Sukses

Pengelola GBK Minta Hotel Sultan Dikosongkan Hari Ini, Manajemen Kaget

Manajemen Hotel Sultan telah melayangkan surat minta perlindungan kepada Menko Polhukam Mahfud Md terkait sengketa lahan dengan pengelola GBK ini.

Liputan6.com, Jakarta - Kuasa hukum PT Indobuildco pengelola Hotel Sultan, Amir Syamsudin mengaku kaget menerima informasi akan didatangi pihak Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) untuk segera mengosongkan Hotel Sultan hari ini, Rabu (4/10/2023).

PPKGBK juga akan memasang spanduk yang menegaskan Blok 15 merupakan barang milik negara.

"Saya kaget dan heran. Kok PPK GBK tidak mengirim pemberitahuan resmi. Saya justru tahu dari informasi media," ujar Amir Syamsudin dalam keterangannya, Rabu (4/10/2023).

Menurut Amir, dia dan manajemen Hotel Sultan kaget dengan sikap PPK GBK karena Senin 2 Oktober 2023, atau satu hari sebelumnya pemilik Indobuildco, Pontjo Sutowo baru bertemu dengan Menko Polhukam Mahfud Md.

Demikian pula dengan kuasa hukum Indobuildco Amir Syamsudin dan Hamdan Zoelva juga baru bertemu dengan kuasa hukum PPK GBK. Meski belum ada kesepakatan, namun pertemuan itu menyiratkan adanya harapan menuju penyelesaian yang baik bagi kedua belah pihak.

Namun hasilnya justru sebaliknya. "Cara seperti itu jelas akan melanggar hak-hak keperdataan klien kami dan merupakan perbuatan yang melanggar hukum," ujar Amir.

Terkait tindakan sepihak itu, tim kuasa hukum PT Indobuildco yang dipimpin Amir Syamsudin dan Hamdan Zoelva lalu menyurati Menko Polhukam Mahfud Md. Dalam surat bernomor 011/TKH-PTI/2023 tertanggal 3 Oktober 2023 itu PT Indobuildco selaku pengelola Hotel Sultan meminta perlindungan hukum kepada Menko Polhukam.

Indobuildco juga berharap Menko Polhukam memerintahkan pihak PPK GBK menunda atau menghentikan langkah-langkah tersebut.

 

2 dari 4 halaman

Klaim Masih Punya Hak Mengelola Kawasan Hotel Sultan

Dalam surat tersebut disampaikan PT Indobuildco masih punya hak mengelola kawasan Hotel Sultan setidaknya hingga 2 tahun ke depan meski masa berlaku HGB sudah habis dan proses permohonan pembaruan masih berlangsung.

Hal Itu, tertuang dalam pasal 41 ayat (2) PP No. 18 tahun 2021 yang berbunyi 'Permohonan pembaruan hak guna bangunan diajukan paling lama 2 tahun setelah berakhirnya jangka waktu hak guna bangunan'.

"Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, maka sekalipun masa perpanjangan HGB No. 26/Gelora dan HGB Np. 27/Gelora berakhir, namun berdasarkan Hukum HGB menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku HGB tersebut masih bisa diperbarui," kata Amir dalam surat yang ditujukan ke Menkopolhukam.

 

3 dari 4 halaman

Tolak Pengosongan Paksa

Tim kuasa hukum Indobuildco juga menolak proses pengosongan secara paksa oleh PPK GBK. Penolakan ini dilakukan dengan dasar bahwa tidak ada putusan pengadilan manapun yang berkaitan dengan sengketa HGB-HPL Hotel Sultan yang memerintahkan untuk dilakukan pengosongan terhadap kawasan tersebut.

"Bahwa berdasarkan putusan Peninjauan Kembali, sama sekali tidak ada perintah pengosongan terhadap kawasan Hotel Sultan, dan putusan tersebut tidak membatalkan HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora, dan bila putusan tersebut (pengosongan) yang mau dijalankan maka wajib adanya perintah dari pengadilan berupa Penetapan Eksekusi dari Pengadilan Negeri," bunyi surat tersebut.

Dalam poin delapan juga disebutkan bahwa PT Indobuildco membuka ruang berdialog mencari solusi terbaik perihal penyelesaian sengketa lahan GBK tempat berdirinya Hotel Sultan.

 

4 dari 4 halaman

Dianggap Langgar HAM

Secara terpisah, kuasa hukum Indobuildco, Hamdan Zoelva menegaskan, meski lahan tempat berdirinya hotel tengah disengketakan, namun bangunan gedung hotel dan kompleks apartemen yang berdiri di atasnya adalah 100% milik PT Indobuildco.

Untuk itu, perlu dilakukan dialog untuk membahas nasib bangunan hotel dan bangunan lain tersebut. "Klien kami membuka ruang untuk negosiasi dan mencari solusi terbaik bagi penyelesaian sengketa," kata Hamdan.

Tindakan pengosongan paksa yang akan dilakukan PPK GBK, menurut Hamdan, melanggar kewenangan pengadilan di dalam tugas judisial dan melanggar hak asasi manusia.

“Tindakan ini akan menjadi preseden buruk bagi Lembaga peradilan dan belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Tentu ini akan merusak reputasi negara hukum Indonesia di mata dunia,” pungkas Hamdan.