Sukses

HEADLINE: Usai Vonis Bebas Haris Azhar dan Fatia, Preseden Baik Kasus Serupa?

Dua aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti divonis bebas majelis hakim PN Jaktim atas kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan. Vonis bebas ini pun disambut positif sejumlah aktivis karena dianggap menjadi awal yang baik bagi upaya perlindungan atas kritik, kebebasan berekspresi, dan kerja-kerja pembela HAM.

"Kita menang! Hidup rakyat! Hancurkan oligarki!"

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Lokataru Haris Azhar langsung berteriak begitu majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) menjatuhkan vonis bebas atas kasus dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menjeratnya.

Dalam sidang putusan yang digelar pada Senin, 8 Januari 2024 kemarin, Haris Azhar bersama Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti dinyatakan tidak bersalah.

"Mengadili, membebaskan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dari segala dakwaan," kata Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana membacakan amar putusannya dalam persidangan di PN Jaktim.

Majelis hakim menilai, kedua terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwa penuntut umum.

Adapun dakwaan itu di antaranya melanggar Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 14 ayat (2) dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

"Menyatakan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwan pertama, dakwaan kedua primer, dakwaan kedua subsider, dan dakwaan ketiga," ujar Cokorda.

Dua orang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) itu juga tidak dikenakan denda sebesar Rp1 juta subsider enam bulan kurungan sebagaimana tuntutan jaksa. Hakim pun memutuskan untuk memulihkan hak dan martabat Haris serta Fatia.

"Mengembalikan hak dan martabat," kata dia.

Vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim PN Jaktim ini langsung disambut baik sejumlah aktivis yang turut hadir di persidangan.

Kebahagiaan juga terpancar dari wajah Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti kala mendengar putusan bebas yang dijatuhkan majelis hakim. Bahkan, mereka meluapkan kegembiraan dengan membentangkan spanduk berlatar merah dan bertuliskan "Kami Bersama Haris dan Fatia".

"Kita menang! Hidup rakyat! Hancurkan oligarki!" teriak Haris Azhar usai majelis hakim membacakan amar putusannya.

"Merdeka!" teriak hadirin dalam persidangan menimpali.

Suasana di ruang sidang PN Jakarta Timur sontak menjadi bergemuruh setelah majelis hakim mengetuk palu sebagai tanda diakhirinya persidangan. Sebagian aktivis dan pendukung yang memantau persidangan bahkan menangis terharu.

Sebelum mengakhiri persidangan, Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana menanyakan terlebih dulu kepada para pihak yang berperkara, baik terdakwa maupun penuntut umum, apakah menerima putusan tersebut.

"Demikian putusan saudara Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Kami tanya saudara berdua, atas putusan ini apakah saudara berdua menerima saudara Haris dan Fatia atau menyatakan pikir-pikir atau naik banding," kata Cokorda.

Dengan tegas, Haris Azhar menerima vonis bebas tersebut. "Kan bebas. Karena bebas ya menerima," kata Haris Azhar singkat.

"Menerima yang mulia," begitu juga Fatia menimpali.

Pun demikian dengan penasihat hukum kedua terdakwa. Mereka juga secara khusus mengapresiasi majelis hakim yang telah memutus perkara dengan adil. "Kami berterima kasih kepada majelis hakim dan menerima," jawab M Isnur.

Jaksa Langsung Ajukan Kasasi

Sementara Jaksa Penuntut Umum (JPU) sempat menyatakan pikir-pikir dulu sebelum mengambil keputusan melakukan upaya hukum lanjutan. 

"Izin yang mulia, kami berterima kasih atas putusan dan pertimbangan hukum. Dan kami akan mempelajari putusan itu dengan seksama. Untuk itu kami akan menyatakan pikir-pikir," jawab JPU.

Namun tak lama selepas persidangan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta mengeluarkan pernyataan resmi bahwa jaksa yang menangani perkara Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti mengajukan kasasi atas vonis bebas tersebut.

Hal ini disampaikan Pelaksana Harian (Plh) Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati DKI Jakarta, Herlangga Wisnu Murdianto dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com pada Senin malam.

"Terhadap putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Timur langsung menyatakan kasasi," kata Herlangga.

