Liputan6.com, Jakarta: Soal Undang-undang Nanggroe Aceh Darussalam dalam perjanjian perdamaian per 9 Desember 2002, antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka rupanya punya pemahaman berbeda. Pemerintah Pusat di Jakarta beranggapan, dengan disetujuinya perjanjian tersebut, berarti GAM menerima usulan penerapan status Otonomi Khusus (Otsus) alias bersedia mempertimbangkan pembatalan wacana Aceh merdeka. Sedangkan dalam pemikiran GAM, poin itu diterjemahkan sebagai fase awal penerapan penghentian permusuhan. Sedangkan ihwal melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI, itu sudah harga mati buat kelompok separatis ini. "Tapi, kami masih tetap membuka pintu perundingan," kata Zaini Abdullah, tokoh GAM yang ada di Swedia, saat bertelewicara dengan Arif Suditomo di Studio Jakarta, Sabtu (3/5) petang. Zaini memaparkan, ide Otsus NAD adalah hal baru dalam kerangka perjanjian damai 9 Desember yang tak dilemparkan pemerintah RI dalam pertemuan di Swiss sebelumnya. "Itu nggak ada di CoHA [Cessation of Hostilities Agreement]," ungkap Zaini. Karena itu, mereka menolak membahas soal Otsus jika nantinya kembali perundingan dengan RI diadakan kembali dan berketetapan untuk tetap membicarakan implementasi CoHA. "Setelah bahasan fase ini selesai, barulah kita bicarakan soal kemerdekaan dan lain-lain," rentet Zaini yang kini berkewarganegaraan Swedia itu. Mengenai ultimatum pemerintah RI yang memberi batas waktu dua pekan buat GAM untuk kembali memprakarsi pertemuan, Zaini menyatakan, boleh-boleh saja. "Kami akan datang ke Jakarta, tapi bukan karena ultimatum itu," tegas Zaini. Alasannya, GAM diklaim serius dengan perjanjian damai. Sementara, dia menambahkan, justru RI-lah yang tak jujur dan terkesan main-main dengan perjanjian tersebut. Buktinya, "Kenapa pakai ultimatum segala? Kalau mau damai, bukan secara paksa," cetus Zaini. Menurut rencana, kemungkinan GAM akan menemui pemerintah RI setelah tenggat waktu dua pekan usai. Zaini juga menilai, penambahan jumlah TNI di Bumi Serambi Mekah sebagai hal yang tidak selaras dengan lingkup perjanjian perdamaian. Langkah itu dinilai sebagai keputusan RI yang menodai perjanjian damai yang sempat berhasil selama dua bulan. Lebih-lebih alasan RI yang mengatakan keputusan itu diambil sebagai akibat aksi GAM yang menambah pasokan senjata dan jumlah anggota. "Benar-benar nggak wajar! Perang ya perang, damai ya damai. RI harus tegas," kecam Zaini. Tudingan itu dibantah keras Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono yang ikut berdialog dengan Arif Suditomo, petang tadi. Dia menyatakan kecewa pada semua pernyataan Zaini tersebut. Padahal beberapa waktu silam, kisah Bambang, dia dan Zaini serta dua tokoh GAM lain Abdullah Malik Mahmud dan Hasan Tiro, sudah sama-sama melawat sejumlah pegunungan, desa, dan kota di Aceh untuk melihat secara langsung kenyataan di lapangan. "Supaya mereka jangan berkomentar jauh-jauh dari luar negeri [Swedia]," ungkap Bambang. Dalam kunjungan itu, menurut Bambang, para tokoh GAM yang sudah puluhan tahun berdomisili di luar negeri melihat kepatuhan TNI/Polri terhadap perjanjian damai. Bahkan saat itu, Henry Dunant Center pun mengakui sikap positif tersebut. "Tapi kenyataanya sekarang, Zaini memutarbalikkan fakta seolah RI yang tak disiplin," keluh Bambang. Bagaimana pun, dia menambahkan, RI tetap bersikeras penyelesaian masalah Aceh berpangkal pada penerimaan UU Otsus bukan pada bahasan merdeka maupun referendum. "Berarti, justru GAM-lah yang keluar dari konsep perdamaian," kecam Bambang [baca: Panglima TNI Meminta GAM Konsisten]. Politik pingpong RI-GAM ini tampaknya akan selesai di medan perang. Soalnya, Rabu sore tadi, Bambang baru menerima surat bernada negatif dari HDC yang ditulis GAM dan ditandatangani Malik Mahmud. Isinya, GAM menyatakan RI tak serius menyikapi perjanjian damai dengan memaparkan sejumlah masalah di lapangan yang menurut mereka ulah TNI/Polri. "Jadi, surat itu tak menjanjikan [damai]," Bambang menyimpulkan. Meski demikian, lanjut Bambang, ada harapan pada keajaiban sehingga diskusi RI-GAM dapat ditetapkan kembali dalam waktu yang tepat. Namun yang pasti, pemerintah tak akan berpangku tangan menghadapi situasi ini. Negara harus diselamatkan, rakyat harus dilindungi, cetus Bambang. Caranya, dengan merealisasikan empat operasi di NAD yang sudah ditetapkan pada sidang kabinet Senin pekan ini. Yakni Operasi Kemanusiaan, Operasi Pemulihan Keamanan, Operasi Pemantapan Jalan Pemerintahan, dan Operasi Penegakan Hukum [baca: Menko Polkam: Cukup Sudah Itikad Baik].(MTA)
Perang Tuding RI-GAM soal Pelanggaran CoHA
Menurut RI, GAM sudah menyetujui Otonomi Khusus NAD saat penandatanganan perjanjian damai 9 Desember 2002. Bagi GAM, kemerdekaan adalah harga mati. Operasi yang sudah ditetapkan segera diwujudkan.
Advertisement