Liputan6.com, Jakarta - Pagi itu, Rabu, 9 Agustus 2023, bersama kedua koleganya, Eko Yulianto berangkat dari Kota Bandung, Jawa Barat menuju Kabupaten Pandeglang, Banten. Para ilmuwan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu ke Selat Sunda untuk memecahkan misteri mengenai Gunung Krakatau Purba atau Proto Krakatau secara penelitian ilmiah.
Hampir enam hari Eko bersama tim mengumpulkan berbagai sampel yang ada di sekitar Selat Sunda untuk diidentifikasi umurnya. Mulai dari endapan-endapan tsunami hingga koral yang masih tersisa. Sebab koral yang ada sudah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk pembangunan.
Eko mengaku berdasarkan temuan beberapa waktu lalu atau penelitian sebelumnya, terdapat sejumlah indentifikasi. Yaitu dari hasil endapan tsunami yang dijumpainya di daerah Wanasalam, Lebak, Banten.
Advertisement
Endapan tersebut teridentifikasi berusia sekitar 1.600 tahun yang lalu. "Kami mengacu pada hasil tarikan umur endapan. Ini yang mendorong kita membuktikan bahwa erupsi dahsyat pada tahun 535 berkaitan dengan letusan proto Krakatau," kata Eko kepada Liputan6.com.
Sebagai Geolog BRIN, Eko berencana membandingkan apa yang tertera di "Pustaka Raja Jawa" dengan penelitian ilmiah. Berdasarkan teks kuno Pustaka Raja Purwa itu, kemungkinan menggambarkan erupsi dahsyat gunung yang berada di Selat Sunda, antara Jawa dan Sumatra pada tahun 535. Tepat di lokasi Gunung Krakatau berada.
"Kami tidak punya catatan lain. Dan yang jelas, catatan di dalam babad 'Pustaka Raja Purwa' itu bersifat agak mitologis. Maksudnya entah kiasan, entah imajinasi, tapi menggambarkan sebuah peristiwa yang luar biasa," ucap dia.
Bukti lain tercatat oleh alam. Aerosol atau gas yang dikeluarkan dalam peristiwa letusan gunung api purba pada tahun 535 terekam jejaknya di Kutub Utara dan Kutub Selatan.
Pemicu Malapetaka 535
Selama ini sejumlah orang berusaha mencari lokasi di mana gunung pemicu malapetaka 535/536 berada. “Karena bukti aerosol-nya ditemukan dari Kutub Utara maupun Kutub Selatan, maka orang banyak berpendapat bahwa sumbernya ada di daerah khatulistiwa," ucap dia.
Menurut Eko, banyak hipotesis awal untuk memecahkan misteri peristiwa 535 tersebut. Beberapa pihak ada yang menduga letusan tersebut terjadi di Amerika Selatan yang termasuk wilayah garis khatulistiwa.
Ada pula yang memperkirakan peristiwa itu terjadi di Greenland hingga Islandia. Namun, Eko cukup optimistis dengan adanya temuan sebelumnya.
Selain berpegangan pada "Pustaka Raja Purwa", Eko juga menyebut terdapat beberapa hipotesis awal yang ada dalam buku "Catastrophe: An Investigation into the Origin of the Modern World" karya David Keys yang bisa dijadikan bahan.
Misalnya terkait hancurnya dan berakhirnya puluhan kerajaan di wilayah Sumatera bagian selatan dan Jawa bagian barat. Sebab, setelah peristiwa besar tersebut lahirlah sejumlah kerajaan-kerajaan baru. Salah satunya yaitu kerajaan tertua Hindu di Jawa Barat, Tarumanegara.
Sementara itu secara penelitian ilmiah catatan mengenai peristiwa erupsi tahun 1883 banyak ditemukan dibandingkan dengan peristiwa 535. Sebab survei pada Gunung Krakatau sudah mulai dilakukan oleh peneliti asal Belanda dua tahun usai peristiwa terjadi. Dokumentasi dan catatannya dijadikan acuan.
Untuk membuktikan atau memverifikasi terjadinya letusan Proto Krakatau atau periode 535 Eko akan menyusuri sejumlah wilayah mulai dari Banten dan Lampung. Sebab jika berdasarkan waktu kejadian tahun 1883, angin muson bergerak dari tenggara ke barat laut.
Sehingga diperkirakan berbagai batu apung dilontarkan ke udara dan angin cenderung mendorong ke arah barat. Atau adanya hipotesis berbagai bahan penelitian untuk peristiwa 535 kemungkinan banyak ditemukan di wilayah Sumatera.
"Tahun 2003, sebuah rawa kecil di sisi Banten sekitar 20 kilometer dari garis pantai, saya ngebor di situ untuk penelitian perubahan lingkungan. Menariknya, di tahun yang berdekatan dengan 535, ada perubahan vegetasi yang sangat drastis," ucapnya.
