Liputan6.com, Jakarta Gerakan Sertifikasi Rumah Ibadah dan Pesantren menjadi program yang mengakselerasi pendaftaran tanah di Indonesia.
Manfaat dari gerakan tersebut mulai terlihat dengan tersertifikasinya tanah-tanah rumah ibadah, seperti yang terjadi pada salah satu gereja tertua di Kelurahan Baumata, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, NTT, yaitu Gereja Masehi Injili di Timor.
Baca Juga
Survei Jelang Pencoblosan, Melki-Johni Unggul Pilkada NTT 2024 Kalahkan Yohanis Fransiskus-Jane dan Simon-Adrianus
Lomba Lari untuk Bantu Penyediaan Air Bersih di NTT dan Sulteng Diikuti 6800 Pelari
Survei LSI di Kabupaten Sikka: Juventus-Simon 36,4%, Suitbertus-Ray 24,4%, Diogo-Wodon 13,9%, Mekeng-Alfridus 6,1%
Gereja Masehi Injili di Timor menjadi salah satu rumah ibadah yang mendapatkan kepastian hukum hak atas tanahnya, pada Jumat 15 September 2023.
Advertisement
Rumah ibadah yang memiliki luas 3.792 meter persegi ini sertifikatnya diserahkan langsung oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pendeta Sinta Waang pun menuturkan, tanah tempat berdirinya gereja tersebut sudah lebih dari satu abad belum memiliki kepastian hukum.
"Lebih dari 100 tahun, usia (tanahnya) lebih tua dari Gereja Masehi Injili di Timor," kata dia dalam keterangannya, Sabtu (16/9/2023).
Pendeta Sinta mengungkapkan alasan gereja tersebut lama tidak memiliki sertifikat. Usut punya usut, sulitnya pembuatan sertifikat disebabkan adanya permasalahan waris dari pemilik tanah terdahulu.
"Bisa lama karena memang proses juga agak sedikit rumit, karena tentang kepemilikan hak warisnya dan terlalu lama ditunda untuk pengurusan. Setelah orang tuanya meninggal, hak waris masih dalam pembicaraan cukup lama," jelas dia.
Â
Belajar dari Pengalaman
Tak hanya hal tersebut yang menyebabkan lamanya gereja tidak bersertifikat. Para pengurus gereja juga masih merasa alas hak atas tanah bukanlah hal yang penting.
Hingga akhirnya, belakangan terdapat konflik pertanahan yang melibatkan gereja-gereja di sekitarnya.
"Mungkin juga dulu tidak terlalu merasa penting untuk pengurusan sertifikasi. Namun, ketika sudah banyak kasus gereja mulai melihat memang ini adalah suatu kebutuhan yang harus dipenuhi," kata Pendeta Sinta.
Gayung bersambut, di waktu para pengurus tergerak untuk mengurus alas hak dari tanah gereja, Kementerian ATR/BPN menyediakan program yang mempercepat proses sertifikasi rumah ibadah.
Pendeta Sinta pun merasa, kini para jemaat yang beribadah bisa lebih tenang dengan adanya sertifikat.
Advertisement