Liputan6.com, Jakarta - Beberapa pekan lalu polusi di Jakarta menjadi sorotan. Bahkan beberapa kali Jakarta menduduki kota paling polusi nomor satu dunia berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir.
Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan menyebut polutan yang terjadi di berbagai wilayah urban dunia termasuk Jakarta, berkontribusi terhadap perubahan iklim. Dampaknya, kata dia, dirasakan langsung masyarakat.
Baca Juga
"Dan kita juga merasakan efeknya secara lokal dari polusi ini adalah cuaca di Jakarta terasa lebih panas. Sebab, efek atau feedback-nya terasa lebih kuat," kata Ardhasena kepada Liputan6.com.
Advertisement
Sementara itu untuk kekeringan yang terjadi pada tahun 2023 merupakan dampak dari beberapa peristiwa. Salah satunya yakni akibat adanya pergeseran pola musim. Yakni kemarau di Indonesia yang telah panjang.
"Namun yang teristimewa, tahun ini kita juga mengalami El Nino. Sehingga musim kemarau rata-rata jadi lebih panjang sekitar 4 hingga 5 minggu dibanding kondisi normalnya," ucapnya.
Selanjutnya, kata Ardhasena, dampak turunan seperti beberapa kejadian kebakaran hutan di beberapa lokasi. Contohnya di pulau Sumatra dan Kalimantan.
"Walaupun karhutla tahun 2023 masih jauh di bawah kejadian karhutla tahun 2019 dan 2015," ujarnya.
Karena itu Ardhasena menyebut terdapat sejumlah hal yang dapat dilakukan sebagai upaya menekan laju kenaikan suhu akibat perubahan iklim. Yaitu mitigasi dan adaptasi.
Langkah mitigasi yaitu dengan mengurangi aktivitas-aktivitas manusia yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Misalnya aktivitas transportasi hingga pembangkitan energi.
"Itu perlu segera kita lakukan dan kita konversi kepada upaya-upaya yang lebih ramah lingkungan, yang tidak mengemisikan banyak atau tidak mengemisikan sama sekali gas-gas rumah kaca seperti CO2, dan juga memperkuat upaya-upaya untuk menangkap kembali karbon dari atmosfer dikembalikan lagi ke bumi, upaya-upaya seperti penghijauan kembali," jelas dia.
Produksi Kopi Bakal Menurun Akibat Perubahan Iklim
Perubahan iklim bukan lagi sekadar isu global yang dapat dipandang sebelah mata. Peristiwa cuaca ekstrem dan kepunahan massal adalah beberapa dampak paling serius dari perubahan iklim, tetapi dunia yang semakin panas ini juga memiliki dampak lain yang tidak kalah signifikan untuk Bumi kita.
Dunia tengah menyaksikan pergeseran dramatis akibat perubahan iklim yang semakin nyata. Di tengah guncangan dampak perubahan iklim di seluruh dunia, Indonesia, sebagai salah satu produsen kopi terbesar di dunia, tidak luput dari imbasnya.
Selain dari ancaman langsung terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati, perubahan iklim juga membawa konsekuensi tak terduga terhadap industri kopi di Indonesia.
Menurut penelitian yang diterbitkan pada 26 Januari dalam jurnal PLOS One, diperkirakan pada tahun 2050, perubahan iklim berpotensi mengurangi setengah dari lahan yang dapat digunakan untuk perkebunan kopi.
Dengan melakukan pemodelan terhadap tiga skenario iklim berbeda yang membatasi pemanasan global pada 2.7 derajat Fahrenheit (1.5 derajat Celsius), 4.3 derajat Fahrenheit (2.4 derajat Celsius), atau 7.2 derajat Fahrenheit (4 derajat Celsius), para ilmuwan menemukan bahwa jumlah wilayah yang sangat cocok untuk perkebunan kopi, seperti wilayah di Brasil, Vietnam, Indonesia, dan Kolombia, dapat mengalami penurunan hingga 50%.
Advertisement