Salah satunya yaitu muncul serbuk sari salak secara tiba tiba dan melimpah. Hal tersebut pun menjadi tanda tanya yang berkaitan dengan peristiwa letusan.
"Analoginya misal salak banyak sekali di sekitar Gunung Merapi atau di tempat lain yang berpasir. Ini setidaknya menjadi indikasi-indikasi di sekitar Selat Sunda. Dan perubahan-perubahan itu terjadi, bisa kita sebut sementara insidentil. Bisa jadi ini bukti dari peristiwa itu," papar Eko.
Malapetaka Dunia 535-536 Dipicu Nenek Moyang Gunung Krakatau?
Malapetaka melanda dunia pada tahun 535/536. Jutaan manusia meregang nyawa karena kekeringan, kelaparan, wabah, dan huru-hara perang. Penyebabnya masih misterius. Namun, diduga jawabannya ada di Selat Sunda, di mana Gunung Anak Krakatau berada.
Bukan gunung itu yang bikin gara-gara, bukan pula Krakatau, induknya yang meledak dahsyat pada 1883. Yang jadi tersangka adalah nenek moyangnya, Gunung Batuwara.
Catatan menyebut, apa yang terjadi pada 535, 536, dan setelahnya adalah salah satu bencana alam paling parah dalam sejarah peradaban manusia, memicu Abad Kegelapan (Dark Ages) 100 tahun lamanya.
Para sejarawan kuno mencatat perilaku aneh Matahari yang tiba-tiba meredup. Tercekik kabut tebal, Sang Surya tak mampu menyalurkan panasnya. Langit siang kelabu. Bulan purnama pun kehilangan keanggunannya.
Efeknya kemudian terasa di ladang-ladang pertanian. Tanpa sinar matahari, tanaman mati. “Buah-buahan tak bisa matang. Minuman anggur terasa seperti buah kecut,” kata sejarawan John dari Efesus, kota Yunani Kuno yang saat ini masuk wilayah Turki, dikutip dari buku "Catastrophe: An Investigation into the Origin of the Modern World" karya David Keys.
Di belahan dunia lain, kekeringan, kelaparan yang diperparah wabah cacar air melanda Korea dan Jepang. “Makanan adalah pondasi kekaisaran. Emas kuning dan sepuluh ribu untai koin uang tidak dapat menyembuhkan rasa lapar. Apa manfaat seribu kotak mutiara bagi dia yang kelaparan dan kedinginan,” demikian dimuat dalam kronik sejarah Jepang, "Nihon Shoki", yang mengacu pada maklumat Kaisar Senka pada tahun 536.
Sementara itu di China, pada tahun 535, kekeringan melanda wilayah utara. Di Kota Nanjing debu kuning jatuh dari langit, bak hujan salju. Setahun kemudian di Xi’an, tujuh sampai delapan dari 10 orang tewas. Para penyintas terpaksa memakan jasad manusia. Jadi kanibal karena tak punya pilihan.
Pada tahun 536, sejarawan Bizantium, Procopius menuliskan bagaimana seluruh Mediterania terjerumus dalam tahun yang dingin dan gelap. Seperti dikutip dari Vice.com, fenomena itu menandai dimulainya salah satu pandemi paling mematikan dalam sejarah, Wabah Yustinianus (Justinian Plague). Dalam setahun, pagebluk itu menewaskan 25 juta warga Kekaisaran Bizantium.
Malapetaka yang Masih Menyimpan Misteri
Hingga saat ini, penyebab pasti malapetaka pada Abad ke-6 belum diputuskan. Para ilmuwan masih meneliti tiga kemungkinan: asteroid, komet, atau erupsi gunung. Nenek moyang Krakatau, Gunung Batuwara masuk dalam kemungkinan ketiga.
Petunjuk lokasi erupsi gunung dahsyat pada tahun 535 kemungkinan terekam dalam inti es, baik di Greenland maupun Antartika. Penelitian lebih lanjut mengarahkan, kejadiannya diduga ada di wilayah tropis selatan: dari Afrika timur (termasuk Kepulauan Komoro), Andes tengah, Kepulauan Galapagos, dan rantai gunung berapi sepanjang 5.000 mil atau 8.046 km dari Samoa hingga Sumatra.
Dari dampak masifnya ke iklim Bumi, diduga erupsinya lebih besar dari Gunung Tambora pada 1819. Dan, berdasarkan Nan Shi atau Sejarah Dinasti Selatan China, digambarkan terdengar gelegar letusan pada Februari 535. “Dua kali lebih keras dari suara geledek.” Hal itu mengingatkan pada erupsi Gunung Krakatau pada 1883 yang terdengar hingga sejauh 4.000 mil atau 6.437 km.
