Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merampungkan berkas dakwaan mantan Direktur Utama PT Amarta Karya, Catur Prabowo, dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan subkontraktor fiktif di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Amarta Karya Persero Tahun 2018 hingga 2020.
Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri menyebut, berkas dakwaan Catur sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat.
Baca Juga
"Jaksa KPK Rudi Dwi Prastyono, kemarin (19/9) telah selesai melimpahkan berkas perkara dan surat dakwaan dengan Terdakwa Catur Prabowo dan kawan-kawan ke Pengadilan Tipikor pada PN Bandung," ujar Ali dalam keterangannya, Rabu (20/9/2023).
Advertisement
Ali mengatakan, dalam surat dakwaan akan dibeberkan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Catur Prabowo cs. Catur akan didakwa melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) mencapai Rp 56 miliar.
"Tim Jaksa mendakwa dengan dakwaan korupsi dan TPPU dengan nilai mencapai Rp56 miliar," kata Ali.
Ali menyebut, berkaitan dengan penahanan Catur Prabowo cs kini menjadi kewenangan Pengadilan Tipukor pada PN Bandung. Menurut Ali, pihaknya tengah menunggu sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan.
"Wewenang penahanan telah beralih ke Pengadilan Tipikor dan tempat penahanan masih berada di Rutan KPK. Agenda sidang untuk pembacaan surat dakwaan, saat ini masih menunggu diterbitkan oleh Panmud Tipikor," Ali menandaskan.
KPK menjerat mantan Direktur Utama PT Amarta Karya Persero Catur Prabowo dalam kasus dugaan korupsi proyek fiktif di PT Amarta Karya Persero Tahun 2018 hingga 2020. Catur Prabowo juga dijerat dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Catur sudah ditahan pada Rabu, 17 Mei 2023.
Selain Catur, KPK menjerat Direktur Keuangan PT Amarta Karya Trisna Sutisna. Trisna sudah lebih dahulu ditahan di Rutan KPK pada Markas Komando Puspomal, Jakarta Utara pada 11 Mei 2023.
"Dalam rangka kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan Tersangka CP (Catur Prabowo) untuk 20 hari pertama terhitung 17 Mei 2023 hingga 5 Juni 2023 di Rutan KPK pada gedung Merah Putih," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers, Rabu (17/5/2023).
Â
Konstruksi Kasus
Kasus ini bermula pada 2017 saat Catur Prabowo memerintahkan Trisna Sutisna dan pejabat di bagian akuntansi PT Amarta Karya mempersiapkan sejumlah uang untuk kebutuhan pribadi Catur Prabowo. Sumber uang diambil dari pembayaran nlberbagai proyek yang dikerjakan PT Amarta Karya.
Kemudian, Trisna Sutisna bersama dengan beberapa staf di PT Amarta Karya mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV.
"CV tersebut digunakan untuk menerima pembayaran subkontraktor dari PT Amarta Karya tanpa melakukan pekerjaan yang sebenarnya alias fiktif," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak.
Kemudian pada 2018, dibentuklah beberapa badan usaha CV fiktif sebagai vendor yang akan menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek PT Amarta Karya. Hal ini sepenuhnya atas sepengetahuan Catur Prabowo dan Trisna Sutisna.
Johanis menyebut untuk pengajuan anggaran pembayaran vendor, Catur Prabowo selalu memberikan disposisi 'lanjutkan' dibarengi dengan persetujuan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditandatangani oleh Trisna Sutisna.
Buku rekening bank, kartu ATM dan bongol cek dari badan usaha CV fiktif dipegang staf bagian akuntansi PT Amarta Karya yang menjadi orang kepercayaan dari tersangka agar memudahkan pengambilan dan pencairan uang sesuai dengan permintaan Catur Prabowo.
Â
Advertisement
Negara Rugi Rp 46 Miliar
Johanis menyebut diduga ada sekitar 60 proyek pengadaan PT Amarta Karya yang disubkontraktorkan secara fiktif oleh Catur Prabowo dan Trisna Sutisna. Di antaranya yakni pekerjaan konstruksi pembangunan rumah susun Pulo Jahe, Jakarta Timur, pengadaan jasa konstruksi pembangunan gedung olahraga Univesitas Negeri Jakarta, dan pembangunan laboratorium Bio Safety level 3 Universitas Padjajajran.
Akibat perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sekira Rp 46 miliar.
"Saat ini tim penyidik masih terus menelusuri adanya penerimaan uang maupun aliran sejumlah uang ke berbagai pihak terkait lainnya," pungkas Johanis.
Atas perbuatannya, keduanya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.