Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberi lampu hijau kepada para menterinya untuk maju dalam gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Jokowi menyebut, menteri yang ingin maju capres maupun cawapres tidak perlu mundur dari jabatannya selama dibolehkan dalam aturan.
Untuk diketahui, sejumlah menteri di Kabinet Pemerintahan Jokowi memang disebut-sebut bakal turut serta dalam gelaran Pilpres 2024 mendatang. Salah satunya yakni Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.
Baca Juga
Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra tersebut bakal diusung oleh Gerindra, PAN dan Golkar yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai Capres 2024.
Advertisement
Selain itu, ada juga nama Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno. Keduanya kerap disebut bakal menjadi bakal cawapres untuk mendampingi masing-masing sosok yang sudah mendeklarasikan dirinya sebagai Capres. Jokowi memastikan bakal memberikan izin kepada sejumlah menteri maju di Pilpres 2024, asal tak menyalahi aturan yang ada.
"Aturannya seperti apa, kalau aturannya tidak boleh, tidak usah mundur ya enggak apa-apa," kata Jokowi.
"Diizinkan lah, dari dulu-dulu juga gitu," sambungnya.
Namun, Jokowi mengingatkan, yang terpenting menteri maju nyapres tidak menggunakan fasilitas negara. Selain itu, harus mengambil cuti jika berkampanye.
"Yang paling penting tidak menggunakan fasilitas negara, yang kedua kalau kampanye cuti, aturannya jelas," ucapnya.
Di sisi lain, Jokowi mengaku tidak khawatir mengenai kinerja kementerian bila seorang menteri cuti. Jokowi menyebut, kinerja birokrasi pemerintah sudah mapan.
"Sistem birokrasi kita ini sudah mapan," jelasnya.
Terkait hal itu, Peneliti Senior Populi Center, Usep Saepul Ahyar memandang, persoalan menteri maju Pilpres tanpa harus mengundurkan diri sejatinya dapat diperbolehkan selagi tak ada aturan yang melarang. Meski secara etika politik itu sebenarnya bukan menjadi hal yang wajar.
"Selagi itu tidak ada aturan yang melarang (dibolehkan), tetapi secara persoalan etiknya, apakah dengan merangkap-rangkap seperti itu mereka bisa fokus terhadap pekerjaannya? ini kan persoalannya," kata Usep kepada Liputan6.com Selasa (12/9/2023).
Dalam aturannya, Usep menyebut, pejabat publik seperti menteri memang tidak memiliki larangan untuk maju di Pilpres, Mereka hanya dikenakan wajib cuti apabila sudah memasuki masa-masa kampanye.
"Dalam aturan itu tidak, kecuali nanti kalau sudah memasuki kampanye itu harus cuti," ucapnya.
Adapun terkait adanya sinyal politik Jokowi yang mengizinkan menterinya nyapres, Usep berpandangan, hal itu tentu pasti memiliki keterkaitan dengan restu politik Jokowi terhadap para menterinya. Namun terkait arah politiknya terhadap siapa, hingga saat ini masih belum diketahui.
"Jokowi saat ini memang bersinyal menyetujui soal menteri maju capres, ada Prabowo lalu kemudian ada Sandiaga, lalu ada yang lain yang masuk busra di Pilpres 2024, Jadi bisa ditafsirkan seperti ada sinyal-lah kalau dalam konteks politiknya" ujarnya.
Di sisi lain, Usep menilai, pesan Jokowi yang mengatakan bahwa menteri tak boleh menggunakan fasilitas negara untuk maju sebagai capres-cawapres memang sangat riskan terjadi. Mengingat, jabatan menteri terhadap seorang itu akan selalu melekat meski mereka berada dalam kegiatan di luar pemerintahan.
"Itu sebenarnya hal yang mustahil, menteri juga kan fasilitas negara. Orang melihatnya dia sebagai menteri kok walaupun di hari libur. Fasilitas juga itu. Termasuk program dan kunjungan menteri itu juga," katanya.
Untuk itu, Usep kembali menekankan bahwa persoalan menteri maju capres sejatinya itu terletak pada etika yang harusnya masing-masih individu bisa mengukur nilai kepantasan dari persoalan menteri maju capres tanpa mundur ini.
"Inikan kembali lagi ke etika sebenarnya, ini yang harusnya masing-masing (menteri) bisa mengukur nilai kepantasan mereka dalam persoalan ini, entah itu dari kunjungan maupun kerja-kerja menteri yang lain," pungkasnya.
Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin mengatakan, boleh tidaknya menteri maju capres-cawapres tanpa harus menundurkan diri, itu tergantung pada konstitusi atau aturan yang saat ini berlaku.
Menurutnya, apabila dalam aturan Undang-undang menteri diperbolehkan nyapres tanpa mundur, maka pernyataan Jokowi terkait persoalan tersebut dapat dinilai sah-sah saja. Namun, apabila sebaliknya itu tentu harus dievaluasi.
