Sukses

Bentrok Warga Vs Aparat di Pulau Rempang, Puan: Pembangunan Jangan Sampai Rugikan Rakyat

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani menyayangkan peristiwa bentrokan yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri) antara warga dengan aparat gabungan dari TNI, Polri, Satpol PP, dan Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (BP) Batam. Ia menekankan pendekatan secara humanis dengan warga.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani menyayangkan peristiwa bentrokan yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri) antara warga dengan aparat gabungan dari TNI, Polri, Satpol PP, dan Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (BP) Batam. Puan Maharani menekankan pendekatan secara humanis dengan warga.

"Sekalipun ada penolakan dari masyarakat, semestinya tidak perlu ada tindakan represif. Seharusnya aparat bisa lebih humanis dan bersifat persuasif untuk berdialog bersama warga," kata Puan dalam keterangannya, Jumat (8/9/2023).

Diketahui, bentrokan itu dipicu oleh penolakan masyarakat adat Pulau Rempang atas pembangunan kawasan industri di lahan pulau seluas 17 ribu hektare. Proyek yang dilabeli dengan proyek strategis nasional untuk membangun kawasan industri, perdagangan, dan wisata itu merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) pada 2023 sebagai Rempang Eco City.

Bentrokan terjadi saat tim gabungan berusaha menerobos masyarakat yang berjaga di Jembatan IV Barelang Pulau Rempang karena menolak dilakukannya pengukuran dan pemasangan patok di wilayah tersebut.

Akibat siswa-siswa SD di Pulau Rempang dan sejumlah siswa SMPN 22 yang berjarak 100 meter dari ruas Jalan Trans Barelang turut menjadi korban bentrok tersebut dan gas air mata.

Puan mengingatkan bahaya gas air mata telah menelan korban jiwa di beberapa kasus bentrokan.

"Apabila memang ada kericuhan, gunakan pendekatan lain. Seharusnya kita belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa penggunaan gas air mata bisa berdampak fatal," tutur perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.

"Apalagi gas air mata digunakan di tengah lingkungan yang banyak warga dan siswa sekolah. Pastinya membuat para warga dan anak-anak ketakutan. Suasana menjadi sangat mencekam di Pulau Rempang karena ada letupan tembakan di tengah bentrok," sambung Puan.

2 dari 2 halaman

Harus Disikapi dengan Cara-cara Kemanusiaan

Mantan Menko PMK ini menilai, penolakan dalam pembangunan biasa terjadi. Menurut Puan, penolakan-penolakan tersebut seharusnya disikapi dengan cara-cara kemanusiaan dan bersifat persuasif.

"Apalagi jika pembangunan ini demi peningkatan perekonomian rakyat, maka jangan sampai merugikan rakyat," tegasnya.

Puan juga menekankan pentingnya kajian sosial budaya mengingat Pulau Rempang erat dengan keberadaan masyarakat adat yang hingga hari ini berusaha mempertahankan ruang hidup mereka. Ia meminta pemerintah agar mencari jalan tengah terkait permasalahan ini, termasuk bagaimana menyikapi respons warga yang menolak direlokasi.

"Daerah Rempang memiliki kekayaan budaya yang unik. Pemerintah harus menghargai dan melindungi warisan budaya ini dalam proses pembebasan lahan. Ini harus dilakukan dengan hormat dan penuh kehati-hatian," ujar Puan.

Aparat keamanan pun diingatkan kembali untuk bersikap lebih humanis dan persuasif dari pada memaksa masuk. Hal ini, kata Puan, sesuai dengan pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menyebut musyawarah dan sosialisasi harus menjadi prioritas untuk menyelesaikan masalah.

"Pendekatan humanis dan persuasif dalam pembebasan lahan di Rempang Batam perlu dilakukan untuk menghindari bentrokan dan perlawanan yang berpotensi berakhir dengan korban," ungkap cucu Bung Karno tersebut.

Bentrokan di Pulau Rempang menyebabkan 8 orang ditangkap karena membawa barang-barang yang membahayakan.

"Apabila ada tindakan pidana, silakan diproses secara hukum. Tapi bukan berarti langkah represif aparat dibenarkan. Apalagi penggunaan gas air mata memiliki efek yang membahayakan bagi kesehatan, khususnya terhadap anak-anak," ucap Puan Maharani.