Sukses

HEADLINE: MK Kabulkan Syarat Kepala Daerah Belum Berusia 40 Tahun Bisa Maju Pilpres, Muluskan Langkah Gibran?

MK mengabulkan gugatan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden 40 tahun atau pernah jadi kepala daerah.

Liputan6.com, Jakarta - Tok! Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Mahasiswa UNS, Almas Tsaqibbirru, mengenai batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden 40 tahun atau pernah jadi kepala daerah, Senin (16/10/2023). Dia memohon agar aturan batas usia minimal 40 tahun tidak mengikat jika memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan.

Menurut MK, batas usia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Sepanjang tidak dimaknai, "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih, melalui pemilihan umum termasuk pemilihan umum daerah"," kata hakim MK.

MK menyatakan permohonan sebelumnya, seperti Partai Garuda, berbeda dengan permohonan yang diajukan mahasiswa UNS ini. Perbedaannya ada pada norma pasal yang dimohonkan.

"Terhadap petitum permohonan dalam perkara-perkara dimaksud dapat dikatakan mengandung makna yang bersifat 'ambiguitas' dikarenakan sifat jabatan sebagai penyelenggara negara tata cara perolehannya dapat dilakukan dengan cara diangkat/ditunjuk maupun dipilih dalam pemilihan umum. Hal ini berbeda dengan yang secara tegas dimohonkan dalam petitum permohonan a quo di mana pemohon memohon ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 17 Tahun 2017 dimaknai 'Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota'," kata hakim MK.

"Dalam rangka mewujudkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR, anggota DPR, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilu meskipun berusia di bawah 40 tahun," imbuhnya.

Alasan MK Kabulkan Gugatan

Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pada pertimbangan putusan, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah mengatakan, batas usia capres-cawapres tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945 namun dengan melihat praktik di berbagai negara memungkinkan presiden dan wakil presiden atau kepala negara atau pemerintahan dipercayakan kepada sosok atau figur yang berusia di bawah 40 tahun.

"Serta berdasarkan pengalaman pengaturan baik di masa pemerintahan RIS (republik Indonesia serikat) 30 tahun maupun di masa reformasi UU 48 2008 telah pernah mengatur batas usia presiden dan wakil presiden minimal 35 tahun. Sehingga guna memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada generasi muda atau generasi milenial untuk dapat berkiprah dalam kontestasi Pemilu untuk dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden," kata Guntur.

Guntur menjelaskan, menurut batas penalaran yang wajar, batas usia tidak hanya secara tunggal namun seyogyanya mengakomodir syarat lain yang disertakan dengan usia yang dapat menunjukkan kelayakan dan kapasitas seseorang untuk dapat turut serta dalam kontestasi sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Tujuannya, dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi karena membuka peluang putra-putri terbaik bangsa untuk lebih dini berkontestasi dalam pencalonan sebagai presiden dan wakil presiden.

"Terlebih jika syarat presiden dan wakil presiden tidak dilekatkan pada syarat usia, namun dilekatkan pada syarat pengalaman pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui elected official," jelas Guntur.

Saldi Isra: Baru Kali Ini Ada Peristiwa Aneh Luar Biasa

Hakim Konstitusi Saldi Isra (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Hakim Konstitusi Saldi Isra memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion atas putusan tersebut. Dia mengaku tidak habis pikir dengan situasi tersebut.

“Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di Gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” tutur Saldi di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023).

Saldi menguraikan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023, MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.

“Padahal, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” jelas dia.

2 dari 5 halaman

Putusan MK Demi Muluskan Gibran Melaju ke Pilpres?

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, menilai keputusan MK terstruktur, sistematis, dan masif. Keputusan ini juga berasal dari kelompok tertentu yang menggunakan MK untuk melegalkan Gibran Rakabuming Raka (36) bisa maju sebagai cawapres.

"Ini tragedi demokrasi yang tidak bagus, kelihatan memang MK kebobolan. MK tidak bersikap negarawan karena putusan hanya untuk keluarga Jokowi, untuk kepentingan Gibran jadi cawapres," kata Ujang kepada Liputan6.com, Senin (16/10/2023).

Ujang mengatakan, mestinya MK menjadi negarawan, dimana kepentingan untuk negara, bukan untuk Jokowi dan keluarganya. Ia percaya, publik sudah bisa membaca hal ini sejak lama karena bocorannya sudah ada dan memang ujungnya menerima Gibran menjadi cawapres karena ada frase pernah menjabat sebagai kepala daerah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.

