Sukses

Polusi Udara Mengepung Jakarta, Mau Sampai Kapan?

Selama beberapa pekan terakhir kualitas udara Jakarta menempati peringkat pertama dalam daftar kota paling berpolusi di dunia.

Liputan6.com, Jakarta - Malam itu sekitar pukul 19.50 WIB, Minggu (27/8/2023) Noviana Gaby dan sang suami tengah melakukan perjalanan ke kawasan Kemang, Jakarta Selatan dari Lenteng Agung. Karena akhir pekan, jalanan ibu kota saat itu seperti biasa, macet. Suara musik dari radio menemani perjalanan mereka.

Setelah perjalanan sekitar 20 menit dari rumahnya, tiba-tiba turun hujan. Dia dan suami mengaku kaget turun hujan di saat musim kemarau dan di tengah ramainya isu kualitas udara yang memburuk di Jakarta.

"Soalnya dari siang langit enggak cerah dan kayak asap di langit. Awan aja enggak kelihatan," kata Noviana kepada Liputan6.com.

Kata dia, saat itu hujan yang berlangsung selama lebih dari satu jam tersebut berintensitas cukup deras. Bahkan membuat perjalanan mereka terganggu dan menimbulkan macet di sejumlah titik.

"Meski bentar tapi lumayan bikin sejuk juga. Tapi besok paginya langit di Jakarta tetap enggak berubah seperti hari-hari sebelumnya, meski diguyur hujan lebih dari sejam," ucapnya.

Hal yang sama juga dirasakan Windi yang saat itu tengah melakukan perjalanan menggunakan ojek online dari kawasan Cikini, Jakarta Pusat ke Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Saat melewati daerah Kemang, Jakarta Selatan mulai gerimis. Beberapa kali driver ojol menawarinya untuk mengenakan jas hujan yang ada di jok motornya. Beberapa kali Windi menolak karena belum terlalu deras.

Namun setelah sampai di Jalan TB Simatupang hujan deras mulai dirasakannya. Seketika meneduh dan mengenakan jas hujan.

"Karena lagi musim kemarau dan polusi di Jakarta tinggi. Langit aja enggak keliatan biru tiba-tiba hujan. Di Kemang itu gerimis mulai pukul 18.57 WIB dan hujan berlangsung cukup lama dan deras," kata Windi kepada Liputan6.com.

27 Agustus 2023 di Jakarta Hujan Buatan?

Meskipun pada malam hari terjadi di Jakarta, kualitas udara tetap berada pada peringkat terendah. Sedangkan keesokan harinya berdasarkan data dari situs IQAir pada 28 Agustus 2023, pukul 09.25 WIB, mengindikasikan bahwa indeks kualitas udara Jakarta mencapai angka 163 US Air Quality Index (AQI US). 

Hal tersebut menjadikan Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara terburuk kedua di dunia. 

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, hujan yang terjadi pada 27 Agustus 2023 merupakan hasil dari modifikasi cuaca atau hujan buatan.

Operasi teknologi modifikasi cuaca di Indonesia melibatkan beberapa instansi seperti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). 

Keberhasilan teknologi modifikasi cuaca di Indonesia seperti hujan buatan di Jakarta ditentukan oleh beberapa faktor, termasuk pertumbuhan awan dan arah angin. Salah satu tujuan utama dari modifikasi cuaca ini adalah untuk mengatasi masalah polusi udara yang semakin memburuk di ibu kota.

Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta melakukan sejumlah cara untuk menurunkan tingkat polusi. Salah satunya penerapan kebijakan bekerja dari rumah atau work from home (WFH) kepada para pegawainya. Kebijakan tersebut diuji coba mulai pada tanggal 21 Agustus, dengan skema 50 persen WFH dan 50 persen bekerja di kantor.

Adapun kebijakan itu diambil menyusul arahan Presiden Joko Widodo terkait polusi udara di Jabodetabek. Lalu, Pemprov DKI Jakarta mulai menggunakan cara unik demi menurunkan tingkat polusi yaitu dengan menyiram jalan dengan mobil pemadam kebakaran. Mobil damkar menyiram ruas jalan protokol sebanyak dua kali dalam sehari.