Pengajuan kasasi itu tertuang dalam Akta Permintaan Kasasi Nomor 02/Akta.Pid/2024/PN.Jkt.Tim tanggal 08 Januari 2024 untuk perkara atas nama terdakwa Haris Azhar dan Akta Permintaan Kasasi Nomor 03/Akta.Pid/2024/PN.Jkt.Tim tanggal 08 Januari 2024 untuk perkara atas nama terdakwa Fatiah Maulidiyanti.

Herlangga menyatakan bahwa JPU segera mempersiapkan memori kasasi atas perkara dugaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan tersebut.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menuturkan, vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim PN Jaktim kepada Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti tersebut mengonfirmasi bahwa hasil penelitian dan bahkan sebuah kritikan sekalipun tidak bisa dikriminalkan.

"Hasil penelitian atau kritik sekalipun harus dijawab dengan yang selevel, yaitu perbuatan dan pernyataan atas kritik. Karena itu, sudah seharusnya memang dibebaskan," ujar Fickar kepada Liputan6.com, Selasa (9/1/2024).

Lebih lanjut, dia juga menjelaskan alasan kenapa JPU langsung melakukan upaya hukum kasasi, bukan banding. Menurut Fickar, putusan bebas atau lepas tidak bisa diajukan banding di pengadilan tinggi, karena kedua level peradilan itu adalah judex factie atau memeriksa fakta persidangan.

"Karena itu putusan bebas atau lepas, hanya bisa diajukan upaya hukum kasasi di mana kewenangannya judex jurist, memeriksa ketepatan penerapan hukumnya," katanya menjelaskan.

Dia menilai, upaya kasasi yang diajukan jaksa ini merupakan kewajiban profesionalnya sebagai JPU. "Karena buat apa dituntut jika tidak dimaksudkan untuk menghukum. Jika sejak awal JPU yakin tidak akan terbukti kan bisa dihentikan penuntutannya (SKP2)," ucap Abdul Fickar menandaskan.

2 dari 5 halaman

Awal Baik Perlindungan Kebebasan Berekspresi

Sejumlah aktivis turut menanggapi vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur kepada Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti atas kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.

Salah satunya Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Dia mengatakan bahwa vonis bebas terhadap dua orang aktivis HAM ini bisa menjadi preseden baik bagi kebebasan bereskpresi dan perlindungan atas kritik.

"Hari ini bisa jadi awal yang baik bagi upaya perlindungan atas kritik, kebebasan berekspresi dan kerja-kerja pembela HAM," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin (8/1/2024).

Menurut Usman, sejak awal kasus hukum yang dialami Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti ini semestinya tidak pernah terjadi. "Vonis hari ini harus menjadi acuan bahwa siapapun yang kritis terhadap perilaku pejabat publik tidak boleh dibungkam," katanya.

Berdasarkan data Amnesty International Indonesia, setidaknya terdapat 504 kasus penyalahgunaan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang melanggar hak kebebasan berekspresi terhadap 535 orang selama 2019-2023.

Mereka yang dituduh berdasarkan UU tersebut terdiri dari pembela hak asasi manusia, jurnalis, akademisi, hingga warga sipil.

"Ke depannya, apa yang dikritisi Fatia-Haris dalam video YouTube harus diinvestigasi oleh aparat penegak hukum," ucap Usman.

Sementara The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam rilis resminya juga menilai bahwa vonis bebas terhadap Haris dan Fatia adalah putusan baik, karena majelis hakim PN Jaktim memberikan pertimbangan yang menarik dalam konteks kebebasan berekspresi.

"Dengan merujuk pada SKB tentang Pedoman Implementasi UU ITE, sebuah analisis dan penilaian bukanlah suatu penghinaan atau pencemaran nama baik. Majelis menggunakan konsep ini di dalam putusannya dengan mempertimbangkan fakta," ujar ICJR dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin kemarin.

ICJR berpendapat, vonis Haris dan Fatia perlu menjadi catatan dalam sistem peradilan pidana khususnya yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi bahwa upaya aktivisme, apalagi kritik berbasis penelitian tak harus direspons dengan proses pidana.

ICJR juga mengingatkan bahwa proses kriminalisasi tersebut tak lepas dari kebijakan hukum pidana khususnya dalam UU ITE yang tidak dirumuskan dan diimplementasikan sesuai dengan prinsip negara demokratis.