"Ini sepertinya permainan politik tingkat tinggi yang sudah kita baca, inilah Indonesia, bahwa memang penegakan hukum, mohon maaf, instrumen hukum bisa dikendalikan oleh kekuasaan," ucapnya.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai MK telah menurunkan kualitas demokrasi dengan putusan ini. Menurut dia, MK harusnya menjadi gatekeeper demokrasi. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.

"Dugaan saya Gibran akan dipecat, dan Gibran akan masuk ke golkar, jadi cawapres Golkar yang akan berpasangan dengan Prabowo," kata Pangi kepada Liputan6.com, Senin (16/10/2023).

Pangi mengatakan, yang bisa menghentikan langkah Gibran saat ini hanya Presiden Jokowi. Namun, ia ragu Jokowi akan melakukan hal tersebut.

"Karena bagi Presiden Jokowi inilah waktu yang tepat, aji mumpung. Ini kesempatan emas MK sudah ngasih karpet merah, Prabowo sudah minta jadi cawapres, ini ibarat tol mulus tidak ada kendala. Nah tinggal yang bisa menghentikan adalah Gibran menolak atau Presiden tidak setuju."

Keputusan di Tangan Gibran

<p>Putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka (Liputan6.com/Fajar Abrori)</p>

Pendiri Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, sekarang Gibran-lah yang harus memutuskan. Sebab semua perangkat yang dibutuhkan untuk maju pilpres telah tersedia.

"Gibranlah yang satu-satunya orang yang bisa mengukur dirinya sendiri. Bukan ukuran konstitusi, UU, atau lainnya, tapi ukuran etik, dan kepantasan. Etika sebagai anak presiden yang masih menjabat, sedang menjadi anggota aktif salah satu partai, dimana partai tersebut telah memberi keistimewaan khusus kepadanya. Mengukur kepantasan dari pengalaman dirinya yang baru menjabat walikota selama 3 tahun. Kepantasan untuk melampaui jenjang karier yang sejatinya bertahap. Walikota ke gubernur, lalu jadi ke level RI 1 atau RI 2. Kepantasan untuk mengukur diri dari puluhan kepala daerah lain yang wilayah, masa bakti, pengalaman dan karirnya jauh lebih lama, tapi karena tidak memiliki darah biru politik, akhirnya terhenti begitu saja. Semua kembali ke Gibran," kata dia.

Ray Rangkuti mengatakan, selain soal etik dan kepantasan, aspek strategisnya juga perlu diperhatikan. Bila Gibran menerima pinangan itu, jelas akan dikeluarkan dari keanggotaan PDIP.

"Mungkin tidak cukup itu, keanggotaan Presiden Jokowi bisa jadi akan dipasifkan. Dan seturut dengan itu, PDIP bisa saja membentuk blok politik baru bersama partai-partai lain yang sudah terlebih dahulu berseberangan politik dengan pak Jokowi. Dan tentu saja, agak riskan bagi pak Jokowi jika tidak didukung oleh mayoritas fraksi di parlemen. Apalagi di tahun-tahun politik seperti saat ini. Saat yang sama, terlihat meningkatnya kritik publik atas situasi langkah-langkah pak Jokowi, akhir-akhir ini. Uniknya, nada kritik itu justru banyak bermunculan dari para pemilih pak Jokowi sendiri. Tentu, pertimbangan situasi politik seperti ini juga tetap perlu diperhatikan oleh Gibran."

Menurut Ray, dengan situasi ini, tidak sulit untuk membayangkan, urusan pilpres, nampaknya, bukan hanya soal dukung-mendukung capres-cawapres, tapi mulai masuk ke pembagian blok politik baru.

"Ini akan lebih hangat, lebih riuh dan jelas akan jauh dari harapan pak Jokowi akan sebuah pemilu, pilpres yang tidak gaduh," pungkasnya.

3 dari 5 halaman

Gerindra Akui Peluang Gibran Sekarang Terbuka untuk Dampingi Prabowo

Ketua Harian DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad tak menampik dikabulkannya gugatan uji materi mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah oleh Mahkamah Konstitusi (MK) membuka peluang bagi Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres).

"Tentunya dengan putusan MK ini tidak hanya membuka peluang bagi Mas Gibran, tetapi bagi kepala daerah yang sedang menjabat ataupun mantan kepala daerah yang dipilih langsung oleh pilkada seperti dengan pilpres itu juga terbuka kesempatannya untuk bisa menjadi presiden dan wakil presiden," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2023) seperti dilansir Antara.

Dia mengatakan bahwa Partai Gerindra menghormati putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 itu.