Selain ke jalanan, Pemprov DKI Jakarta juga mencoba melakukan penyemprotan air dari atas gedung tinggi untuk mengurangi polusi udara Jakarta. 

"Gedung-gedung tinggi yang ada di Jakarta, Pemda DKI bersama-sama untuk melakukan istilahnya water mist. Kira-kira gitu ya," kata Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono di Hotel Shangri La, Jakarta Pusat, Senin (28/8/2023).

2 dari 5 halaman

Kebijakan ala DKI Jakarta untuk Atasi Polusi Udara

Langkah lainya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta kembali menindak tegas perusahaan pergudangan dan penyimpanan (stockpile) batubara. Beberapa hari sebelumnya tiga stockpile batubara di wilayah DKI Jakarta juga diberhentikan.

Kepala DLH DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan, pemberian sanksi tersebut berdasarkan perintah/kewajiban yang tercantum dalam Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Nomor e-0054 Tahun 2023 dan Nomor e-0073 Tahun 2023.

"Hasil temuan di lapangan, Tim DLH yang terdiri dari Bidang Penaatan dan Penegakan Hukum (PPH), Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH), Korwas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Polda Metro Jaya, mendapati kedua perusahaan itu belum memenuhi aturan pengelolaan lingkungan," kata Asep.

Kemudian juga ditemukan adanya bekas pembakaran sampah, bahkan puntung rokok di lokasi stockpile batu bara. Asep menegaskan, pihaknya memiliki wewenang untuk mencabut izin sebuah perusahaan jika terbukti melakukan pelanggaran. Berdasarkan ketentuan yang ada operasi perusahaan industri yang terbukti mencemari lingkungan dapat dihentikan kegiatan operasinya.

Selanjutnya, dalam menghadapi menurunnya kualitas udara, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama Polda Metro Jaya mulai melakukan penindakan tilang bagi kendaraan yang belum atau tidak lulus uji emisi sejak 1 September 2023.

Adapun pengenaan sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berupa tilang yakni, untuk motor sebesar Rp 250.000, sementara untuk mobil denda Rp 500.000. 

Asep Kuswanto mengajak seluruh masyarakat melakukan uji emisi kendaraan pribadinya, baik itu mobil atau motor yang berusia di atas tiga tahun. Terdapat 335 bengkel mobil dan 106 bengkel motor di Jakarta yang siap melaksanakan uji emisi ini.

Kebijakan Pemprov DKI Jakarta Tanpa Data?

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu mempertanyakan sejumlah kebijakan yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Sebab, sering kali pemerintah tidak pernah terbuka mengenai data yang ada. Misalnya dalam pelaksanaan WFH DKI Jakarta tidak ada data terkait jumlah ASN yang menggunakan kendaraan pribadi. 

"Jadi kita tidak tahu signifikan berkurangnya berapa gitu dari kendaraan yang dipakai. Bahkan jangan-jangan kita bisa jadi dengan membuat WFH itu mengkambing-hitamkan ASN. Sebenarnya ASN banyak juga yang pakai kendaraan umum maksudnya, bukan kendaraan pribadi," kata Bondan kepada Liputan6.com.

Kemudian sering kali pemerintah meminta masyarakat beralih ke transportasi umum. Namun kenyataannya kata dia, pemerintah belum melakukan perbaikan mulai peningkatan kapasitas, peningkatan layanan, dan jangkauan.

Bahkan dia menilai tidak ada upaya dari pemerintah untuk menarik masyarakat untuk menggunakan transportasi publik. Misalnya dengan tarif gratis atau potongan harga. Saat ini terkesan masyarakat disalahkan untuk beralih dan merubah gaya hidup namun pemerintah tidak serius dalam menyiapkan semua fasilitas.

"Digratiskan Transjakarta, Commuter Line misalnya kan, sehingga berbondong-bondong memakai transportasi publik misalnya terjadi penumpukan di satu tempat, itu kan data. Berati kalau banyak penumpukan di satu tempat, kita harus nambah armada di tempat itu," ujar dia.

