Liputan6.com, Jakarta - Penjabat atau Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menanggapi soal pakar yang mengungkapkan penyiraman atau penyemprotan air di jalanan Ibu Kota tak efektif mengurangi polusi udara. Bahkan, semprotan air di jalan dikhawatir justru menguap bersamaan dengan polusi.
Heru mengatakan, evaluasi bakal dilakukan terlebih dahulu. Heru bersedia menghentikan cara tersebut apabila pembahasan rampung dilakukan serta ditemukan bahwa menyiram jalan tak efektif kurangi polusi udara Jakarta.
Baca Juga
"Ya nanti akan dibahas. Kalau memang tidak boleh ya saya berhentikan. Gampang," ujar Heru Budi di acara Diskusi Publik Quick Response Penanganan Kualitas Udara di DKI Jakarta di Hotel Shangri La, Jakarta Pusat, Senin (28/8/2023).
Advertisement
Dia menyampaikan, juga mengetahui hasil sebuah riset di China yang terbit di jurnal National Library of Medicine pada Mei 2021. Riset tersebut, menemukan penyemprotan air malah membuat polusi udara makin parah.
"Ya dikritik kan karena ada PM 10 terpecah jadi PM 2.5. Saya tahu itu, tapi di salah satu kota di ASEAN melakukan itu dan memang beda situasi mungkin ya. Tapi mereka melakukan itu," ucap Heru.
Lebih lanjut, Heru menyatakan akan menghadiri rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara. Dia berujar, akan menyampaikan saran ahli dan pakar ihwal penyemprotan air di jalan Ibu Kota.
"Nanti itu saya sampaikan, saya minta syarat, kalau itu nggak boleh ya kita hentikan," jelas Heru.
Sebelumnya, Profesor Bidang Iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Edvin Aldrian, menanggapi soal penyiraman air di jalanan Ibu Kota guna menekan polusi udara dan suhu panas. Menurut Edvin ada sejumlah catatan yang membuat cara itu tak sepenuhnya efektif.
"Menurut saya penyemprotan (air di jalan) itu jadi seperti hujan, tapi satu waktu saja. Jadi hujannya tidak merata. Kalau hujan TMC (Teknologi Modifikasi Cuaca) agak merata," kata Edvin kepada Liputan6.com, Minggu 27 Agustus 2023.
Khawatir Akan Meluap
Edvin menjelaskan, penyiraman air yang hanya dilakukan di situasi tertentu itu dikhawatirkan justru menguap bersama polutan yang ada di tanah.
"Takutnya ini yang kecil tadi kan karena disemprot pada situasi tertentu dan waktu tertentu air yang disemprot itu bisa naik lagi karena menguap, takutnya begitu," jelas Edvin.
Adapun kekhawatiran Edvin bukan tanpa alasan. Dia menyebut, berdasarkan hasil sebuah riset di China yang terbit di jurnal National Library of Medicine pada Mei 2021, menemukan penyemprotan air malah membuat polusi udara makin parah.
"Iya saya mengkhawatirkan karena ada catatan dengan yang dari China. Dia kan menyimpulkan begitu kalau sekali saja (penyemprotan) tidak efektif ya," ungkap Edvin.
Selain itu, kata Edvin, metode menekan polusi udara dengan menyiram jalanan juga membuang-buang air. Di musim kemarau ini, kata dia, air seharusnya disimpan.
"Catatannya adalah bahwa airnya itu dibuang-buang. Itu kan hanya sekali semprot, sudah langsung dipakai dan dibuang saja," ujar dia.
Advertisement
Tempuh Cara Lain
Ketimbang penyiraman jalan, Edvin menyarankan pemerintah menempuh cara lain. Dia mengusulkan dibuat tirai air dari ketinggian untuk menghilangkan debu atau polusi udara.
"Sebenarnya saya mengusulkan pakai jalan lain yang hampir sama juga. Air yang dipakai itu menjatuhkan debu, maka saya mengusulkan semacam water curtain atau tirai air," terang dia.
"Itu contoh yang nyata kalau anda pernah ke Bandara Changi, ada yang namanya jewel. Air terjunnya langsung terjun ke bawah, airnya ditampung dan diputar lagi ke atas jadi recycle," sambung Edvin.
Lebih lanjut, Edvin berujar bahwa cara paling efektif adalah menurunkan hujan buatan dengan melakukan TMC. Namun, kata dia, tak adanya awan hujan menyulitkan TMC dilakukan.
"Iya, ini kan kita sudah mencoba TMC, hujan buatan. Memang hujan buatan efektif, tapi dengan catatan ada ketersedian awan. Beberapa hari ini susah awannya kan. Lalu pemerintah memikirkan pakai yang di darat," jelas Edvin.