Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali akan membacakan putusan terkait perkara batas usia capres-cawapres pada Rabu, (29/11/2023).
Perkara ini diajukan oleh Brahma Aryana yang diwakili kuasa hukumnya Viktor Santoso Tandiasa dan Harseto Setyadi Rajah.
Baca Juga
Putusan perkara nomor 141/PUU-XXI/2023 di Gedung MKRI 1 Lantai 2, Jakarta, pada pukul 11.00 WIB.
Advertisement
"Acara: Pengucapan Putusan," dikutip dari laman resmi MK, Rabu (29/11/2023).
Dalam perkara ini, Brahma mengusulkan pasal Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang syarat usia capres-cawapres yang telah ditambahkan ketentuannya lewat Putusan MK Nomor 90/PU U-XX 11/2023 diubah.
Petitum itu terkait batas usia capres-cawapres bisa di bawah 40 tahun asalkan pernah menjabat sebagai kepala daerah di tingkat provinsi, yakni gubernur atau wakil gubernur.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Almas.
MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun, kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin 16 Oktober 2023.
MK menyatakan, bila permohonan sebelumnya seperti Partai Garuda berbeda dengan permohonan yang diajukan mahasiswa UNS ini. Perbedaannya ada pada norma pasal yang dimohonkan.
"Terhadap petitum permohonan dalam perkara-perkara dimaksud dapat dikatakan mengandung makna yang bersifat 'ambiguitas' dikarenakan sifat jabatan sebagai penyelenggara negara tata cara perolehannya dapat dilakukan dengan cara diangkat/ditunjuk maupun dipilih dalam pemilihan umum. Hal ini berbeda dengan yang secara tegas dimohonkan dalam petitum permohonan a quo di mana pemohon memohon ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 17 Tahun 2017 dimaknai 'Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota'," kata hakim MK.
Hakim MK menyatakan, dalam rangka mewujudkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR, anggota DPR, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilu meskipun berusia di bawah 40 tahun.
Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres Dinilai Inkonstitusional
Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) STAI Syekh H Abdul Halim Hasan Al-Ishlahiyah Binjai menilai kebijakan soal batasan usia capres-cawapres yang diputuskan Mahkamah Konstitusi sudah mencederai demokrasi jelang Pemilu 2024.
Produk dianggap cacat hukum itu disinyalir menjadi awal indikasi dinasti politik keluarga Jokowi. Sebab, Anwar Usman yang meloloskan putusan merupakan adik ipar dari Jokowi.
Putusan ini pula yang kemudian menjadi gerbang peluang bagi Gibran Rakabuming Raka dapat maju menjadi cawapres meski masih berusia di bawah 40 tahun.
"Kami Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) STAI Syekh H Abdul Halim Hasan Al Ishlahiyah Binjai menolak serta mengutuk keras keputusan Mahkamah Konstitusi yaitu Nomor: 90/PUU-XXI/2023 yang diambil oleh MK yang dipimpin oleh Anwar Usman yang bersifat inkonstitusional," ujar Presiden Mahasiswa Dema Al-Ishlahiyah Kota Binjai, Jalaluddin Al Mahalli Hamzah, dalam keterangannya.
Dia menjelaskan, pihaknya sebelumnya telah melakukan penolakan dalam bentuk seruan aksi turun ke jalan pada beberapa waktu lalu.
Namun, karena aksi tersebut tak didengar, DEMA STAI Binjai kemudian sepakat mengambil langkah untuk mendukung perkara yang diajukan oleh Mahasiswa Fakultas Hukum UNUSIA bernama Brahma Aryana untuk mencabut putusan yang tertuang pada Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batasan usia capres dan cawapres.
"Kami lihat itu sebagai awal dari politik dinasti, dan kami meminta instansi dan seluruh elemen pemerintah untuk pro terhadap kepentingan rakyat Indonesia dan bertindak netral terhadap kepentingan yang menguntungkan pemerintah yang kami nilai telah mengangkangi tuntutan reformasi pada tahun 1998," ungkap Jalaluddin.
Advertisement
Kecewa dengan Putusan MKMK
Selain itu, DEMA STAI Binjai mengaku sangat kecewa dengan putusan MKMK yang hanya mencopot Anwar Usman sebagai Ketua MK. Mereka mendesak agar Anwar Usman dicopot juga dari hakim MK.
Pihaknya pun berkomitmen akan terus mengajak seluruh elemen BEM yang ada di Indonesia untuk terus konsen menolak putusan MK.
"Menolak segala bentuk tindakan baik secara politik maupun hukum yang dapat melegitimasi dan berpihak pada terbentuknya dinasti politik di Indonesia," pungkasnya.