Selanjutnya mengenai kebijakan uji emisi. Bondan menyebut uji emisi sejatinya wajib dilakukan berdasarkan UU yang ada. "Dan itu dilakukan sejak 2010. Harusnya kalau konsisten dilaksanakan, kita akan punya hasil yang bagus saat ini. Berarti kan selama ini belum ada serius pelaksanaannya, untuk membuat efek jera masyarakat. Untuk membuat tidak mencemari lingkungan dengan uji emisi," papar dia.

Selain itu dia dia juga menyoroti masih tinggi produksi kendaraan pribadi di masyarakat didamping gerakkan uji emisi. Dengan adanya jumlah kendaraan baru, kata Bondan hal tersebut hanya menambah emisi di masyarakat.

"Bisa enggak kita buat kebijakan yang bikin semacam kebijakan setop nih kendaraan. Produksi, penjualan segala macem. Atau misalnya tidak mempermudah orang mengambil kendaraan baru, misalnya. Motor atau mobil misalnya. Saat ini kan kebijakannya masih seolah-olah kayak, ya tahu sumbernya transportasi pribadi gitu ya, kendaraan bermotor, tapi penjualan kendaraan bermotor masih dipermudah gitu," Bondan menandaskan.

 

3 dari 5 halaman

Dewan Energi Nasional Minta Peran EBT Ditingkatkan

Selama beberapa pekan terakhir kualitas udara Jakarta menempati peringkat pertama dalam daftar kota paling berpolusi di dunia. Sejumlah pihak menilai polusi di Jakarta disebabkan oleh kendaraan bermotor hingga PLTU berbahan bakar batu bara.

Bagaimana dengan energi baru terbarukan (EBT)?

Anggota Dewan Energi Nasional, Eri Purnomohadi menyatakan potensi EBT sangat besar untuk menanggulangi sumber polusi udara di Indonesia. Namun, kebutuhan energi masih terbatas, khususnya daerah yang dekat dengan potensi. Atau terutama pada provinsi-provinsi yang berada di luar Jawa

"Batubara, minyak bumi dan gas bumi masih menjadi energi yang utama atau andalan dalam pemenuhan kebutuhan energi. Sehingga laju pemanfaatannya lebih tinggi dibandingkan pemanfaatan EBT," kata Eri kepada Liputan6.com.

Kata dia, pemanfaatan gas cenderung stagnan karena industri pemanfaat gas belum tumbuh secara optimal. Kemudian keterbatasan infrastruktur energi baik secara kualitas maupun kuantitas. Yakni termasuk infrastruktur pendukung dalam pembangunan EBT yang dikembangkan secara in-situ.

Lalu, pengembangan pembangkit listrik EBT dan nonlistrik belum mempertimbangkan keseimbangan supply dan pertumbuhan demand.

"Nilai investasi yang tinggi, keterbatasan pendanaan, dan tingginya risiko pengembangan dan lain-lain. Belum terciptanya inovasi teknologi dan good engineering practices di bidang EBT yang dapat mendorong keamanan, keandalan sistem tenaga listrik dan harga yang semakin kompetitif," papar dia.

Eri menjelaskan, dalam kebijakan nasional target nasional EBT yaitu 23 persen pada tahun 2023. Sedangkan pada tahun 2022 target tersebut baru mencapai 12,3-12,6 persen. Karena itu kata dia, peran EBT dapat ditingkatkan guna mengatasi polusi Jakarta.

Salah satunya yaitu penggunaan rooftop solar panel yang sempat mendapatkan penolakan. "Okelah itu dihapus, tapi harus ada alternatif lain supaya masyarakat memasang rooftop solar panel," ucap dia.

Kemudian terkait asap knalpot yang menjadi sumber utama polusi di Jakarta. Eri menyebut terdapat 300 SPBU yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Lalu, penambahan kendaraan roda dua terpaut 7 juta per tahun. 

Eri mendorong pemerintah dan semua pihak yang terlibat untuk duduk bersama mencari solusi penggunaan bahan bakar bersih untuk kendaraan di Jabodetabek. Sebab salah satu sektor penyumbang polusi udara adalah pemanfaatan bensin yang masih mempunyai kadar oktan rendah (RON), dan minyak solar yang mempunyai cetane number (CN) rendah. 

