Sukses

Soal Rasio Utang 38%, Ini Kata Pakar Ekonomi

Jika dibandingkan dengan negara G20, Indonesia berada di urutan ketiga terendah setelah Rusia (21,2%) dan Arab Saudi (24,1%).

Liputan6.com, Jakarta Rasio utang luar negeri Indonesia, menurut Ekonom Universitas Brawijaya Malang, Hendi Subandi, masih tergolong aman. Hendi memasukkan kategori utang Indonesia sebagai utang produktif, karena digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang memberikan dampak positif jangka panjang. 

"Walaupun Indonesia berutang, negara lain juga melakukannya. Tapi selama peningkatan utang dilakukan untuk pembangunan bangsa khususnya infrastruktur, ini akan menambah aset pemerintah. Kalau aset pemerintah lebih besar dari utangnya, ini akan baik-baik saja," kata Hendi.

Utang pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga November 2023 tercatat menembus Rp8.041 triliun. Angka tersebut naik Rp487 triliun dibandingkan November 2022. Dengan jumlah tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) per 30 November 2023 adalah 38,11% atau naik dari bulan sebelumnya pada level 37,95%.

Melihat rasio utang Indonesia tersebut, lanjut Hendi, sejumlah negara di Asia Tenggara justru memiliki rasio yang lebih besar, misalnya Singapura yang mencapai 167% atau Malaysia dengan 66,9%. Sementara jika dibandingkan dengan negara G20, Indonesia berada di urutan ketiga terendah setelah Rusia (21,2%) dan Arab Saudi (24,1%).

Meski tren rasio utang naik, namun yang harus diperhatikan lebih detail adalah untuk apa utang tersebut dipakai. Ketika mayoritas dipakai untuk infrastruktur, perlindungan sosial, dan sektor lain yang bermanfaat pada masyarakat maka bisa berdampak positif pada indeks pembangunan manusia (IPM).

"Jadi wajar ketika sebuah negara berutang karena kebutuhan domestik ini perlu ditopang dengan itu (utang). Walaupun tetap harus dijaga secara prudent," kata Hendi.

Menurutnya, kenaikan utang Indonesia tidak terlepas dari pandemi Covid-19 yang terjadi selama tiga tahun dari 2020. Agar utang tidak semakin membengkak, Hendi mengusulkan pemerintah menyiapkan instrumen sebagai bantalan dengan berbagai skenario yang tidak merugikan pemerintah dan masyarakat. 

Hendi turut menyampaikan, salah satu instrumen untuk meningkatkan pendapatan negara adalah membentuk semacam badan penerimaan negara di bawah komando presiden. Badan tersebut bisa direalisasikan melalui peleburan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang saat ini di bawah naungan Kementerian Keuangan. 

"Dengan kontribusi yang besar ini, tidak bisa lagi (DJP) tergantung di kementerian atau lembaga, karena akan repot pergerakannya. DJP bisa berada di luar kementerian tapi harus ada majelis atau pihak yang mengontrol sebagai pengawas,” ujar Hendi yang merupakan dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. 

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menyampaikan bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB masih terjaga dalam batas yang aman hingga November 2023. 

"Rasio utang kita di level aman, di bawah 40%, yaitu di 38%,” katanya dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia, Jumat (22/12).

Airlangga menegaskan, terkendalinya rasio utang tersebut juga sejalan dengan perekonomian Indonesia yang tetap kuat dengan pertumbuhan yang terjaga pada tingkat sekitar 5%.

"Ekonomi tumbuh stabil di kisaran 5%, bahkan World Bank memprediksi sampai dengan 2026 pertumbuhan ekonomi Indonesia terjaga di level 5%. Kita di atas rata-rata pertumbuhan, baik negara maju maupun negara berkembang,” jelasnya.

Airlangga mengatakan bahwa tingkat inflasi pun berhasil dikendalikan pada tingkat yang rendah. Indonesia bahkan merupakan salah satu yang berhasil mengembalikan inflasi ke target sasaran 2-4%.

 

(Media Center Indonesia Maju)

 

 

(*)