Liputan6.com, Jakarta Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) sepakat melarang pondok pesantren dijadikan tempat kampanye politik.
Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan fasilitas pendidikan, termasuk pesantren menjadi lokasi kampanye jelang pemilu 2024, tetapi institusi pendidikan tersebut harus netral dari politik praktis.
Baca Juga
"Pesantren merupakan institusi pendidikan yang harusnya dapat menjaga netralitas dalam pemilu 2024, baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif," kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Tubagus Ace Hasan Syadzily dilansir Antara, Kamis, 28 September 2023.
Advertisement
Sebelumnya, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) memutuskan menolak lingkungan pesantren dijadikan lokasi kampanye politik jelang pemilu 2024.
Tuntutan ini merupakan hasil pertemuan dalam Halaqah Nasional Pengasuh Pesantren di Pesantren Al Muhajirin, Purwakarta, Jawa Barat, 22-24 September 2023.
Sebanyak 1.000 pengasuh pondok pesantren (ponpes) menolak kampanye pemilu di lingkungan pesantren, sekalipun MK memutuskan bahwa fasilitas lembaga pendidikan boleh digunakan untuk kampanye, termasuk pesantren dengan izin dari penanggung jawab (pengasuh pesantren).
Para pengasuh pondok pesantren berpandangan kegiatan kampanye politik di lingkungan pesantren akan berdampak negatif, khususnya bagi para santri dan alumninya.
Ade menyatakan setuju dengan pertimbangan para pengasuh pondok pesantren.
"Saya setuju dengan hal tersebut. Bahwa pimpinan pesantren memiliki hak politik tentu dapat kita hormati. Tetapi menjadikan pesantren sebagai institusi pendidikan yang berdiri di atas semua kepentingan politik partisan tetap harus dijaga," tegas Ace.
Ace meminta kepada semua pihak untuk menjaga ketenangan peserta didik dengan tidak melibatkan siswa dan santri pada politik partisipan.
Ace menjelaskan pesantren selama ini telah menjadi institusi yang berakar pada masyarakat dengan tetap mensyiarkan nilai-nilai keagamaan yang rahmatan lil alamin.
"Pesantren harus mengedepankan politik kebangsaan, bukan dukung-mendukung dan dijadikan sebagai ajang kampanye," kata Ace.
Dia berpandangan pesantren dapat menjadi tempat untuk memfasilitasi diskusi tentang berbagai isu politik dan pilihan pemilih, asalkan dilakukan dengan cara yang edukatif dan objektif.
"Walaupun kita tahu bahwa banyak tokoh-tokoh politik bersilaturahim ke pesantren tentu harus diterima dengan tangan terbuka, tetapi institusi pesantren sendiri tetap harus menjaga netralitas," kata Ace.
Baca juga HEADLINE: Berebut Dukungan dan Suara Nahdliyin di Pilpres 2024, Siapa Diuntungkan?
Pesantren hanya Dieksploitasi untuk Mendulang Suara para Politikus
Seribu pengasuh pesantren Indonesia berkumpul di Pesantren Al Muhajirin, Purwakarta, Jawa Barat pada 22-24 September 2024. Kehadiran para pengasuh pesantren itu bertujuan membahas isu-isu penting terkait penguatan kemandirian pesantren untuk stabilitas nasional dalam Halaqah Nasional Pengasuh Pesantren.
Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), KH Sarmidi Husna menyampaikan, Halaqah Nasional Pengasuh Pesantren yang berlangsung pada 22-24 September 2024 ini membahas sejumlah isu penting yang mencakup kemandirian pesantren, transformasi digital di pesantren, inkubasi bisnis pesantren, keadilan pajak bagi pesantren.
Pada kesempatan ini, Kiai Sarmidi menggarisbawahi tiga isu penting, yang perlu dibahas dan perlu dicarikan rumusan solusinya.
Pertama, terkait pajak di pesantren. Karena pesantren selama ini memiliki kontribusi besar terhadap negara dalam mencerdaskan anak bangsa. Alih-alih mendapatkan reward dari pemerintah, justru pesantren malah dibebani dengan membayar pajak, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Seringkali pesantren tiba-tiba mendapat tagihan pajak yang memberatkan, tanpa didahului sosialisasi dan edukasi. Dalam halaqah ini, para pengasuh pesantren meminta pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan sosialisasi dan edukasi secara masif, sebelum melakukan pemungutan pajak pesantren.
Termasuk memberikan keringanan pajak serta rekomendasi kepada pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) untuk membentuk tax-center di pesantren.
yang kedua, tentang pentingnya transformasi digital di pesantren. Saat ini transformasi digital bukan lagi pilihan, tapi telah menjadi keharusan, sementara pesantren saat ini masih belum melek dunia digital.
"Dalam halaqah ini, pesantren diharapkan lebih inisiatif dan adaptif terhadap proses transformasi digital. Di sisi lain, para pengasuh pesantren mendorong pemerintah untuk dapat memfasilitasi penguatan infrastruktur dan ekosistem digital di pesantren secara menyeluruh," ujar Kiai Sarmidi.
Kiai Sarmidi menambahkan, yang ketiga, penting dibahas dalam halaqan ini terkait perhelatan pemilu 2024, di mana Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa fasilitas lembaga pendidikan boleh digunakan untuk kampanye, termasuk pesantren dengan izin dari penanggung jawab (pengasuh pesantren).
Kiai Sarmidi menegaskan, dalam halaqah ini, para kiai melihat kampanye politik di pesantren akan berdampak negatif, mengingat kampanye di pesantren selalu untuk mendulang suara, bukan untuk pendidikan politik.
Baca juga Manuver Jokowi Bangun Dinasti Politik
Situasi ini menurut para pengasuh pesantren bisa menimbulkan gejolak dan ketegangan, baik antar pesantren, alumni pesantren maupun masyarakat secara luas.
"Para pengasuh pesantren, karena itu, menolak pelaksanaan kampanye di lingkungan pesantren dengan mempertimbangkan mudaratnya jauh lebih besar daripada kemanfaatannya," ujar Kiai Sarmidi.
Advertisement