Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil yang beranggotakan Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Sawit Watch, WALHI, Yayasan Madani Berkelanjutan, dan Indonesia for Global Justice (IGJ), mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menangani kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah atau CPO. Diketahui, Kejagung menerapkan terobosan dalam menyusun dakwaan hingga penuntutan.
"Salah satu bentuk terobosan dalam dakwaan jaksa adalah penerapan unsur kerugian perekonomian negara yang jauh lebih luas dibanding kerugian keuangan negara," tutur Koalisi Masyarakat Sipil dari Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra kepada wartawan, Kamis (21/12/2023).
Baca Juga
Kejagung sendiri sempat menetapkan lima tersangka dalam kasus tersebut, yakni mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana; Penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan Tim Asistensi Menko Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley MA; dan General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang.
Advertisement
Sementara tiga perusahaan juga ditetapkan sebagai tersangka korporasi yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim mas Group. Langkah itu dilakukan sebagai tindak lanjut atas putusan pengadilan terhadap terpidana Indrasari dan kawan-kawan, yang dijatuhi pidana 8 tahun penjara dan membayar denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Syahrul menyampaikan, pihaknya memberikan beberapa rekomendasi dan saran kepada Kejagung dalam mengusut korupsi mafia minyak goreng yang melibatkan korporasi. Pertama, memberlakukan Pasal 20 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena mengadopsi teori pertanggungjawaban pidana korporasi vicarious liability.
Kedua, mengembangkan kasus tersebut menjadi korupsi kebijakan, mengingat Peraturan Menteri Perdagangan tentang Domestic Market Obligation (Permendag DMO) berubah dalam hitungan hari. Kemudian, menggali lebih jauh tentang motif pemerintah mengubah kebijakan itu sehingga membuka ruang bagi korporasi untuk bermanuver dalam persetujuan ekspor.
Kerugian Negara
Dia turut mengingatkan, bahwa kasus mafia minyak goreng tidak terlepas dari kelangkaan komoditi akibat pelaku usaha hanya mengutamakan profit lebih besar melalui ekspor. Imbasnya, negara mengalami kerugian keuangan hingga Rp6,47 triliun dan kerugian perekonomian, yang berdasarkan penghitungan ahli menembus Rp10,09 triliun.
"Karena saat ini Kejaksaan Agung menindak korporasi secara terpisah, jaksa penuntut umum harus memastikan pertanggungjawaban korporasi menyasar grup. Dalam konteks ini, melihat relasi perusahaan yang terlibat korupsi ekspor CPO dengan grup perusahaan sebagai single economic entity," Syahrul menandaskan.
Â
Â
Advertisement