Liputan6.com, Jakarta - Dua tersangka kasus industri film porno di Jakarta Selatan (Jaksel) yakni AIS dan JAAS mengaku hanya menjadi korban. Tersangka yang berperan sebagai video editor dan kameramen di rumah produksi milik I itu merasa ditipu oleh bosnya.
Hal ini sebagaimana diungkapkan penasihat hukum kedua tersangka kasus rumah produksi film porno, Hika T A Putra. Dia menyampaikan bahwa kliennya adalah korban karena hanya menjalankan pekerjaan sesuai instruksi I selaku atasannya.
Hika menerangkan, kliennya hanya bekerja sebagai video editor di rumah produksi (PH) yang didirikan oleh tersangka I. Tugasnya pun hanya meramu data-data mentah yang dikirimkan oleh sutradara sehingga menjadi sebuah film yang layak ditonton secara teknik videografi.
Advertisement
Dia menerangkan, kliennya mendapat upah bukan berdasarkan per judul film, atau member, tapi sistem pembayaran per bulan itupun di bawah upah minimum regional (UMR) atau upah minimum provinsi (UMP).
"Saya dapat informasi gaji mereka itu di bawah Rp 4 juta per bulan," ujar dia di Polda Metro Jaya, Jumat (15/9/2023).
Hika menceritakan, pada awalnya materi film yang diproduksi tidak ada yang melanggar asusila dan norma hukum. Lebih banyak film-film yang memang di-upload di Youtube. Jadi kayak semacam web series, yang sifatnya layak upload.
"Jadi diajak itu tidak ada pembahasan sama sekali terkait web yang berbayar, terkait dengan film porno, itu tidak ada sama sekali pembahasan disitu. Hanya diajak memproduksi film memang tidak ada permasalahan dari sisi norma dan kesusilaan," ujar dia.
Â
Tak Bisa Menolak Perintah I
Tapi seiring berjalannya waktu, I sebagai atasannya mengarahkan memproduksi film vulgar demi mencari market yang lebih besar. Kliennya, sebagai karyawan tak bisa menolak.
"Nah ini di luar sepengetahuan klien kami dalam hal website dan lain-lain. Ini bukanlah sebuah tim yang dibentuk secara khusus untuk membuat film yang melanggar norma-norma kesusilaan," kata dia.
Karenanya, menurut dia kliennya bisa dibilang hanya korban. Dia merasa ditipu karena ketika diperingatkan perihal-perihal adegan yang dinilai vulgar, atasanya selalu meyakinkan bahwa film tak akan bermasalah.
Dalihnya, perusahaan punya badan hukum dan semua film menjadi tanggung jawabnya sebagai produser.
"Bahkan di beberapa adegan ini sempat diwanti-wanti. Ini enggak kelewatan pak, ini enggak berbahaya karena ini sudah agak vulgar," ujar dia.
"Nah kemudian diiming-imingi oleh pimpinannya itu. 'Kita legal kok, kita bukan porno kok. Ini masih semi kok, ini masih sesuai dengan standar kok. Bahwa perusahaan kita ini ada legalnya, ada kuasa hukumnya'. Jadi karena ketidaktahuan mereka terkait dengan undang-undang pornografi dan undang-undang ITE, mereka mengikuti saja," sambung dia.
Â
Advertisement
Minta Pendana Film Porno Ditangkap
Terlepas dari itu, Hika mendesak kepolisian mengusut tuntas kasus industri film porno tersebut. Sebab informasi dari kliennya, masih ada pelaku lain mungkin sebagai pendana atau otak yang menikmati hasil dari perusahaan ini yang belum ditangkap oleh kepolisian.
Sementara itu, saat ini yang diringkus hanyalah karyawan yang hanya menerima gaji dibawah UMR secara bulanan.
"Jadi ini menurut saya tidak fair dan tidak berimbang. Jangan hanya orang-orang kecil yang hanya bekerja sebagai bawahan, yang tidak menikmati hasil dari produksi website berbayar itu yang ditahan. Tapi otak-otak pelaku yang lain yang masih berkeliaran kami harap juga ada rasa keadilan untuk segera diproses juga," ucap dia.