Bukti lain yang tak terduga ditemukan dalam teks kuno Pustaka Raja Purwa yang kemungkinan menggambarkan erupsi dahsyat gunung yang berada di Selat Sunda, antara Jawa dan Sumatera pada tahun 535. Tepat di lokasi Gunung Krakatau berada.
Digambarkan, suara guntur menggelegar datang dari Gunung Batuwara atau Pulosari. “Bumi berguncang hebat, kegelapan mutlak, petir dan kilat. Lalu, angin ribut datang disertai guyuran hujan lebat dan badai mematikan yang menggelapkan seluruh dunia.”
Advertisement
Mengenal Sejarah Gunung Krakatau yang Terus Berkembang
"Pustaka Raja Purwa" menyebut, banjir bandang datang dari Gunung Batuwara, menerjang ke arah timur ke Gunung Kamula (Gunung Gede). Kitab kuno itu kemudian mengklaim, erupsi dahsyat membuat area luas di dekatnya amblas hingga di bawah permukaan air laut, menciptakan selat yang kini memisahkan Jawa dan Sumatra.
Versi paling tua dari babad tersebut berasal dari tahun 1869. Sementara, versi berbeda yang berasal dari tahun 1880-an diduga terkontaminasi penggambaran kejadian erupsi Krakatau pada 1883.
Masalah muncul karena kedua versi "Pustaka Raja Purwa" ditulis pada Abad ke-19, 13 abad setelah peristiwa erupsi yang memicu malapetaka 535/536 terjadi. Jedanya terlalu jauh.
Persoalan lain, erupsi yang digambarkan dalam naskah itu disebut terjadi pada tahun 338 Saka atau 416 Masehi, bukan tahun 535.
Sejumlah akademisi yang meneliti "Pustaka Raja Jawa" menuding, isinya fiksi belaka. Hanya imajinasi pengarangnya, Ranggawarsita III. Namun, ahli lain meyakini, karya tersebut didasarkan pada cerita turun-temurun, dari mulut ke mulut, maupun yang sempat ditulis dalam lembaran lontar.
Masalahnya, benarkah nenek moyang Krakatau, Gunung Batuwara erupsi pada tahun 553? Dan apakah peristiwa itu yang memicu malapetaka level dunia?
Gunung Anak Krakatau (GAK) merupakan gunung api muda yang muncul dalam kaldera, pasca erupsi paroksimal tahun 1883 dari kompleks vulkanik Krakatau. Aktivitas erupsi pasca pembentukan dimulai sejak tahun 1927, pada saat tubuh gunung api masih di bawah permukaan laut.
Sedangkan tubuhnya muncul ke permukaan laut sejak tahun 1929. Sejak saat itu Gunung Anak Krakatau berada dalam fasa konstruksi atau membangun tubuhnya hingga besar.
Gunung Anak Krakatau terletak di antara gugusan kepulauan vulkanik yang berada di Selat Sunda antara Pulau Jawa dan Sumatera. Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1.
Peneliti gunung api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Mamay Surmayadi menyatakan berdasarkan catatan sejarah, letusan besar Krakatau terjadi pada tahun 1883. Namun berdasarkan catatan dari pemerintah Hindia Belanda atau manuskrip dokumen Jawa kuno disebutkan pada tahun 416 M atau 338 Saka gunung api tersebut dikenal sebagai Gunung Kapi atau Krakatau Purba.
Mamay memperkirakan, saat peristiwa Gunung Kapi berlangsung terjadi letusan besar yang juga menghasilkan tsunami besar seperti halnya pada tahun 1883.
"Kalau kita melihat kondisi saat ini, tiga pulau besar: Pulau Rakata, Pulau Sertung, dan Pulau Panjang, merupakan bagian pinggir dari gunung api purba, atau Gunung Kapi," kata Mamay kepada Liputan6.com.
Berdasarkan rekonstruksi dan dimensinya Gunung Kapi merupakan gunung api yang besar atau raksasa. Lalu berdasarkan buku Krakatau 1883, The Vulcanic Eruption and Its Effect oleh Tom Simkin and Richard Fiske disebutkan jika saat terjadi letusan Gunung Kapi suara dentuman letusannya cukup besar.
Bahkan sampai terdengar sampai daratan wilayah Banten bagian timur atau Gunung Batuwara yang berjarak sekitar 30 meter. Kemudahan dentuman juga terdengar sampai di Gunung Rajabasa, Lampung.
"Hal ini merepresentasikan kejadian pandaan tsunami tahun 1883. Berdasarkan dari manuskrip tersebut, nampaknya letusan Gunung Kapi tahun 416 sama dengan letusan Krakatau tahun 1883," ucapnya.
Kendati begitu, tak ada keterangan lebih lanjut mengenai letusan Gunung Kapi. Sedangkan ketika peristiwa letusan pada tahun 1883 dampak letusan dapat menghasilkan gelombang tsunami sekitar 30 meter dan menerjang pesisir Banten.