"Tentu terkait persoalan ini harus melihat terlebih dulu soal aturannya, apakah capres-cawapres mundur atau tidak dalam ketentuannya, atau sekedar cuti. Kalau aturannya tidak harus mundur ya tidak mundur, tapi kalau aturannya harus mundur, ya maka harus mundur," kata Ujang kepada Liputan6.com Selasa (12/9/2023).
Namun, kata Ujang, secara pribadi dirinya mengungkapkan lebih setuju apabila pejabat negara termasuk menteri mundur dari jabatannya apabila ingin maju sebagai capres-cawapres. Namun, kata dia, hal itu bisa saja terbentur dengan aturan yang berlaku.
"Kalau pendapat pribadi pejabat negara siapapun para menteri, pejabat, gubernur atau sebagainya yang mau maju Pilpres itu mestinya mundur. Tetapikan aturannya tidak, itu persoalannya," ujar Ujang.
Ujang meyakini, secara sosiologi masyarakat pastinya menginginkan semua pihak khususnya pejabat negara mengundurkan diri apabila ingin maju di Pilpres. Namun, dalam konteks ini kita tidak bisa membenturkan antara keinginan masyarakat dengan hukum yang tidak melarang menteri itu tidak mundur.
"Masyarakat pasti inginnya mundur, tapikan aturannya tidak. Jadi jangan membenturkan aturan hukum yang ada dengan keadaan sosiologis masyarakat," ucapnya.
Adapun soal sinyal restu politik Jokowi terkait persoalan menteri nyapres ini, Ujang mengatakan, hal itu juga berpotensi mengarah kepada Prabowo Subianto dan Erick Thohir yang diketahui keduanya saat ini masih mengemban amanah sebagai menteri di Pemerintahan Jokowi.
"Ya.. bisa saja persoalan ini juga merujuk kepada Prabowo dan Erick, tetapi Jokowi tentu tidak akan gegabah soal tidak boleh mundur atau tidak, pasti rujukannya ketentuan Undang-undang yang ada," pungkasnya.
PDIP Setujui Menter Maju Capres Tak Harus Mundur
Ketua DPP PDIP Said Abdullah merespons pernyataan Presiden Jokowi yang mempersilakan menterinya yang ingin maju Pilpres 2024 tanpa mengundurkan diri. Menurut Said, pihaknya sepakat dengan Jokowi bahwa menteri boleh maju dengan syarat harus cuti.
“Kan Bapak presiden mesti tunduk pada keputusan MK. Dan memang harus cuti, tinggal Bapak Presiden berkenan apa tidak, kan bapak presiden sudah declare," kata Said di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (12/9/2023).
Said mengatakan, pihaknya juga mengapresiasi Jokowi lantaran dalam aturannya memang menteri tidak harus mundur dari jabatannya meski maju sebagai capres-cawapres.
"Dan memang apresiasi apa yang disampaikan Bapak Presiden karena memang seperti itu permainannya, ketetapannya sudah diputuskan MK,” ucapnya.
Said menilai, menteri tidak perlu mundur lantaran akan ada Plt menteri yang menggantikan dalam menjalankan pemerintahan. Ia menyebut selama Jokowi sepakat maka pihaknya juga akan sepakat.
“Kan tinggal bapak presiden, kalau memang cuti biasanya ada Plt, Plh, biasa dan tidak ganggu pemerintahan. Wong kendalinya semua di bapak presiden,” kata dia.
Menurut Said, selama Jokowi menjalankan keputusan MK, maka tidak akan ada masalah kementerian ditinggal menteri untuk kampanye.
“Enggak masalah, enggak ada masalah. Karena masa kita menolak keputusan MK sih, kan enggak mungkin juga. Tidak boleh menolak keputusan MK, kita harus taat keputusan MK,” pungkasnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PAN Eddy Soeparno turut merespons positif pernyataan Presiden Jokowi yang mempersilakan menterinya maju Pilpres tanpa harus mengundurkan diri. Dia menilai, hal itu merupakan bentuk kebijaksanaan presiden terhadap menterinya.
"Ya itu saya rasa adalah sebuah kebijaksanaan yang baik dari Pak Presiden yg memberikan keluasaan kepada menterinya untuk bisa maju dalam kontestasi pilpres," kata Eddy kepada Liputan6.com Selasa (12/9/2023).
Eddy mengatakan, kebijaksanaan tersebut tentu harus diikuti dengan kinerja baik dari para menteri, dan tidak boleh sampai mengecewakan Presiden.
"Jangan sampai kinerjanya sebagai menteri turun karena urusan capres itu sehingga akhirnya nanti mengecewakan Presiden dari aspek keleluasaan yg diberikan di awal," ucapnya.