Kadar oktan atau cetane number yang rendah dapat mengakibatkan emisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar oktan atau cetane number yang tinggi. Karena itu Eri mendorong Kementerian ESDM dan PT Pertamina (Persero) agar menyusun program aksi untuk pembatasan penyaluran BBM dengan tingkat oktan atau cetane number rendah untuk mengurangi peluang peningkatan polusi udara terutama pada kota-kota besar seperti Jabodetabek.

Lalu, mendorong Kementerian ESDM untuk mengalihkan kebijakan subsidi dari Pertalite (RON 90) dan biosolar (CN 48) ke jenis BBM yang mempunyai kadar emisi rendah seperti Pertamax RON92, CN 51/53.

Selain itu dia juga mendorong adanya penerapan ERP atau sistem jalan berbayar di perbatasan wilayah DKI Jakarta. Dengan begitu, kata Eri, penggunaan kendaraan listrik harus diperbanyak.

"Berarti kendaraan yang berbahan fosil masuk DKI dari masuk perbatasan MT Haryono, Gatot Subroto, BSD, Tangerang harus bayar ERP, untuk masuk Rp 100ribu untuk motor, mobil. Sedangkan mobil listrik bayar Rp 1 atau emang bebas ERP itu fair. Kendaraan ke DKI berkurang banyak ERP diterapkan uji emisi di terapkan parkir di per mahal karena harga tanah parkir mahal," paparnya.

Kenapa Penggunaan EBT Tak Maksimal?

Sementara itu, dia juga mendorong adanya penggunaan energi terbarukan Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) untuk PLTU batubara. Penggunaan CCS dan CCUS memang memerlukan biaya tambahan yang tidak sedikit. 

Namun hal tersebut menurut Eri sebanding dengan ongkos yang dibebankan masyarakat terhadap dampak kesehatan dari polusi udara.

"Ini sudah menjadi mandatori dari Kementerian ESDM bahwa setiap pembangkit listrik batubara kalau tidak ditingkatkan kebersihannya menggunakan CCS dan CCUS ya akan segera dimatikan, di retirement lebih awal," tuturnya.

Selain itu, Eri menyebut terdapat sejumlah EBT yang belum dimaksimalkan di Indonesia. Contohnya PLTA air, geothermal yang dapat ditingkatkan menjadi pembangkit listrik tenaga gas bumi. Sebab Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar di dunia. 

"Pembangkit listrik batu bara retirement, penggantinya apa? Segera disiapkan. Oke geothermal, genjot investasi geothermal. Sesegera mungkin sebesar mungkin itu menjadi background infrastruktur energi. Nah ini di dalam pemerintahan harus segera membentuk roadmap pembangunan infrastruktur," tandas Eri.

 

4 dari 5 halaman

Polusi Udara Jakarta, Roadmap Solusi Transisi Energi Dinilai Tidak Jelas

Beberapa pekan terakhir kualitas udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat. Beberapa upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menangani polusi yang ada. Mulai dari pemberlakuan tilang bagi kendaraan tak lolos uji emisi hingga kebijakan bekerja dari rumah (work from home).

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu menyatakan saat ini kondisi kualitas udara di Jakarta tak terbantahkan dalam kondisi tidak sehat. Selain karena pembakaran bahan bakar fosil, faktor cuaca musim kemarau juga memberikan dampak. Sebab saat kemarau tiba menaikan polutan.

Sedangkan kenaikan polutan sudah terjadi sejak awal tahun dan seharusnya dapat dilakukan mitigasi dan upaya peringatan kepada masyarakat terkait kualitas udara yang tidak sehat. Saat ini menurut Bondan, pemerintah tidak membuka secara publik data sumber pencemaran udara di Jakarta dan sekitarnya.

Beberapa kajian hanya menyebut sumber polusi hanya di Jakarta. Padahal beberapa kota penyangga juga menjadi salah satu penyumbang polusi. Sebab polusi dapat disebabkan dari lintas batas atau transboundary pollution.

"Masalahnya di Jakarta mungkin datanya tidak konsisten mengenai sumber pencemar. Di luar Jakarta, enggak ada, bukan konsisten lagi. Jadi enggak ada datanya, sumber pencemaran dari mana nih? Industri berapa persen? Transportasi berapa persen? Enggak ada," kata Bondan kepada Liputan6.com.

