Liputan6.com, Jakarta - Beberapa waktu belakangan ini sejumlah mal atau pusat perbelanjaan di Jakarta jadi sorotan karena sepi pengunjung. Bahkan, ada pula yang dimanfaatkan untuk kegiatannya lainnya. Seperti video yang memperlihatkan suasana di Mal WTC Mangga Dua, di Jakarta Utara.Â
Mal yang sepi tersebut kini jadi arena bermain badminton yang viral di media sosial Twitter. Dalam video tersebut juga terlihat banyak sekali toko yang tutup rapat.Â
Liputan6.com juga mencoba mendatangi sejumlah mal yang dikabarkan sepi. Salah satunya yakni Plaza Semanggi, Jakarta Selatan. Saat memasuki mal memang hanya beberapa toko saja yang tampak beroperasi. Pengunjung juga bisa dihitung jari.
Advertisement
Liputan6.com mencoba menyusuri beberapa lokasi. Tampak beberapa toko tutup dan ada juga yang sedang direnovasi. Bahkan, beberapa sudut tampak gelap karena hanya satu atau dua toko saja yang buka. Tulisan penyewaan toko juga tertempel di sejumlah kaca toko.
Namun, suasana berbeda terjadi di lantai bawah atau bagian restoran. Meskipun hanya beberapa retail yang buka tapi belasan orang tampak makan di tempat. Salah satu pedagang, Aldi menyebut para penjual makanan dan minuman yang menggunakan booth memilih berjualan di pinggir jalan sejak pandemi Covid-19.Â
"Meskipun banyak tenant yang tutup, tapi masih ada yang datang dan beli meskipun enggak kayak sebelum pandemi. Dulu, nyari duit Rp 500 ribu sehari gampang, sekarang Rp 150 ribu aja cuma hari-hari tertentu," kata dia kepada Liputan6.com.
Hal yang sama juga terjadi di pusat perbelanjaan yang berlokasi di Pekayon Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat. Berdasarkan pantauan Liputan6.com, jika dibandingkan dengan mal yang ada di sekitarnya memang tampak sepi meskipun beberapa pengunjung yang datang. Beberapa toko juga tampak tutup.
Area yang masih ramai didatangi pengunjung kawasan makanan, minuman, hingga sejumlah restoran. Masyarakat yang datang ke mal dan pusat perbelanjaan memang memiliki tujuan berbeda. Pricilla Brenda mengaku sering ke mal atau pusat perbelanjaan ketika jenuh dengan rutinitasnya.Â
Biasanya dia memilih untuk makan atau sebatas nongkrong di kafe bersama beberapa temennya. "Biasa ke mal itu karena gabut enggak ada tempat tujuan buat spend waktu. Kadang buat muter-muter liat barang baru, store, makanan baru. Nongkrong juga (kadang) main wahana yang ada," kata dia kepada Liputan6.com.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Tias. Biasanya dia ke mal hanya beberapa bulan sekali untuk makan bersama keluarga atau berkumpul dengan teman-teman. Dia mengaku jarang belanja di mal dan lebih memilih membeli online. Mulai dari baju, sepatu, hingga keperluan anaknya.
"Biasanya kalau ketemu temen ya milih ke mal. Karena lokasi yang gampang dijangkau dan banyak pilihan makanannya. Jadi enak buat nongkrong juga," kata Tias kepada Liputan6.com.
Tantangan untuk Pengusaha
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyebut fenomena mal sepi pengunjung merupakan salah satu tantangan untuk para pengusaha mal. Transformasi mal saat ini sangat diperlukan. Sebab para generasi Z yang lahir pada tahun 1997 sampai 2012 yang memilih ke mal untuk bersosial media hingga bersilaturahmi daripada berbelanja.
"Semua pengusaha mal mendaur ulang bisnis modalnya, dari yang shopping mall menjadi experience mall. Kita ketahui sekarang dengan percepatan teknologi, percepatan digitalisasi pada generasi Z," kata Roy kepada Liputan6.com.
Dia menilai mal dapat menghadirkan suasana silaturahmi pengunjungnya dengan berbagai banyak pilihan makanan hingga minuman. Sebab gaya hidup generasi saat ini sudah mulai berubah.
"Customer behavior, perilaku konsumen sudah berubah generasi sekarang sudah berubah. Sudah masuk di generasi Z di mana kita ketahui perubahan-perubahan itulah yang membuat perbedaan dari keramaian mal pada saat lalu dengan hal-hal yang harus dilakukan agar mal tetap dikunjungi," papar dia.
