Liputan6.com, Jakarta Kasus kekerasan seksual di Tanah Air sudah menjadi isu yang mendesak dan memerlukan tindakan serius. Salah satunya yang terjadi di berbagai perguruan tinggi.
Aksi kekerasan seksual di kampus melibatkan umumnya melibatkan pelaku dari berbagai profesi seperti dosen, tenaga kependidikan, pejabat perguruan tinggi, dosen pembimbing skripsi dan tesis, termasuk mahasiswa sendiri.
Baca Juga
Berdasarkan survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi tahun 2020, tercatat 27 persen dari keluhan kekerasan seksual dilaporkan berasal dari perguruan tinggi.
Advertisement
Upaya untuk mengatasi masalah ini telah ditempuh oleh berbagai pihak, di antaranya dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
UU TPKS ini dinilai bukti kehadiran negara bagi perempuan dan juga anak korban kekerasan seksual. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menggandeng banyak pihak untuk melakukan advokasi, edukasi dan sosialisasi UU TPKS salah satunya melalui kegiatan dialog interaktif.
Sebagai bagian dari Kampanye Terpadu Nasional "Pahami UU TPKS: Panggilan Aksi dan Kolaborasi Menyeluruh untuk Melawan Kekerasan Seksual," Kemen PPPA bersama Radio Republik Indonesia dan komunitas Rahasia Gadis menyelenggarakan Dialog Interaktif "Mewujudkan Ruang Intelektual yang Bebas Kekerasan Seksual", Jumat, 6 Oktober 2023.
Acara dihadiri oleh Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati; Dosen FISIP Universitas Padjadjaran sekaligus Ketua Satgas PPKS Universitas Padjadjaran, Antik Bintari; serta Co-Founder komunitas perempuan terbesar di Indonesia, Rahasia Gadis, Adelle Odelia Tanuri dan Dhika Himawan.
Antik Bintari menjelaskan bahwa tingginya tingkat kekerasan seksual di perguruan tinggi menuntut respons strategis. Penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 yang memerintahkan pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di setiap perguruan tinggi adalah langkah penting.
"Satgas PPKS berperan sebagai garda terdepan dalam mewujudkan kampus bebas kekerasan dan sangat penting dalam penanganan korban, perlindungan, dan pemulihan mereka. Sinergi antara Satgas PPKS dan berbagai pihak terkait adalah kunci untuk mengatasi tantangan dalam menangani kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi," kata Antik.
"Kalau tidak dimulai, tidak akan ada perubahan, sehingga kehadiran Satgas PPKS menjadi jalan untuk mengungkap dan sebisa mungkin harus menyelesaikannya sampai tuntas agar laporan korban tidak sia-sia sekaligus memberi efek jera pada terlapor," kata Antik dilansir Antara, Sabtu, 7 Oktober 2023.
Langkah-langkah progresif dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus semakin kuat dengan implementasi UU TPKS, yang bertujuan memberikan keadilan dan melindungi korban.
Antik mengatakan perlu kewaspadaan dalam menangani laporan dari korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) agar kasus yang dilaporkan tidak menjadi bumerang bagi korban.
Menurut Antik penanganan laporan kasus TPKS, terlebih di lingkungan pendidikan, cenderung tidak mudah dan memerlukan prosedur khusus, termasuk tahapan klarifikasi serta konfirmasi yang berulang kali agar proses hukum yang berjalan tetap proporsional dengan tetap mengedepankan keberpihakan pada korban.
"Berdasarkan pengalaman kami, kalau kami salah langkah yang terlapor jadi bisa menuntut balik pelapor, yakni korban TPKS," kata Antik.
Ia menuturkan, tantangan utama yang kerap kali dirasakan oleh korban ialah perasaan malu dan trauma untuk menceritakan ulang pengalaman yang dianggap aib tersebut kepada pihak lain, apalagi Satgas PPKS yang juga merupakan tenaga pendidik korban.
Antik menambahkan, apabila korban dan pelaku berasal dari sivitas akademika yang sama, bertambah lagi pendekatan khusus mengingat keduanya merupakan bagian dari universitas yang sama sehingga nama baik institusi tetap harus dipertimbangkan.
Peran Semua Pihak untuk Mencegah Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan
Sementara itu, Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kemen PPPA menekankan peran semua pihak dalam memastikan suksesnya sosialisasi dan implementasi UU TPKS serta Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.
"UU TPKS sebagai payung hukum yang komprehensif yang menjadi jawaban dalam memastikan pemenuhan hak korban kekerasan seksual. Tujuan akhir yang ingin kita capai melalui UU TPKS ini adalah memberikan kepentingan terbaik untuk korban," kata Ratna.
Kolaborasi menjadi kunci utama dalam melakukan langkah-langkah preventif terkait kekerasan seksual, khususnya di dunia pendidikan. Ratna menegaskan bahwa hulu hilir dalam upaya pemberantasan atau penurunan tingkat kekerasan seksual perlu dipastikan melalui kerja-kerja kolaboratif, termasuk dalam memberikan pemahaman, edukasi tentang dampak dari TPKS.
Seluruh masyarakat, termasuk komunitas perempuan dan individu, harus aktif dalam memberikan edukasi, membuka pos-pos pengaduan, mempromosikan zero tolerance terhadap kekerasan seksual, dan memberikan dukungan kepada korban untuk pulih dari trauma.
"Korban kekerasan seksual sering kali takut melaporkan atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban. Kami harus mendengarkan dan mendukung mereka tanpa menghakimi. Dengan dukungan, korban dapat pulih dan menyadari kekuatannya," kata Adelle Odelia Tanuri.
Pentingnya sosialisasi edukasi, memberikan pemahaman terkait kekerasan seksual serta membuka ruang-ruang bagi korban untuk melaporkan apa yang telah dialami dengan jaminan keamanan bagi korban. Selain itu, Dhika Himawan juga meminta dukungan bagi korban dan memahami kerentanan yang mereka alami.
Dengan semakin banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, keterlibatan aktif seluruh masyarakat dalam melaporkan kejadian tersebut melalui call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dan WhatsApp 08-111-129-129 sangat diperlukan.
"Dengan kerja kolektif, kita dapat menciptakan ruang intelektual yang bebas dari kekerasan seksual untuk mendukung perempuan dalam pengembangan diri dan kompetensi mereka," kata Dhika Himawan.
Advertisement