Dia menyimpulkan, sumber polusi udara di Jakarta akibat pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan oleh kendaraan atau transportasi saat ini. Namun, dia kecewa data dari pemerintah sering kali berubah-ubah. 

"Jadi sejatinya kalau kita mau mengendalikan polusi udara, kita harus kaji penggunaan energi kita sebetulnya. Bagaimana kita mengendalikan atau mengontrol kendaraan kita itu untuk tidak pakai energi fosil lagi," kata Bondan kepada Liputan6.com.

Kendati begitu dia tidak menyarankan kepada pemerintah untuk tiba-tiba meminta masyarakat beralih ke kendaraan listrik. Sebab saat ini sumber energi yang digunakan untuk kendaraan listrik masih yang bersumber dari PLTU batubara.

"Jadi kalau mau pakai electric vehicle tapi harus diiringi dengan transisi energi yang nyata. Yaitu energi yang kita pakai dari energi terbarukan. Saat ini kita masih pakai batu bara, PLTU batubara," ucapnya.

 

Kebijakan Pemerintah Dinilai Tak Solutif 

Bahkan Bondan memperkirakan target net zero emission pada 2050 tidak akan tercapai. Sebab, berdasarkan Perpres Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik terdapat solusi palsu yang ditawarkan oleh pemerintah.

Yakni, pengecualian rencana penutupan PLTU batu bara berdasarkan fase konstruksinya atau yang masuk dalam kategori industri. Misalnya industri garmen hingga smelter nikel, biji besi, hingga pemurnian nikel.

"Itu boleh pakai PLTU batubara. Artinya percuma, kita akan mengendalikan polutan dari PLTU batubara, tapi dibolehkan pembangunan proyek PLTU batubara di tempat lain," papar dia.

"Jadi ini bukan ada transisi yang nyata kita bilang transisi energinya, tapi transisi energi yang setengah hati. Tidak punya roadmap yang jelas. Kita akan menggunakan energi terbarukan kapan itu tidak jelas," imbuhnya.

Karena hal itu, Bondan menilai sejumlah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah hanya akan melanggengkan perusahaan berbasis batu bara.

Smelter atau pengolahan dan pemurnian lanjut Bondan bermanfaat untuk nikel yang nantinya digunakan dalam kendaraan listrik. Karena itu dia menyebut persoalan mengatasi polusi udara belum menemukan titik temu.

"Jadi ini muter doang nih rangkaiannya. Maka kita perlu perlu pertanyakan, jangan-jangan polusi udara ini ada yang menunggangi agar bisnisnya tetap berjalan lancar gitu," ujar dia.

5 dari 5 halaman

Bagaimana Solusi Penanganan Polusi Udara di Jakarta ala Pemerintah Pusat?

Untuk sumber pencemaran polusi di Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merujuk pada data dari Pemprov DKI Jakarta. Yakni 44 persen bersumber dari transportasi, 31 persen energi industri, 14 pemukiman, industri manufaktur 10 persen, dan lain-lain 1 persen.

Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro menyatakan berdasarkan rapat koordinasi telah diindentifikasi sejumlah upaya jangka pendek, menengah, dan panjang untuk mengatasi polusi di Jabodetabek.

Untuk kebijakan jangka pendek misalnya penerapan work from home (WFH), uji emisi kendaraan pada wilayah Jabodetabek. Sigit juga menyatakan pihaknya juga melakukan sejumlah tugas dari menginventarisasi sumber polusi, perbanyak lokasi uji emisi, pengawasan dan penegak hukum, hingga mengawasi 11 industri untuk langkah penutupan alat pengendali pencemaran udara.

Untuk jangka menengah yaitu akan menyelesaikan pajak pencemaran menjadi Undang-Undang. Salah satu komponennya yakni pajak kendaraan bermotor terdapat pajak kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan. Saat ini komponen tersebut masih dibahas bersama Kemendagri. 