Sebenarnya, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan beberapa mal tampak sepi dari pengunjung ataupun penyewa. Pertama yaitu disebabkan karena tidak adanya perubahan dari mal tersebut. Misalnya masih mengutamakan menjual produk saja tanpa memberikan pengalaman atau experience kepada pengunjung.
Ikuti artikel Journal sebelumnya terkait fenomena mal yang belakangan sepi di sini dan di sini
Mal Seperti Apa yang Jadi Pilihan Masyarakat?
Biasanya mal yang masih ramai pengunjung disebabkan banyaknya pilihan brand makanan dan minuman. Saat ini banyak mal yang menyediakan tempat makanan dan minuman di bagian depan. Sedangkan sebelumnya banyak mal yang menyediakan di lantai dasar atau di bagian atas.
"Karena memang secara global dunia juga berubah. Ekspektasi konsumen sekarang tidak hanya tok untuk berbelanja, tapi lebih dari itu. Mereka mau leisure, mereka mau experience, mereka mau berkomunitas, ketimbang datang hanya untuk berbelanja," ucapnya.
Roy Mandey menyebut transformasi sepinya mal sebenarnya sudah terlihat sejak 5-10 tahun terakhir bersamaan dengan percepatan digitalisasi yang luar biasa. Percepatan digitalisasi tidak hanya soal e-commerce, namun juga mengenai layanan, efisiensi waktu, hingga bagaimana masyarakat dapat barang atau produk dengan memperbandingkan satu dengan yang lainnya lebih cepat.Â
Hal tersebut berdampak pada tatanan cara perilaku konsumen atau cara perilaku dari masyarakat untuk berbelanja. Sehingga kata Roy pergeseran atau anomali dari pola belanja masyarakat tersebut berdampak pula pada fenomena yang terjadi saat ini. Yakni terjadinya pengurangan kunjungan.
Jika tidak diantisipasi para pelaku usaha mal atau retail nantinya juga akan mengurangi potensi produktivitas. Karena itu Roy mendorong agar adaya perubahan cara berjualan. Contohnya yaitu cara penyajian untuk zonasi di dalam mal yang harus berubah total.
"Tidak bisa lagi dengan cara-cara konvensional, cara-cara yang sifatnya hanya menunggu kemudian tidak ada perubahan experience atau leisure di dalamnya, sehingga masyarakat boring atau bosan mendatangi mal-mal atau pusat belanja yang tidak berubah sama sekali," ujar Roy.
Dia juga menegaskan jika saat ini sudah memasuki zaman percepatan dan kecepatan. Sehingga para pelaku usaha harus mengikuti perubahan tersebut.
"Tren konsumen, perilaku konsumen, itu jauh lebih penting daripada hanya menjual produk. Kita tidak bisa menjual produk lagi sekadar menjual produk tapi bagaimana kita memberikan experience kepada pelanggan," katanya.
Untuk menciptakan suasana yang dapat memberikan berbagai macam pengalaman, Roy mengharapkan adanya sinergitas antara pengusaha mal, retail, dan UMKM yang ada di area mal atau pusat perbelanjaan tersebut. Saat ini kata dia, masyarakat tak banyak yang memilih belanja di mal. Mereka memilih untuk membeli kebutuhannya secara online di e-commerce yang ada.
Dorong Pemerintah Tegas akan Produk Import IlegalÂ
Sebenarnya berbagai retail di mal juga memiliki toko online di berbagai e-commerce. Namun Roy menilai langkah tersebut juga belum sepenuhnya membantu masyarakat untuk berbelanja.
"Yang terjadi sekarang terjadinya di situ predatory price, terjadi di situ yang namanya harga dijual di luar nalar karena algoritmanya sudah diambil dari para pembelanja di komunitas tersebut, kemudian diproduksi dengan harga yang jauh lebih murah, dan itulah yang ditawarkan kembali," sambung dia.
Fenomena itu lanjut Roy sangat memukul para pelaku usaha offline maupun juga kunjungan ke mal. Dia berharap agar pemerintah segera melakukan tindakan yang tegas dengan regulasi yang ada. Yakni untuk membendung barang-barang import yang ilegal.Â
"Baju bekas misalnya, yang branded, yang dimasukkan dari pelabuhan-pelabuhan tikus kemudian dijual di masyarakat baik secara offline maupun online. Ini harus diberantas, harus dicari siapa sumbernya, dan sumbernya ini harus betul-betul ditindak dan dipertontonkan kepada masyarakat bahwa inilah orang-orang yang memang ingin mengacaukan, menggerus perdagangan di Indonesia," jelas Roy.
Advertisement
Sepinya Pengunjung Mal Sudah Diprediksi
Beberapa mal atau pusat perbelanjaan di Jakarta tampak sepi pasca pandemi Covid-19. Biasanya mal seringkali menjadi salah satu pilihan lokasi masyarakat perkotaan untuk mencari hiburan ataupun berbelanja keperluan sehari-hari.Â
Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menyebut fenomena mulai sepinya mal atau pusat perbelanjaan telah diprediksi sebelumnya. Dia meminta para pengusaha mal dapat belajar dari fenomena serupa pada transportasi antara taksi ataupun ojek online dan konvensional.Â
Sebab saat ini masyarakat sudah mulai menerima kehadiran transportasi online tersebut. Bahkan kata Ronny, jumlah transportasi online lebih banyak ketimbang yang konvensional.
"Sebenarnya yang enggak terima kan orang mal doang konsumen terima. Tanya aja ke orang itu enakan ke mal atau enakan belanja di rumah pakai HP. Jadi kita udah nerima, tapi regulasinya cuma kan belum ada," kata Ronny kepada Liputan6.com.
Menurut dia, mal atau pusat perbelanjaan dianggap mahal karena harga sewa tempat, meskipun barang yang dijual dapat harga murah dari distributornya. Ronny memprediksi nantinya mal yang bertahan yaitu yang menjual barang yang tidak ada di e-commerce.Â
Misalnya barang dengan brand global. Kemudian, mal yang mau merubah dirinya atau yang menjadi tempat singgah anak-anak muda.Â
"Tapi kalau mal-mal yang menjual barang yang barangnya ternyata bisa didapat dengan lebih murah dan lebih efisien via platform e-commerce itu akan selesai itu aja," ucapnya.
Karena itu mal atau pusat perbelanjaan harus segera melakukan penyesuaian. Berdasarkan riset anak generasi Z dapat menghabiskan hampir 4 sampai 6 jam sehari untuk membuka gawai miliknya. Yakni hanya untuk membuka e-commerce dan melihat-lihat barang yang ada meskipun tak langsung melakukan transaksi pembayaran.Â
Hal tersebut memang menunjukkan adanya perubahan perilaku konsumen jika dibandingkan dengan era anak muda tahun 1970-an hingga 1990-an. Dia menyebut anak generasi milenial sama generasi Z memandang ke mal bukanlah trend dan bukan gaya hidup yang perlu dibanggakan lagi.
Meraka lanjut Ronny lebih membutuhkan pergi staycation atau liburan menginap di dalam ataupun luar kota. Ataupun mencari tempat yang menarik atau instagramable dan dengan harga tiket yang murah daripada ke mal.
"Jadi penyebab pertamanya pergeseran komposisi demografi, di Indonesia hampir 60 persen generasi muda generasi milenial generasi Z yang perilaku belanjanya sudah berbeda dengan generasi yang lama .Mereka tidak ke mal belanjanya tapi tiap bulan punya barang baru, dia selalu belanja baju baru pakaian baru setiap gajian, tapi dia tidak kelihatan di mall belanjanya.
Jadi pergeseran komposisi penduduk ini menghasilkan perilaku perubahan konsumen tadi," papar Ronny.
Pusat Perbelanjaan Diminta Untuk Mencari Konsep Baru
Ronny menilai nantinya hanya mal yang dapat menemukan konsep baru yang akan bertahan. Pengusaha mal harus menyadari jika konsumennya merupakan para anak muda zaman sekarang dengan berbagai perubahan pasar. Lalu untuk para penyewa atau retail juga akan berpikir ulang untuk sewa tempat.
Kata dia, teknologi digitalisasi menyebabkan adanya perubahan tatanan ekonomi secara keseluruhan. Namun lebih efisien untuk para konsumen.Dengan adanya e-commerce sangat mempermudah konsumen tanpa harus datang ke mal, transaksi pembayaran yang mudah, dan barang akan datang sampai di rumah.
E-commerce, kata Ronny masih memenangkan persaingan penjualan untuk konsumen dibandingkan dengan live Tiktok Shop. Alasannya yakni para pengguna dapat menggunakan sistem pembayaran ditunda atau paylater.Â
Berdasarkan data BPS, konsumsi rumah tangga pada pertumbuhan ekonomi periode April 2023 hingga Juni 2023 mencapai 53,31 persen. Sifat konsumtif masyarakat Indonesia seringkali dimanfaatkan oleh produk luar yang masuk dengan persaingan harga tidak sehat.
"Kalau bahasa Pak Menteri predatory pricing. Predatory pricing ini sifatnya udah antar negara. Jadi kalau di Cina bisa menjual barang dengan harga yang sangat murah di sini, karena ada faktor kebijakan dalam negeri Cina yang seperti itu mensubsidi barangnya agar barangnya agar tetap ekspor," kata Ronny.