"Pada prinsipnya kami menghormati keputusan MK yang baru dibacakan yaitu dalam gugatan Nomor 90 yang dikabulkan sebagian bahwa kemudian MK memutuskan walaupun ada batasan usia 40 tahun, tapi kemudian memperbolehkan pejabat ataupun kepala daerah ataupun penyelenggara negara yang dipilih melalui pemilihan langsung, termasuk pilkada, untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden," tuturnya.

Sebab, kata dia, putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). "Terhadap putusan MK ini kami hormati dan tentunya apa yang diputuskan oleh MK ini bersifat final dan mengikat dan tentunya langsung dilaksanakan," ucapnya.

Terkait peluang Gibran Rakabuming untuk diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) pendamping Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dia menyebut bahwa pembahasan soal cawapres masih terus berlangsung.

"Tentunya di Koalisi Indonesia Maju masih dalam tahap tahap pembicaraan sehingga apa yang ditanyakan kami belum bisa sampaikan pada saat ini, dan tentunya pada waktunya nanti kita akan sampaikan tentang siapa yang akan menjadi calon pendamping Pak Prabowo," imbuhnya.

4 dari 5 halaman

Kubu Ganjar Nilai MK Lampaui Kewenangan dengan Tambah Norma Baru

Tim Pemenangan Nasional Ganjar Presiden 2024 memandang Mahkamah Konstitusi telah melampaui kewenangan dengan menambah norma baru pada syarat calon presiden dan calon wakil presiden. Mahkamah Konstitusi menambahkan frasa syarat calon presiden dan calon wakil presiden berusia minimal 40 tahun atau pernah atau sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu atau pilkada.

Kubu Ganjar menilai, Mahkamah Konstitusi seharusnya hanya memberi putusan apakah undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak

"Dengan itu, ketika MK mengambil materi muatan baru yang tidak tercantum dalam materi pokok UU yang diuji yaitu ketentuan baru pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah maka MK melampaui kewenangannya sebagai institusi negara," ujar Jubir TPN Ganjar Presiden 2024 Chico Hakim di Rumah Cemara, Jakarta, Senin (16/10).

Putusan Mahkamah Konstitusi itu meski hasilnya final dan mengikat, tidak memiliki fungsi legislasi. Maka apa yang diputuskan MK tidak otomatis menjadi hukum. Seharusnya UU Pemilu itu direvisi lebih dulu

"Jadi MK ada institusi yang tidak memiliki fungsi legislasi maka apa yang diputuskan tidak otomatis menjadi hukum," kata Chico.

"DPR maupun pemerintah bersama harus merevisi UU pemilu sesuai putusan MK," sambungnya.

Bersamaan dengan itu, KPU sebagai penyelenggara tidak bisa melakukan perubahan PKPU terkait syarat calon presiden dan calon wakil presiden.

Dengan begitu, putusan Mahkamah Konstitusi itu akan menyulitkan secara teknis. Karena pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden akan dibuka dalam waktu tiga hari mendatang.

"Dan tentu saja tahapan ini sudah berjalan, pemilu. Waktu yang tersisa tinggal 3 hari ya untuk pendaftaran capres. Nah tentu saja ini sesuatu yang membuat teknis pelaksanaan semakin sulit," jelas Jubir TPN Ganjar Presiden Tama S Langkun.

"Meskipun ketika MK putuskan untuk menjadi sebuah ketentuan, itu harus dijalani. Namun secara teknis ini pun juga akan menimbulkan kendala," sambungnya.

5 dari 5 halaman

Respons Jokowi

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menanggapi soal putra sulungnya sekaligus Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang berpeluang maju sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres).

Hal tersebut usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) 40 tahun atau pernah jadi kepala daerah.

Jokowi menekankan soal capres-cawapres ditentukan oleh partai politik dan koalisi. Dia menegaskan, tak ikut campur dalam penentuan capres-cawapres di Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024.

"Pasangan capres dan cawapres itu ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Jadi, silahkan tanyakan saja kepada partai politik," ujar Jokowi melalui YouTube Sekretariat Presiden, Senin (16/10/2023).

"Itu wilayah parpol dan saya tegaskan bahwa saya tidak mencampuri urusan penentuan capres atau cawapres," sambungnya.

Dia pun enggan memberikan pendapatnya soal putusan MK. Jokowi meminta agar hal tersebut ditanyakan kepada MK dan pakar hukum.

"Ya mengenai putusan MK silahkan ditanyakan ke Mahkamah Konstitusi jangan saya yang berkomentar, silahkan juga pakar hukum yang menilainya," kata Jokowi.

Dia tak mau dianggap mencampuri kewenangan MK selaku lembaga yudikatif.

"Saya tidak ingin memberikan pendapat atas keputusan MK nanti bisa disalah mengerti seolah-olah saya mencampuri kewenangan yudikatif," tegas Jokowi.