Sukses

Polusi Udara Menyerang Jakarta, Roadmap Solusi Transisi Energi Dinilai Tidak Jelas

Beberapa pekan terakhir kualitas udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat. Mulai dari pemberlakuan tilang bagi kendaraan tak lolos uji emisi hingga kebijakan bekerja dari rumah (work from home).

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa pekan terakhir kualitas udara di Jakarta masuk kategori tak sehat. Beberapa upaya dilakukan pemerintah untuk menangani polusi yang ada. Mulai pemberlakuan tilang bagi kendaraan tak lolos uji emisi hingga kebijakan bekerja dari rumah (work from home).

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu menyatakan polusi terjadi akibat pembakaran bahan bakar fosil. Layaknya kendaraan yang masih menggunakan bahan bakar fosil yang menjadi salah satu sumber pencemaran.

Selain itu yang menggunakan bahan bakar fosil yaitu PLTU batu bara. "Jadi sejatinya kalau kita mau mengendalikan polusi udara, kita harus kaji penggunaan energi kita sebetulnya. Bagaimana kita mengendalikan atau mengontrol kendaraan kita itu untuk tidak pakai energi fosil lagi," kata Bondan kepada Liputan6.com.

Kendati begitu, dia juga tidak menyarankan kepada pemerintah untuk tidak tiba-tiba meminta masyarakat beralih ke kendaraan listrik. Bondan beralasan, saat ini sumber energi yang digunakan untuk kendaraan listrik masih bersumber dari PLTU batu bara.

"Jadi kalau mau pakai electric vehicle harus diiringi dengan transisi energi yang nyata. Yaitu energi yang kita pakai dari energi terbarukan. Saat ini kita masih pakai batu bara, PLTU batu bara," ucapnya.

Bahkan, Bondan memperkirakan target net zero emission pada 2050 tidak akan tercapai. Sebab, berdasarkan Perpres Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik terdapat solusi palsu yang ditawarkan pemerintah.

Yakni, pengecualian rencana penutupan PLTU batu bara berdasarkan fase kontruksinya atau yang masuk dalam kategori industri. Misalnya industri garmen hingga smelter nikel, biji besi, hingga pemurnian nikel.

"Itu boleh pakai PLTU batu bara. Artinya percuma, kita akan mengendalikan polutan dari PLTU batu bara, tapi dibolehkan pembangunan proyek PLTU batu bara di tempat lain," papar dia.

"Jadi ini bukan ada transisi yang nyata, kita bilang transisi energinya. Tapi transisi energi setengah hati. Tidak punya roadmap yang jelas. Kita akan menggunakan energi terbarukan kapan, itu tidak jelas," imbuhnya.

Kebijakan untuk Bisnis?

Karena hal itu, Bondan menilai sejumlah kebijakan yang dilakukan pemerintah hanya akan melanggengkan perusahaan berbasis batu bara.

Smelter atau pengolahan dan pemurnian, lanjut Bondan, bermanfaat untuk nikel yang nantinya digunakan dalam kendaraan listrik. Karena itu dia menyebut persoalan mengatasi polusi udara belum menemukan titik temu.

"Jadi ini muter doang nih rangkaiannya. Maka kita perlu perlu pertanyakan, jangan-jangan polusi udara ini ada yang menunggangi agar bisnisnya tetap berjalan lancar gitu," jelas Bondan.

2 dari 2 halaman

Pengguna Kendaraan Pribadi di Jakarta Tak Paham Dampak Negatif?

Sementara itu, Pengamat Lingkungan Hidup Sudharto P Hadi mengatakan, pengguna kendaraan pribadi belum begitu mengerti terhadap dampak negatif yang dihasilkan dari perilakunya. Hal ini secara tidak langsung berdampak semakin memburuknya polusi udara.

"Ada negative externalities atau eksternalitas negatif yang merupakan konsekuensi negatif dari aktivitas ekonomi (konsumsi atau produksi) pada pihak ketiga yang tidak terkait,” kata Sudharto dikutip Kamis (31/8/2023).  

Menurtnya, beberapa eksternalitas negatif bisa dihasilkan dari penggunaan kendaraan pribadi dan industri, yaitu polusi udara yang bisa berakibat fatal pada kesehatan. “Untuk itu, penting kiranya publik sadar betul terkait negative externalities tersebut," ujarnya.

Pada tingginya kesadaran masyarakat akan negative externalities, dia mencontohkan, ada di Provinsi Bali waktu perayaan Hari Raya Nyepi. Saat Nyepi, masyarakat di Bali dilarang ada yang melakukan aktivitas, apalagi berkendara dengan kendaraan bermotor.