Liputan6.com, Jakarta - Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti divonis bebas atas kasus dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
Amar putusan vonis bebas Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dibacakan oleh Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana di PN Jakarta Timur pada hari ini, Senin (8/1/2024).
"Mengadili, membebaskan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dari segala dakwaan," kata Cokorda di PN Jaktim, Senin (8/1/2024).
Advertisement
Cokorda menilai terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwa penuntut umum. Mereka juga tidak dikenakan denda sebesar Rp1 juta subsider enam bulan kurungan seperti tuntutan Jaksa. Hakim pun memutuskan untuk mengembalikan hak Haris dan Fatia.
Lantas bagaimana pertimbangan hukumnya? Menurut Cokorda, perkataan Lord yang diletakkan sebelum nama Luhut Binsar Pandjaitan telah sering disematkan oleh media online.
"Dan menjadi suatu notaire apabila orang menyebut nama Luhut Binsar Pandjaitan bahkan dalam perbincangan sehari-hari kata Lord Luhut sering diucapkan namun tidak menimbulkan suatu permasalahan bagi saksi Luhut Binsar Pandjaitan," papar dia.
Cokorda mengatakan, kata Lord berasal dari bahasa Inggris artinya yang mulia, sebutan bagi orang atau tuan yang memiliki wewenang kendali atau kuasa atas pihak lain selaku majikan pemimpin atau penguasa.
Berikut sederet fakta terkait vonis bebas Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti atas kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dihimpun Liputan6.com:
Â
1. Divonis Bebas dan Tak Kena Denda
Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti divonis bebas atas kasus dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Amar putusan dibacakan oleh Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana di PN Jakarta Timur pada Senin (8/1/2024).
"Mengadili, membebaskan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dari segala dakwaan," kata Cokorda di PN Jaktim, Senin.
Cokorda menilai terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwa penuntut umum.
Adapun dakwaan itu diantaranya Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 14 ayat (2) dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Menyatakan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwan pertama, dakwaan kedua primer, dakwaan kedua subsider dan dakwaan ketiga," ujar Cokorda.
Mereka juga tidak dikenakan denda sebesar Rp1 juta subsider enam bulan kurungan seperti tuntutan Jaksa. Hakim pun memutuskan untuk mengembalikan hak Haris dan Fatia.
"Mengembalikan hak dan martabat," kata dia.
Â
Advertisement
2. Pertimbangan Hakim Bebaskan Haris Azhar dan Fatia Maulidyianti
Lantas bagaimana pertimbangan hukumnya? Menurut Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana, perkataan Lord yang diletakkan sebelum nama Luhut Binsar Pandjaitan telah sering disematkan oleh media online.
"Dan menjadi suatu notaire apabila orang menyebut nama Luhut Binsar Pandjaitan bahkan dalam perbincangan sehari-hari kata Lord Luhut sering diucapkan namun tidak menimbulkan suatu permasalahan bagi saksi Luhut Binsar Pandjaitan," kata Cokorda.
Cokorda mengatakan, kata Lord berasal dari bahasa Inggris artinya yang mulia, sebutan bagi orang atau tuan yang memiliki wewenang kendali atau kuasa atas pihak lain selaku majikan pemimpin atau penguasa.
"Bahwa penyebutan kata Lord kepada Luhut Binsar Pandjaitan bukanlah ditujukan pada personal Luhut Binsar Pandjaitan tetapi lebih sebagai posisi Luhut Binsar Pandjaitan sebagai seorang menteri di kabinet Presiden Jokowi di mana Luhut Binsar Pandjaitan mendapatkan banyak kepercayaaan dari presiden untuk menduduki atau mengurusi hal-hal tertentu di bidang pemerintahan maupun di bidang kedaruratan seperti masa Covid-19 sedang merebak di Indonesia," ujar Cokorda.
Dengan demikian, majelis menilai frasa kata Lord pada Luhut Binsar Pandjaitan bukan lah dimaksudkan suatu penghinaan atau pencemaran nama baik, karena kata lord bukanlah kata yang mengambarkan kondisi buruk atau jelek atau hinaan atas keadaan fisik atau psikis seseorang.
"Tetapi merujuk pada suatu status atau posisi seseorang yang berhubungan dengan kedudukannya," ucap Cokorda.
Pun demikian dengan frasa "jadi penjahat juga kita" yang keluar dari Fatia Maulidiyanti dalam pembicaraan antara menit 18.00 sampai dengan 21.00. Majelis Hakim berpendapat perbincangan antara Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti tidak terbukti sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik kepada Luhut Binsar Pandjaitan.
"Bukanlah termasuk kategori penghinaan atau pencemaran nama baik oleh karena hal yang diperbincangkan dalam video poadcast merupakan telaaah, komentar, analisa pendapat atas hasil kajian cepat yang dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil," terang dia.
Â
3. Hakim Singgung Sikap Rendah Hati Jokowi
Hakim Pengadilan PN Jakarta Timur memvonis bebas Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti terkait kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.
Dalam amar putusan, hakim menyinggung pemimpin yang harus siap dikiritik.
"Menjadi seorang pejabat di dalam pemerintahan harus siap untuk mendapat kritik baik Personalitynya maupun kinerja," kata Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana.
Cokorda kemudian menyinggung presiden Joko Widodo dalam menyikapi kritikan. Jokowi, kata Cokorda sering mendapat kritikan, cercaaan.
"Bahkan hinaan baik berkenaan dengan kinerjanya, intelektualitasnya juga fisiknya namun beliau tetap menjadi seorang yang rendah hati tidak pernah mengiraukan semua itu," ujar dia.
"Semoga Tuhan yang Maha Esa selalu melindungi beliau," sambung Cokorda.
Dalam amarnya, Cakorda juga menegaskan, Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) sebaagi salah satu negara demokrasi, menjunjung tinggi kebebasan berfikir dan berpendapat.
"Dan berekspresi sebagai hak dasar setiap manusia sebagaimana dimaksud pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945," tandas dia.
Advertisement