"Perlu diingat juga bahwa masih ada orang-orang yang dalam proses kriminalisasi karena bersuara kritis demi kepentingan umum. Dengan demikian, bebasnya Fatia Maulidiyanti-Haris menjadi secercah harapan," terang ICJR.

Ke depannya, pertimbangan majelis hakim dalam putusan Fatia-Haris perlu menjadi preseden untuk penyelesaian kasus-kasus di atas serta penerapan pasal penghinaan dalam KUHP baru, revisi kedua UU ITE, maupun dalam kerja-kerja aparat penegak hukum bahwa kritik terhadap penguasa dilindungi dalam negara demokratis.

Mantan Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo Harahap juga ikut bergembira dengan vonis bebas yang diterima Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

Menurut Yudi, ini adalah kemenangan demokrasi dan jaminan kebebasan bersuara bagi warga negara Indonesia dalam menyuarakan kebenaran.

"Ini jaminan sekaligus yurisprudensi bahwa pengadilan paham arti penting kritik bagi pejabat pemerintah dan negara sebagai mekanisme kontrol jalannya pemerintahan, apalagi konstitusi juga menjamin," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin kemarin.

Yudi berharap amar putusan ini bisa menjadi pelajaran penting, terutama kepada pejabat publik.

"Mau tidak mau, suka tidak suka, harus terbuka dan mau dikritik sepedas apapun, sebab itu adalah konsekuensi logis jabatan yang diembannya sebagai pelayan masyarakat dan juga selama ini digaji oleh uang rakyat. Sehingga bagaimanapun kerasnya kritik merupakan masukan berharga untuk berubah atau introspeksi memperbaiki diri maupun kebijakan," kata mantan penyidik KPK ini menandaskan.

 

3 dari 5 halaman

Vonis Bebas Bawa Pesan Jangan Takut Mengkritik

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Tim Advokasi untuk Demokrasi juga merespons vonis bebas Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Perwakilan Tim Advokasi untuk Demokrasi, Muhammad Isnur menyatakan bahwa putusan itu memiliki pesan agar masyarakat jangan takut untuk terus mengkritik, sebagaimana kebebasan berekspresi dalam kehidupan berdemokrasi.

“Putusan ini memberikan pesan bahwa kita harus dan terus mengkritik, berbicara, dan menyampaikan pendapat,” kata Isnur dalam keterangan tertulisnya, Selasa (9/1/2024).

“Apa yang disampaikan hakim adalah kebenaran, karena menyebut demokrasi dan kebebasan berekspresi. Putusan ini menyampaikan pesan bahwa jangan takut dan jangan berhenti,” tambahnya.

Terlebih, kata Isnur, dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa kata ‘lord’ bukan masuk ke dalam unsur pencemaran baik. Begitupun yang diucapkan oleh Fatia dalam video podcast, yakni kata ‘jadi penjahat juga kita’ tidak menuju kepada LBP sehingga tidak dapat diklasifikasikan kepada penghinaan.

Selain itu, dalam putusan yang dibacakan, Majelis Hakim menyatakan bahwa Pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak bisa dilepaskan dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Surat Keputusan Bersama tiga lembaga yakni Kominfo, Jaksa Agung dan Kapolri.

“Tujuan awal podcast ini adalah membantu masyarakat di Papua yang masih hidup dalam situasi kekerasan dan pelanggaran HAM.” kata pengacara Haris dan Fatia ini.

Pada keterangan yang sama, Anggota Tim Advokasi untuk Demokrasi, Arif Maulana juga menyampaikan bahwa kalimat ‘bisa dibilang bermain tambang yang terjadi di papua hari ini ‘yang diucapkan Fatia, terbukti dan tidak dapat diingkari.

Sebab lewat podcast yang dipandu Haris itu, memang PT TDM sebagai anak perusahaan PT Toba Sejahtera yang sahamnya dimiliki 99 persen oleh Luhut, memiliki keterkaitan pada penjajakan bisnis di Papua.

Polisi Diminta Usut Jejak Bisnis Tambang Luhut

Alhasil, unsur pasal pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik atau dalam dakwaan pertama tidak terbukti.

