dan kompetensi peradilan dalam suatu negara hukum hanya terbatas pada aspek rechtmatigheid.

Mengutip pernyataan Belinfante, bahwa hakim tidak boleh duduk di atas kursi administrasi, yang memikul tanggungjawabnya sendiri. Atas dasar itu, ketika hakim memberikan pertimbangan terhadap tindakan Administrasi Negara dalam bentuk kebijakan yang diajukan kepadanya, haruslah menghormati kebijakan Administrasi Negara.

"Hakim tidak boleh menilai lagi pertimbangan kepentingan kekuasaan Administrasi Negara. Dengan demikian, kebijakan tidak dapat dikriminalisasi atau dipidana," Gde menandaskan.

 

Video Terkini