Liputan6.com, Jakarta - Penetapan tiga perusahaan di sektor industri sawit yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan minyak goreng membuat para pelaku usaha khawatir.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menaruh perhatian dalam penetapan tiga perusahaan sawit yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung. Dia melihat, pelaku usaha ditempatkan pada posisi tidak menguntungkan lantaran kebijakan dari pemerintah.
Baca Juga
Dia menyebut, para pelaku usaha pada prinsipnya menjalankan kebijakan pemerintah dalam hal penyediaan dan pengendalian harga minyak goreng, namun justru tak mendapat perlindungan dari pembuat kebijakan itu sendiri.
Advertisement
"Pemerintah membuat aturan tersebut guna mengatasi kelangkaan minyak goreng di mana-mana kan? Dalam situasi itu, pengusaha mungkin juga mau ambil kesempatan untung juga, namanya juga pengusaha. Tapi sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengusaha yang berinvestasi di Indonesia," ujar Agus dalam keterangannya, Selasa (8/8/2023).
Harus Ada Penjelasan Batasan Tindakan yang Dianggap Pelanggaran
Sementara, Ahli Hukum Pidana UNPAD Nella Sumika Putri mengatakan, sebelum memproses perkara tersebut, ada baiknya pemangku kebijakan menjelaskan gamblang batasan tindakan mana yang dilakukan tiga perusahaan sawit tersebut yang dianggap pelanggaran.
Menurut dia, penting menegaskan apakah yang dilakukan perusahaan-perusahaan itu murni karena melakukan tindakan pidana, atau menjalankan kebijakan yang dibuat pemerintah.
"Harus kita buat batasan dulu. Kalau memang melakukan pidana itu bisa dikenakan hukuman, tapi berbeda kalau perusahaan ini melakukan atau melaksanakan aturan yang dibuat oleh pemerintah," kata dia dihubungi terpisah.
Dia mengatakan hal ini penting untuk mengetahui duduk perkara, sejauh mana tindakan perusahaan dilindungi oleh aturan. Menurut dia, dalam hal ini para pelaku usaha tengah menjalankan kebijakan pemerintah dalam hal pengadaan minyak goreng murah bagi masyarakat.
Menurutnya, bila yang dilakukan oleh perusahaan itu melaksanakan aturan hukum yang dibuat pemerintah, maka apa yang dilakukan perusahaan tersebut bisa dibenarkan. Ada alasan pembenar melakukan perbuatan itu, menurut Nella.
"Contohnya, ada sebuah produk ada aturan HET-nya maksimal Rp1.000, namun karena keadaan tertentu ada suatu aturan lain yang membuat orang boleh jual di atas HET, contoh dia jual Rp1.500, nah yang dilakukan orang itu dibenarkan oleh hukum, karena ada aturan yang dibuat oleh pemerintah," kata dia mencontohkan.
Ia melanjutkan, para pelaku usaha yakin pihaknya tak bersalah karena menjalankan aturan pemerintah dalam hal penyediaan minyak goreng murah, bisa melakukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berupa Defered Prosecution Agreement atau penangguhan tuntutan.
Hal itu merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan.
"Itu ada di pasal 80 KUHP. Hakim bisa menunda penuntutan sambil menunggu tuntutan di PTUN selesai dulu, jadi dilihat nantinya apakah aturan tersebut benar atau tidak, tentunya putusan PTUN akan berpengaruh pada kasus yang diusut tersebut," ucap dia.
Ia menegaskan, lantaran pentingnya pembuktian apakah ada kesalahan dari sisi aturan yang dijalankan pengusaha, maka ada baiknya proses penuntutan ditunda sampai ada pembuktian apakah tindakan yang dilakukan para pelaku usaha sudah sesuai dengan aturan yang dibuat pemerintah atau tidak.
"Nanti di ranah PTUN kita bisa tahu apakah aturan yang dibuat itu benar atau salah. Kalau aturan itu benar, orang yang menjalankan aturan tersebut tidak boleh disalahkan," tegas dia.
Â
Advertisement