Sukses

Profil KH Bisri Syansuri dan Abdurrahman Baswedan yang Disebut Anies Saat Deklarasi Capres

Dalam pidatonya, Anies Baswedan menyebut bahwa orang tuanya berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Sang kakek yaitu Abdurrahman Baswedan lahir di Surabaya dan pernah tinggal di kawasan Ampel.

Liputan6.com, Jakarta - Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar telah mendeklarasikan diri sebagai bakal capres-cawapres pada Pilpres 2024 mendatang. Deklarasi tersebut digelar di Hotel Majapahit Surabaya, Jawa Timur pada Sabtu 2 September 2023.

Dalam pidatonya, Anies Baswedan menyebut bahwa orang tuanya berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Sang kakek yaitu Abdurrahman Baswedan lahir di Surabaya dan pernah tinggal di kawasan Ampel.

"Secara kebetulan orang tua-orang tua kami berasal dari surabaya. Tadi cerita Gus Imin, Kiai Bisri Syansuri di sini. Kakek saya Abdurrahman Baswedan lahirnya di sini (Surabaya), di Ampel. Dan kawasan ini dulu adalah kawasan mereka, tempat tinggal," ujar Anies saat deklarasi.

Di sisi lain, Muhaimin juga mengungkapkan bahwa Abdurrahman Baswedan merupakan pejuang kemerdekaan Indonesia. Pria yang akrab disapa Cak Imin ini juga menyebut, ia merupakan keturunan dari pejuang kemerdekaan Indonesia, yakni KH Bisri Syansuri.

"Sama seperti saya, saya cucu cicit Almukarrom Bisri Syansuri, yang juga berjuang untuk kemerdekaan bahkan menjadi Kepala Staf Markas Ulama di Surabaya ini untuk menjadi posko pengusiran para penjajah," ungkap Cak Imin.

Lalu, siapakah KH Bisri Syansuri dan Abdurrahman Baswedan? Berikut profil singkatnya.

Dikutip dari situs nu.or.id, KH Bisri Syansuri adalah salah seorang kiai pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Bisri lahir pada 28 Dzulhijjah tahun 1304 H atau 18 September 1886 di Tayu, Pati, Jawa Tengah. Semasa kecil, Bisri belajar pada KH Abd Salam, seorang ahli dan hafal Al-Qur’an dan juga ahli dalam bidang fiqih. Atas bimbingannya ia belajar ilmu nahwu, saraf, fiqih, tasawuf, tafsir, hadits.

Pada usia 15 tahun, tiap bulan Ramadhan, Bisri mulai belajar ilmu agama di luar tanah kelahirannya, pada kedua tokoh agama yang terkenal pada waktu itu yaitu KH Kholil Kasingan Rembang dan KH Syu’aib Sarang Lasem.

Kemudian ia melanjutkan berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan. Di pesantren inilah ia kemudian bertemu dengan Abdul Wahab Chasbullah, seorang yang kemudian menjadi kawan dekatnya hingga akhir hayat di samping sebagai kakak iparnya.

Lalu KH Bisri berguru kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Di pesantren itu, ia belajar selama 6 tahun. Ia memperoleh ijazah dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama mulai dari kitab fiqih Al-Zubad hingga ke kitab-kitab hadits seperti Bukhari dan Muslim.

Pada 1912 sampai 1913, Kiai Bisri Syansuri berangkat melanjutkan pendidikan ke Makkah bersama Abdul Wahab Chasbullah. Di kota suci itu, mereka belajar kepada Syekh Muhammad Bakir Syekh Muhammad Said Yamani Syekh Ibrahim Madani, dan Syekh Al-Maliki. Juga kepada guru-guru KH Hasyim Asy'ari, yaitu KH Ahmad Khatib Padang dan Syekh Mahfudz Tremas. Sepulang dari Makkah, Kiai Bisri mendirikan pesantren di Denanyar, Jombang.

KH Bisri Syansuri juga pernah dipercaya sebagai Rais Aam NU, menggantikan Kiai Abdul Wahab Chasbullah yang wafat pada 1972. KH Bisri Syansuri meninggal dunia dalam usia lanjut pada 1980 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur dan dimakamkan di kawasan Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar, Kabupaten Jombang.

 

2 dari 2 halaman

Profil Abdurrahman Baswedan

Abdurrahman Baswedan atau AR Baswedan merupakan pejuang kemerdekaan, diplomat, dan sastrawan Indonesia. Dia lahir di Surabaya, 9 September 1908, dan merupakan peranakan Arab yang kala itu masuk dan golongan Timur Asing.

AR Baswedan merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pernah menjabat Wakil Menteri Muda Penerangan RI Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), anggota Parlemen, serta anggota Dewan Konstituante.

Dalam AR Baswedan: Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan karya Suratmin dan Didi Kwartanada, pada masa Hindia Belanda, etnis Arab terbagi menjadi dua golongan, yaitu sayid dan non-sayid. Kedua golongan ini kemudian mengorganisasikan diri menjadi Ar Rabitah (sayid) dan Al Irsyad (non-sayid). Awalnya, hanya ada satu organisasi, yaitu Jamiat Khair yang didirikan pada 7 Juli 1905.

Namun, karena perbedaan paham, Jamiat Khair terpecah. Al Irsyad didirikan pada 1915 yang memperjuangkan bahwa non-sayid sama derajatnya dengan sayid. Sedangkan Ar Rabitah Al Alawiyah didirikan pada 28 Desember 1928 yang bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan sayid.

Selain terbagi menjadi sayid dan non-sayid, orang Arab di Hindia Belanda juga terbagi menjadi golongan Arab asli (wulaiti atau totok) dan kaum keturunan Arab (muwalad atau peranakan). Kaum Arab totok lahir dan besar di negeri Arab biasanya dari Hadramaut. Sedangkan kaum Arab peranakan biasanya berdarah campuran serta lahir dan dibesarkan di Indonesia.

Kaum Arab totok membawa kemurnian Arab seperti sifat kearaban serta budaya aslinya. Lain hal dengan Arab peranakan yang banyak mengadopsi budaya Indonesia.

Perselisihan kemudian muncul perihal tanah air. Kaum Arab totok beranggapan bahwa mereka hanya merantau di Indonesia, sedangkan tanah air mereka tetaplah Hadramaut. Sementara Kaum Arab peranakan berpendapat bahwa tanah air mereka adalah Indonesia.

Hal inilah yang mendorong AR Baswedan untuk mendirikan persatuan yang dapat menjadi pemersatu, yaitu Persatuan Arab Indonesia atau kemudian disebut Partai Arab Indonesia (PAI).

Awal ide didirikannya Persatuan Arab Indonesia (PAI) oleh AR Baswedan berangkat dari prinsip pengakuan Indonesia sebagai tanah air bagi kaum Arab peranakan. Karena, menurut AR Baswedan, sebenarnya kaum Arab peranakan sendiri belum yakin perihal Indonesia sebagai tanah air.