Sukses

Gula Lokal di Lampung Masih Langka

Kelangkaan gula lokal juga terjadi di tingkat agen dan distributor. Gula impor dari India justru membanjiri pasaran, meski kurang laku karena rasanya yang kurang manis.

Liputan6.com, Bandar Lampung: Gula putih lokal masih menjadi komoditi langka di sejumlah pasar tradisional Provinsi Lampung. Sebaliknya, gula impor dari India masih membanjiri pasaran, meski kurang laku karena masyarakat menilai rasanya kurang manis. Kelangkaan ini cukup ironis. Sebab, saat ini tengah musim panen tebu sekaligus diikuti dengan aktivitas giling enam pabrik gula besar di wilayah Lampung. Keenam pabrik gula tersebut di antaranya Sweet Indo Lampung, Gunung Madu Plantation, PT Perkebunan Negara VII Bunga Mayang, Gula Putih Mataram. Keenam pabrik ini memasok 60 persen kebutuhan gula nasional. Demikian hasil pemantauan SCTV dari Bandar Lampung, baru-baru ini.

Kesulitan memperoleh gula pasir lokal telah dirasakan warga dalam tiga bulan terakhir hingga memasuki musim giling tahun ini. Sebelum menghilang dari pasaran, harga gula pasir lokal mencapai Rp 5.500 hingga Rp 6.000 per kilogram [baca: Di Lampung, Gula Pasir Sekilo Rp 6.000]. Para pedagang di beberapa pasar, seperti Pasar Kangkung dan Pasar Tugu membenarkan kosongnya persediaan gula lokal, termasuk di tingkat agen dan distributor. Mereka menyatakan, pasar kini dibanjiri gula impor dari India yang dapat dibeli seharga Rp 4.500 hingga Rp 4.700 per kg.

Di Semarang, Jawa Tengah, harga gula malah melorot turun. Ini terjadi lantaran gula impor membanjir dan gencarnya pemerintah menggelar operasi pasar. Kini, harga gula berkisar Rp 4.400 hingga Rp 4.500 per kg. Padahal, sebelumnya bisa mencapai Rp 5.000-Rp 5.400 per kg. Gula impor yang diedarkan di pasaran tidak hanya berasal dari importir berizin resmi, tapi gula yang ditujukan untuk wilayah Riau, juga dibongkar di Semarang [baca: Gula Impor Dibongkar di Pelabuhan Tanjung Perak]. Depot Logistik Jateng mengakui, kondisi saat ini sangat dilematis. Harga gula yang terus turun akan disambut gembira masyarakat. Sebaliknya, petani tebu yang akan memasuki musim giling justru akan merugi.(DEN/Tim Liputan 6 SCTV)
    Video Terkini