Selain itu, Eddy meyakini, para menteri yang memiliki keinginan untuk maju di pilpres 2024 nanti, pada akhirnya akan sangat bijak untuk menentukan apakah merangkap jabatan sebagai menteri dan capres-cawapres itu masih bisa dilaksanakan atau tidak, Mengingat menjadi capres atau cawapres adalah sebuah komitmen 100 persen yang tidak bisa dilakukan setengah-setengah.
"Saya punya keyakinan nanti para menteri itu akan menentukan bahwa capres cawapres mereka itu membutuhkan fokus perhatian yg 100 persen," kata dia.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS Habib Aboe mengatakan, pihaknya mempersilakan menteri di kabinet Presiden Jokowi untuk maju Pilpres tanpa harus mundur. Menurutnya, masyarakat sudah lelah dengan berbagai perubahan aturan yang ada.
"Ya silakan, silakan aja deh mau cara aturan apapun. Rakyat udah capek dengan begitu-begitu dirubah begini, begitu, begini," kata Aboe ditemui di DPP PKS, Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Selasa (12/9/2023).
Abo menilai, saat ini rakyat Indonesia butuh pemimpin yang mampu melakukan perubahan dan perbaikan yang fokusnya pada kesejahteraan hidup ketimbang obrolan mengenai politik yang tak berkesudahan.
"Rakyatnya udah jelas butuh siapa pemimpin yang bisa melakukan perubahan, perbaikan, mensejahterakan, memakmurkan menenangkan, memberikan semangat eskalasi kemajuan pendidikan dan lain-lain sebagainya, itu," kata Aboe.
"Udah bosan ngomong politik-politik terus ini, cepat-cepat lah," sambung dia.
Draf PKPU: Menteri Maju Capres Bisa Cuti Atas Seizin Presiden
Adapun, Komisi Pemilihan Umum saat ini tengah menggodok rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam salah satu pasalnya, dijelaskan pejabat negara yang dicalonkan menjadi capres atau cawapres oleh partai politik maupun koalisi harus mengundurkan diri dari jabatannya.
"Pejabat negara yang diusung oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya," bunyi draf PKPU Pasal 15 ayat (2).
Sedangkan untuk jabatan Presiden, Wakil Presiden, DPR hingga pejabat setingkat menteri yang maju sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Pemilu 2024 tak perlu mengundurkan diri jabatannya, namun cukup mengambil cuti atas persetujuan Presiden.
"Pengecualian berlaku untuk Presiden, Wakil Presiden, anggota legislatif, gubernur, bupati, walikota, menteri, dan pejabat setingkat menteri yang mendapatkan persetujuan presiden dan cuti/non aktif," lanjutan pasal 15 ayat (2) draf PKPU.
Adapun terkait waktu cuti, dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pejabat setingkat menteri bisa mengajukan cuti sejak ditetapkan sebagai capres-cawapres hingga selesainya Pemilu.
"Terhitung Sejak ditetapkan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden hingga selesainya tahapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden," lanjutan draft tersebut.
Advertisement
MK Kabulkan Gugatan Menteri Tak Harus Mundur Jika Maju Capres
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah menyatakan menteri atau pejabat setingkat menteri tidak harus mengundurkan diri dari jabatannya apabila dicalonkan oleh partai politik maupun gabungan partai politik menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.
Hal itu ditegaskan dalam putusan Perkara Nomor 68/PUU-XX/2022 perihal Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, di mana, MK memutuskan syarat pengunduran diri bagi pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau Calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya tidak lagi relevan.
Menurut Hakim MK Arief Hidayat, penjelasan MK bahwa syarat pengunduran diri bagi pejabat negara yang dicalonkan partai politik atau parpol peserta pemilu atau koalisi parpol sebagai capres atau cawapres mesti mengundurkan diri dari jabatannya tak lagi relevan.
"Tidak lagi relevan dan oleh karenanya harus tidak lagi diberlakukan ketentuan pengecualian syarat pengunduran diri dalam norma Pasal 170 Ayat 1 UU Nomor 7/2017," ujar Arief dalam sidang, melalui keterangan tertulis.
Arief menegaskan bahwa jabatan menteri atau setingkat menteri termasuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dimiliki oleh presiden dan wakil presiden.
"Oleh karena itu, demi kepastian hukum dan stabilitas serta keberlangsungan pemerintahan, menteri atau pejabat setingkat menteri merupakan pejabat negara yang dikecualikan apabila dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau Calon Wakil Presiden harus mendapat persetujuan cuti dari Presiden," jelas Arief.
Perkara itu sebelumnya dimohonkan Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana. Ia mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) Pasal 170 ayat (1) mengenai "Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali presiden, wakil presiden, pimpinan anggota MPR, pimpinan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota."
Menurut pemohon, pasal itu tidak secara jelas menyebut menteri harus mundur atau tidak sehingga dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum.