Sukses

Cerita Prabowo Tolak 'Kontrak Gila' Pengadaan Senjata di Kemenhan Senilai Rp51 Triliun

Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengungkapkan, terdapat kasus korupsi di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) di masa awal Prabowo Subianto menjabat.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengungkapkan, terdapat kasus korupsi di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) di masa awal Prabowo Subianto menjabat.

Kala itu, cerita Hashim, Prabowo harus menandatangani kontrak senilai Rp51 triliun. Angka tersebut ternyata sudah dinaikkan dari nilai yang sebenarnya.

"Waktu Pak Prabowo diangkat sebagai Menteri Pertahanan, bulan-bulan pertama, di atas meja dia ada kontrak yang harus dia tandatangani senilai Rp51 triliun. Ini korupsi mark up-nya gila," ujar Hashim saat memberikan sambutan di depan anggota Relawan Jokowi (REJO) Prabowo Gibran Milenialz di Jakarta Pusat pada Rabu (15/11).

Hashim berujar, kontrak tersebut terkait dengan pembelian senjata. Untuk harga satu senjata, seharusnya dibanderol 800 dolar, tetapi ditulis 10.800 dolar.

"Mark upnya 1.250 persen. Bisa dihitung, harga asli 800 dollar, yang datang ke meja menteri pertahanan, 10.800 dollar, mark up-nya saya hitung," ujar Hashim.

2 dari 3 halaman

Batalkan Kontrak

Mendengar hal itu, Prabowo mengaku kaget. Ia pun langsung membatalkan seluruh kontrak yang sedang berjalan.

"Waktu saya lapor ke kakak saya, dia tidak mau percaya karena dia sudah bicara bocoran-bocoran berapa tahun. Dia dikritik sebagai Prabocor," ucap Hashim.

"Dia tidak ada waktu untuk tender ulang. Apa yang terjadi? Dia batalkan semua kontrak. Dia batalkan kontrak-kontral senilai Rp51 triliun daripada dia merestui korupsi karena dia sudah tahu ini korupsi," sambungnya.

3 dari 3 halaman

Puji Pilihan Prabowo

Lebih lanjut, Hashim pun memuji pilihan yang diambil Prabowo. Pasalnya, bisa saja Prabowo mengambil untung sedikit karena tidak akan ketahuan.

"Kalau Prabowo jahat, dia minta saja satu persen dari rekanan. Enggak usah gila-gila lah, enggak usah 50 persen, 100 persen, lima persen saja. Saya kira BPK atau KPK tidak akan lihat itu. Betul tidak?" imbuhnya.

Sumber: Lydia Fransisca/Merdeka.com