Sukses

Halo Halo Bandung Dijiplak Jadi Hello Kuala Lumpur, Kemenkumham: Bisa Digugat Dengan UU Malaysia

Karya cipta lagu Halo Halo Bandung pertama kali diumumkan pada tanggal 1 Mei 1946 dan waat ini telah tercatat di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM dengan nomor permohonan EC00202 106966.

Liputan6.com, Jakarta Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)  Kemenkumham HAM, Min Usehin buka suara mengenai lagu Hello Kuala Lumpur yang diduga telah melanggar hak cipta atas karya lagu Halo Halo Bandung ciptaan Ismail Marzuki yang diunggah dalam kanal youtube dari Malaysia.

Min menjelaskan, karya cipta lagu Halo Halo Bandung pertama kali diumumkan pada tanggal 1 Mei 1946 dan waat ini telah tercatat di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM dengan nomor permohonan EC00202 106966. 

Maka, Min menegaskan bahwa menghargai hak cipta dan menghormati karya orang lain adalah prinsip dasar dalam menjaga keberlanjutan ekosistem kreatif, budaya, dan ekonomi. Oleh karena itu, masyarakat di seluruh dunia diingatkan untuk memahami pentingnya pelindungan hak cipta dan menghargai karya orang lain. 

"Sebagaimana diketahui, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwuyjudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu kita tidak bisa mengubah karya milk orang lain tanpa persetujuan pencipta maupun pemegang hak cipta," tutur Min di Kantor DJKI dalam keterangannya yang diterima, Jumat (15/9/2023).

"Di dalam karya cipta tersebut ada hak moral dan hak ekonomi milik pencipta maupun pemegang hak cipta yang harus kita ketahui dan hormati," tambahnya. 

Min menyampaikan, bila ingin menggunakan sebagian maupun secara keseluruhan terhadap suatu karya orang lain harus meminta izin lebih dahulu kepada pencipta maupun pemegang hak cipta.

Hal ini sebagai wujud untuk menghargai hak moral pencipta atas karya tersebut. 

"Jika kita kesulitan menghubungi pencipta maupun pemegang hak cipta untuk meminta izin, setidaknya kita wajlb mencantumkan credit atas karya tersebut milik siapa," kata Min. 

Oleh karena itu, bila ada orang maupun pihak lain yang mengambil musik atau pun mengubah lirik dari suatu karya lagu tanpa meminta izin dan tidak mencantumkan nama penciptanya, maka patut diduga sebagai bentuk pelanggaran hak cipta atas hak moral. 

Min melanjutkan, apabila lagu itu diunggah ke platform digital, maka tindakan itu akan merugikan pencipta dan pemegang hak cipta baik dari sudut pandang hak moral maupun hak ekonomi. 

Ratifikasi Konvensi Bern, Apa Isinya ?

Min menuturkan, perlindungan Hak Cipta berlaku universal di seluruh negara yang telah meratifikasi Konvensi Bern. Termasuk Indonesia yang merupakan anggota Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Berne Convention For The Protection Of Literary And Artistic Work dan telah diundangkan pada tanggal 7 Mei 1997. 

"Mengacu pada ketentuan Pasal 5 Konvensi Bern, maka Karya Cipta lagu Halo-halo Bandung yang diciptakan Ismail Marzuki secara otomatis diindungi dt seluruh negara anggota Konvensi Bern yang sampai saat mi berjumiah 181 negara termasuk di Malaysia sebagai anggota konvensi Bern atas hak eksklusif yang dimiliki oleh Pencipta/Pemegang Hak Cipta atas lagu tersebut," lanjut Min. 

Meski demikian, perlu dipahami bahwa dalam upaya penegakan hukum pelanggaran hak cipta di negara lain baik untuk hak moral dan atau hak ekonomi, Konvensi Bern menyebutkan tentang penggunaan azas independence of protection. Artinya, pelindungan dan penegakan hukum Hak Cipta mengimplementasikan aturan hukum di negara di mana karya hak cipta tersebut dilanggar. 

"Untuk itu, jika pencipta atau pemegang hak cipta Indonesia ingin menegakkan hak cipta di negara lain, maka gugatan dilaksanakan berdasarkan dengan Undang Undang Hak Cipta di negara tersebut," jelas Min.  

2 dari 2 halaman

Pahami Pentingnya Pelindungan Hak Cipta

Selanjutnya, Min menerangkan, jika pencpta atau pemegang hak ciptanya sudah meninggal dunia maka ahli waris sebagai pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif untuk melarang atau mengizinkan pihak lain dalam meiaksanakan hak cipta miliknya. 

Namun apabila terjadi dugaan pelanggaran, penegakan hak cipta seharusnya diawali dengan pendekatan alternative dispute resolution (ADR). 

Adapun, ADR adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kata sepakat (konsensus) yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa baik tanpa ataupun dengan bantuan para pihak ketiga yang netral.

Min menambahkan, DJKI sebagai focal point kekayaan intelektual Indonesia dapat mengambil peran menjadi pihak netral yang menjembatani penyelesaian sengketa tersebut. 

Min mengajak seluruh masyarakat dunia yang saling terhubung melalui internet untuk memahami pentingnya pelindungan hak cipta dan menghargai karya orang lain. Sehingga, bisa membangun ekosistem kekayaan intelektual yang lebih adil, kreatif, dan berkelanjutan. 

"Mari bersama-sama menjaga dan mendukung ekosistem kreatif yang beragam ini demi kebaikan bersama," pungkasnya. 

Sebagai informasi, perlindungan hak cipta atas karya cipta lagu di Indonesia berlaku selama hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, atau sesuai Pasal 58 ayat 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

Pencatatan hak cipta di indonesia tidak diwajibkan, akan tetapi para kreator didorong untuk mencatatkannya di DJKI sebagai bagian dari upaya defensif apabila suatu ketika terjadi klaim dari pihak lain yang merugikan pencipta atau pemegang hak cipta.

 

Reporter: Muhammad Genantan Saputra

Sumber: Merdeka.com