"Dan akan diterapkan seluruh Indonesia. Nanti akan ada tiga komponen adalah fungsi dari situasi daerah tersebut, seperti Jakarta kan kualitas indeks udara rendah maka lebih besar faktor pajaknya dibandingkan dengan kota yang indeks kualitas udaranya masih bagus, pajak akan lebih rendah," kata Sigit kepada Liputan6.com.

Selanjutnya yaitu adanya pajak yang semakin besar jika melebihi paken mutu uji emisi kendaraan. Sedangkan untuk jangka panjang yaitu yang mengupayakan tidak bergantung dengan bahan bakar fosil. Namun beralih menggunakan energi terbarukan.

Kata dia, PLN sudah memiliki peta panduan transisi energi menuju energi terbarukan. Nantinya hal tersebut akan disosialisasikan kepada seluruh industri di Indonesia. Termasuk untuk beralih menggunakan transportasi umum.

Lalu mendorong masyarakat untuk mengutamakan jalan kaki, bersepeda, hingga mengutamakan transportasi publik dibandingkan dengan kendaraan pribadi. 

"Sudah ada beberapa peta diidentifikasi dari Bapak Menko ada penerapan low emission zone yang artinya hanya boleh energi terbarukan. Sudah mulai diatur parkiran untuk LRT akan diperbanyak. Dan akan diperbanyak fasilitas publik," ucap dia.

Berdasarkan data Kementerian LHK terdapat ratusan industri yang melakukan pembakaran fosil, yang terdiri dari batubara ataupun diesel. Terdapat 55 industri di Jakarta.

Untuk wilayah Jabodetabek terdapat 351 industri yang mengeluarkan emisi fosil. Sedangkan terdapat 252 di luar Jabodetabek. Termasuk daerah Indramayu, Cirebon, Karawang, Serang, dan Cilegon.

"Tapi itu belum tentu melanggar ini masih kita identifikasi dia punya emisi dari pembakaran fosil," tutur Sigit.

Apa Tantangan Besar ke Energi Terbarukan?

Sigit menyebut terdapat tantangan besar untuk beralih menggunakan energi terbarukan. Yaitu masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan pengguna energi fosil. Sehingga semua infrastruktur yang sudah ada sejak revolusi industri menggunakan energi fosil. 

"Kalau kita harus transformasi jadi renewable itu harus dibangun infrastruktur baru lagi dan ini biaya mahal. Sehingga enggak bisa begitu saja disetop. Misal PLTU besok langsung ada energi renewable enggak mungkin. Harus dibangun tiga atau empat tahun kemudian infrastruktur harus dibuat," papar dia.

Untuk energi terbarukan, kata Sigit sumbernya harus dari lokal dan sifatnya bisa dimanfaatkan secara terus menerus. Dia mencontohkan panel surya yang bergantung pada sinar matahari dan ketika malam hari tidak dapat produksi.

Sedangkan jika memanfaatkan air yang dianggap lebih stabil, masyarakat Indonesia harus menjaga agar tidak terjadi kerusakan sungai dan hutan. Sedangkan jika memanfaatkan angin juga dipengaruhi waktu siang dan malam. 

Karena hal itu, Sigit menyebut berbagai karakteristik tersebut harus dilakukan pengintegrasian. Sehingga ketika kebutuhan puncak dapat teratasi sebelum tersedia nya energi terbarukan.

"Jadi istilahnya harus dibuat smart grid yang bisa mengatur kapan prediksi kebutuhan puncak sehingga bisa diproduksi, disimpan, dan di-delivery kepada konsumen jadi perlu investasinya yang banyak sekali," ujar Sigit.

Sementara itu, Sigit juga angkat bicara mengenai penggunaan energi terbarukan Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) yang dianggap mampu membantu usaha pengurangan emisi fosil.

Lanjut Sigit, CCS dan CCUS merupakan merupakan teknologi yang digunakan untuk menangkap karbon dioksida dari gas buang, kemudian memindahkan serta menyimpan gas karbon dioksida tersebut pada lokasi penyimpanan tertentu sehingga dampak negatifnya pada atmosfer dapat dihindari.

"Jadi lebih ke mitigasi kalau sudah keluar ada cara lain dia untuk memasukkan kembali ke perut bumi. Tapi sekali lagi ini mahal sekali," Sigit menandaskan.