Lalu dampaknya juga mengakibatkan kerusakan infrastruktur dan korban jiwa lebih dari 36ribu jiwa. Lanjut Mamay, jika merujuk pada letusan pada 22 Desember 2018 Gunung Anak Krakatau muncul di pinggir kaldera besar yang dihasilkan dari letusan tahun 1883.
"Itu berarti dia muncul di satu lokasi yang kurang stabil, ditambah dengan pertumbuhan gunung yang semakin besar, kemudian energi letusan, dan bisa dipicu oleh gempa-gempa tektonik, karena di Selat Sunda merupakan jalur-jalur tektonik. Sehingga potensi letusan dan adanya tsunami masih memiliki probabilitas yang cukup tinggi," Mamay menjelaskan.
Letusan Dahsyat Gunung Krakatau pada 1883
Pada Minggu 26 Agustus 1883, pukul 12.53, letusan permulaan menyemburkan awan gas yang bercampur material vulkanik setinggi 24 kilometer di atas Gunung Perboewatan.
"Kejang-kejang sekaratnya Krakatau berlangsung selama 20 jam 56 menit," demikian diungkap Simon Winchester dalam bukunya "Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883".
Klimaksnya adalah ledakan mahadahsyat yang terjadi pada Senin 27 Agustus 1883 pukul 10.02 pagi.
Empat ledakan dahsyat yang terjadi membuat tuli orang-orang yang berada relatif dekat dengan Krakatau. Namun, gelegarnya terdengar hingga Perth, Australia yang jaraknya 4.500 kilometer.
Kekuatannya setara 200 megaton TNT, lebih 10.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima, Jepang di penghujung Perang Dunia II. Tephra dan awan panas merenggut banyak nyawa di Jawa dan Sumatra sebelah barat.
Namun, mayoritas korban jiwa, yang jumlahnya 36 ribu, jatuh akibat tsunami. Seperti dikutip dari situs sains LiveScience, muncul dinding air setinggi 120 kaki atau 36,5 meter, yang dipicu melesaknya Krakatau dan naiknya dasar laut.
Di wilayah pesisir, suara gelegar terdengar dari kejauhan, suaranya kian dekat dan kuat. Laut pun kemudian menggila.
Tsunami menerjang tanpa ampun, rumah gedek milik pribumi, maupun gedung tembok beratap merah kepunyaan bangsa Eropa di Anyer hancur lebur. Wilayah pesisir lain di Jawa dan Sumatra menemui nasib sama.
Ledakan tersebut melemparkan sekitar 45 kilometer kubik material vulkanik ke atmosfer. Menggelapkan langit yang menaungi wilayah yang berada di radius 442 km dari Krakatau.
Barograf di seluruh dunia mendokumentasikan 7 kali gelombang kejut. Dalam 13 hari, lapisan sulfur dioksida dan gas lainnya mulai menyaring jumlah sinar matahari yang bisa mencapai Bumi.
Efek atmosfer yang diakibatkan membuat pemandangan matahari terbenam yang spektakuler di seluruh Eropa dan Amerika Serikat. Suhu global rata-rata mencapai 1,2 derajat lebih dingin selama lima tahun ke depan.
Media Forbes menyebut, erupsi Krakatau, dalam beberapa aspek, adalah bencana global pertama yang tercatat dalam sejarah.
Kisah letusan Krakatau diabadikan dalam film, buku, dokumenter, bahkan komik. Pasca letusan tersebut, Krakatau hancur sama sekali. Mulai pada 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Ia sangat aktif dan terus bertumbuh.
Jadi Destinasi Wisata Pilihan Masyarakat
Sementara itu, seperti dilansir lampungprov.go.id, Gunung Anak Krakatau memiliki luas sekitar 320 hektare dan merupakan pulau tak berpenghuni.
Gunung Anak Krakatau termasuk kawasan cagar alam Krakatau dengan total seluas 13.605 hektar yang dikelola oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Lampung. Sekarang, Gunung Anak Krakatau adalah salah satu tempat wisata di Banten yang paling disukai pendaki gunung.
Kegiatan utama dan paling favorit di sini adalah mendaki Gunung Krakatau. Berdasarkan beberapa sumber teks Jawa Kuno, ketinggian Krakatau purba diperkirakan hampir 2000 mdpl.
Daya tarik wisata Gunung Krakatau yang sering jadi perbincangan, terletak pada sisa-sisa letusannya yang menghasilkan eksotisme bentangan alam sisa dari letusan dahsyat. Ditambah lagi dengan Anak Gunung Krakatau yang masih aktif dan fluktuatif. Selain itu, tinggi Gunung Anak Krakatau yang makin bertambah juga menjadi daya tarik pengunjung.
Advertisement