Sedangkan barang-barang import harga murah tersebut dijual melalui berbagai e-commerce atau tidak masuk mal. Barang-barang yang masuk pusat perbelanjaan kelas menengah yaitu produk dalam negeri atau UMKM.
"Jadi harus akui kita salah saing sehingga menutup Tiktok shop tidak menyelesaikan masalah. Masalahnya di situ bahwa pergeseran perilaku konsumen ini membuat pola berbelanja masyarakat Indonesia berubah," dia menandaskan.
Tingkat Kunjungan Mal Sudah Lebih 100 persen?
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menilai saat ini secara rata-rata nasional kondisi pusat perbelanjaan Indonesia sudah membaik bahkan jauh lebih baik dari sebelum pandemi Covid-19. Ada beberapa faktor untuk mengukur keramaian pusat perbelanjaan.
Pertama yaitu tingkat kunjungan. Alphon mengkalim rata-rata tingkat kunjungan saat ini secara nasional sudah lebih dari 100 persen dibandingkan dengan sebelum pandemi. Pada tahun 2020 rata-rata tingkat kunjungan rata-rata nasional itu hanya 50 persen karena Covid-19.
Kemudian pada tahun 2021 mengalami peningkatan rata-rata nasional sekitar 60 persen. Tahun 2022 meningkat menjadi 90 persen. Sedangkan pada 2023 sudah lebih dari 100 persen.
"Indikator kedua adalah durasi kunjungan atau dueling timenya . Tingkat kunjungan sekarang sudah dua jam lebih bahkan hampir sudah tiga jam. Pada saat pandemi itu durasi kunjungan ke pusat pembelanja kurang dari 1 jam," kata Alphon kepada Liputan6.com.
Faktor selanjutnya yaitu okupansi yang sudah mencapai lebih dari 80 persen. Dia mencontohkan, jika tingkat kunjungan mal di Jakarta sudah sangat tinggi. Misalnya saat hari libur ataupun akhir pekan. Kendati begitu Alphon mengakui terdapat sejumlah mal dengan tingkat kunjungannya belum membaik bahkan cenderung memburuk.
Penyebab memburuknya pun bervariasi dan ada pula yang sudah terjadi sebelum Covid-19. Namun dia membantah jika hal tersebut disimpulkan jika secara keseluruhan industri pusat perbelanjaan di Indonesia sedang sedang bermasalah. Saat Covid-19 banyak masyarakat yang merindukan saling berinteraksi sosial.
Salah satu lokasi yang dicari masyarakat untuk berinteraksi yakni pusat perbelanjaan. Artinya pusat perbelanjaan yang dipilih pun yang dapat menyediakan lokasi interaksi atau berkomunitas masyarakat.
"Artinya kalau pusat perbelanjaan tidak bisa menyediakan, tidak memiliki fasilitas untuk masyarakat untuk customernya untuk pelanggannya berinteraksi sosial dengan sesama yang secara langsung yang bukan di dunia maya, enggak akan dipilih, pelanggan customernya pasti akan memilih pusat-pusat perbelanjaan yang memiliki fasilitas-fasilitas tadi," papar dia.
Â
Tahun 2024 Pusat Perbelanjaan Diprediksi Kembali NormalÂ
Lanjut Alphon, sebelum pandemi Covid-19 pusat perbelanjaan identik dengan gaya hidup atau lifestyle. Sedangkan saat ini gaya hidup dunia sudah mengalami banyak perubahan. Karena itu pusat perbelanjaan sudah tidak bisa lagi hanya sekedar sebagai tempat belanja.
Kalau hanya sekedar tempat belanja, dia menilai mal akan bersaing secara langsung dengan online. Alphon menyebut pusat perbelanjaan harus bisa memberikan fungsi lebih dari sekedar tempat belanja.Â
"Apa itu? Experience journey, customer experience, customer journey yang tidak bisa dibelikan oleh online, itu yang dicari oleh masyarakat, customer experience customer journey tidak bisa didapat dari dua hal pertama adalah konsep gedung. Kedua bisa didapat dari tenant, campuran, bauran penyewa semakin lengkap , semakin bervariasi semakin memberikan experience, semakin memberikan journey," ujar Alphon.
Lanjut dia, setiap pusat perbelanjaan memiliki permasalahan yang tak sama. Sehingga tidak bisa digeneralisir sebagai masalah semua mal di Indonesia.Â
"Jadi sekarang ini tahun ini itu masyarakat atau pusat perbelanjaan masih harus berbagi pariwisata. Tapi saya kira kami asosiasi-asosiasi pengelola pusat belanja Indonesia memperkirakan, memprediksi tahun depan ini sudah akan kembali normal," jelas dia.
Advertisement