Sukses

DPRD Bekasi Minta Pemerintah Pusat Fasilitasi Perekrutan Honorer ke PPPK

Kinerja para honorer saat ini harus lebih digenjot agar memiliki keahlian khusus. Bukan sekadar "titipan" atau hasil lobi-lobi kepala daerah yang memenangkan pilkada ataupun pejabat setempat.

Liputan6.com, Jakarta - Pembatalan penghapusan tenaga honorer tahun 2023 telah diputus pemerintah pusat untuk mencegah PHK massal. Seiring hal ini, pemerintah sedang mengevaluasi kebijakan baru melalui RUU ASN untuk menata tenaga honorer ke depannya.

Ketua Komisi I DPRD Kota Bekasi, Faisal menyambut baik kebijakan pemerintah pusat. Menurutnya, menghapus tenaga kerja honorer (TKK) akan menciptakan PHK massal yang bakal berdampak serius pada perekonomian nasional.

"Penghapusan honorer itu dari pusat dibatalkan, menghindari PHK massal dan lain-lain yang tidak diinginkan, kami bersepakat," katanya kepada Liputan6.com, Kamis (14/9/2023).

Faisal juga menyorot rencana pemerintah pusat untuk mengubah tenaga honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu dan penuh waktu, yang saat ini tengah dibahas bersama DPR.

Menurutnya, pemerintah pusat perlu memfasilitasi tenaga honorer terutama yang sudah puluhan tahun mengabdi, agar bisa lolos sebagai PPPK dengan meningkatkan SDM sehingga sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.

"Jadi nggak ada salahnya setiap kota/kabupaten melakukan penyelarasan untuk peningkatan SDM, agar ke depan semua yang hari ini berstatus honorer bisa tergabung ke dalam PPPK yang regulasinya memang sudah dibuat," ujar politis Golkar itu.

"Sehingga program pusat untuk mengawasi semuanya di dalam sistem mereka, baik itu ASN maupun PPPK, itu bisa berjalan dengan maksimal," imbuhnya.

Faisal menyebutkan, kinerja para honorer saat ini harus lebih digenjot agar memiliki keahlian khusus. Bukan sekadar "titipan" atau hasil lobi-lobi kepala daerah yang memenangkan pilkada ataupun pejabat setempat.

Hal ini, kata dia, menjadi tanggung jawab masing-masing OPD tempat honorer bernaung. Setiap OPD harus rutin mengawasi sehingga bisa menilai hasil kinerja masing-masing honorer.

"Contoh semua TKK yang ada di DPRD, bernaung di OPD yang namanya sekwan. Artinya, di situlah terjadi kroscek pengawasan pengendalian dan lain-lain. Begitu juga karyawan yang ada di setiap kelurahan, dimonitor oleh camat selaku OPD," jelasnya.

 

2 dari 3 halaman

Pembengkakan Anggaran

Mengenai adanya pembengkakan anggaran, Faisal menyebutkan hal itu terjadi dikarenakan regulasi PPPK yang sifatnya terbuka untuk umum, bukan hanya tenaga honorer semata. Dalam artian, tenaga honorer bersaing dengan masyarakat umum untuk menjadi PPPK.

"Sehingga 70 persen PPPK yang lulus seleksi berasal dari pendaftar luar, 30 persen dari TKK. Harusnya kalau semua khusus untuk TKK, kan jumlah TKK jadi berkurang karena berubah status PPPK," ungkapnya.

Karena banyak PPPK yang berasal dari masyarakat umum yang berujung pada penambahan pegawai pemerintah, maka anggaran untuk gaji pun otomatis membengkak.

"Nah solusinya APBD harus ditingkatkan. Itu solusi untuk segala bentuk penyakit. Idealnya Kota Bekasi dengan kota metropolis dan pertumbuhan investasi yang ada, sudah saatnya menyentuh dua digit, baru segala sesuatunya proporsional," tandas Faisal.

 

3 dari 3 halaman

Audit Ulang Data Honorer

Diketahui, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Abdullah Azwar Anas merespons pernyataan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Junimart Girsang terkait potensi pembengkakan ASN dari 2,3 juta menjadi 5,6 juta. Dikabarkan ada data 3,38 juta tenaga honorer yang tidak masuk dalam database pemerintah.

Anas mengatakan akan mengaudit ulang secara menyeluruh data honorer karena banyak ditemukan tidak valid. Ia juga menegaskan tak akan segan mengenakan proses hukum jika masih ada temuan permainan data honorer, termasuk kepala daerah sekalipun.

Sementara Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan kebanyakan tenaga honorer bidang administrasi tidak memiliki keahlian khusus. Hal ini dikarenakan tenaga honorer diisi para timses hingga keluarga kepala daerah dan pejabat setempat.

Jumlah tenaga honorer ini terus menumpuk karena kepala daerah yang baru terpilih di Pilkada, membawa lagi anggota timsesnya menjadi tenaga honorer. Hal ini kemudian berimplikasi pada APBD yang lebih banyak tersedot untuk gaji pegawai ketimbang belanja operasional daerah.

Â