“Apa yang dibacakan majelis hakim dalam putusannya mengakui bahwa riset dari koalisi masyarakat sipil adalah benar dan harus diakui sebagai sebuah fakta. Riset tersebut menyatakan bahwa terdapat conflict of interest dari LBP,” kata dia.

Termasuk terkait Pasal 14 UU No 1 tahun 1946 tentang pemberitahuan bohong. Dalam pasal ini pun, pertimbangan hakim menyatakan bahwa PT Toba sebagai Beneficiary Owner (BO) terlihat dari korespondensi antara Paulus Prananto dengan PT MQ dan West Wits Mining untuk Derewo Project.

Sehingga, yang diucapkan oleh Fatia dan Haris yang mana didasari pada hasil riset koalisi masyarakat sipil bukan merupakan berita bohong. Lebih lanjut, hakim pun menilai bahwa judul podcast ‘Ada Lord Luhut di Balik Operarsi Militer di Papua” juga bukan merupakan pemberitaan bohong sehingga dakwaan primair kedua tidak terpenuhi.

“Maka, ketika ingin hukum setara, polisi harus mengusut jejak bisnis pertambangn yang dilakukan oleh perusahaan Luhut,” ujar Arif.

Oleh karena itu, Pasal 311 KUHP sebagai dakwaan dalam putusannya pun menjabarkan unsur-unsur yang ada. Dimana Hakim menyatakan yang diucapkan Fatia dan Haris bukanlah melanggar kehormatan dan nama baik, melainkan sebuah kenyataan sehingga delik pada unsur pasal ini tidak terpenuhi

“Ada harapan bagi demokrasi, kami berharap Mahkamah Agung bisa konsisten jika ada upaya hukum yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum,” tuturnya.

4 dari 5 halaman

Respons Luhut atas Vonis Bebas Haris dan Fatia

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan melalui juru bicaranya, Jodi Mahardi menyatakan, menghormati putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menjatuhkan vonis bebas terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

"Kami menghormati keputusan yang telah dibuat oleh Majelis Hakim. Setiap putusan pengadilan adalah wujud dari proses hukum yang harus kita hormati bersama," ujar Luhut dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Selasa (9/1/2024).

Namun demikian, Luhut menyayangkan bahwa ada beberapa fakta dan bukti penting selama persidangan yang tampaknya tidak menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan majelis hakim.

"Kami percaya bahwa setiap aspek dan fakta dalam suatu kasus hukum harus dipertimbangkan dengan saksama untuk mencapai keputusan yang adil dan bijaksana," katanya.

Selanjutnya, Menko Marves menyerahkan sepenuhnya kepada jaksa penuntut umum atas proses yang akan diambil berikutnya. Luhut percaya bahwa jaksa akan melanjutkan proses hukum ini secara bijaksana dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

"Kami sangat menghargai sistem peradilan kita dan berharap bahwa setiap proses hukum dapat berjalan dengan lebih transparan dan akuntabel, demi keadilan dan kebenaran. Kami juga mengajak semua pihak untuk menghormati proses hukum dan menunggu setiap prosesnya dengan sabar," ucap Luhut menandaskan.

Pertimbangan Hakim Vonis Bebas Haris dan Fatia

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti tidak bersalah atas dakwaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.

Dalam pertimbanggannya, Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana menilai bahwa perkataan 'Lord' yang diletakkan sebelum nama Luhut Binsar Pandjaitan sudah sering disematkan oleh media online.

"Dan menjadi suatu notaire apabila orang menyebut nama Luhut Binsar Pandjaitan bahkan dalam perbincangan sehari-hari kata Lord Luhut sering diucapkan namun tidak menimbulkan suatu permasalahan bagi saksi Luhut Binsar Pandjaitan," kata Cokorda dalam sidang putusan.

Hakim Cokorda mengatakan, kata Lord berasal dari bahasa Inggris artinya yang mulia, sebutan bagi orang atau tuan yang memiliki wewenang kendali atau kuasa atas pihak lain selaku majikan pemimpin atau penguasa.

"Bahwa penyebutan kata Lord kepada Luhut Binsar Pandjaitan bukanlah ditujukan pada personal Luhut Binsar Pandjaitan tetapi lebih sebagai posisi Luhut Binsar Pandjaitan sebagai seorang menteri di kabinet Presiden Jokowi di mana Luhut Binsar Pandjaitan mendapatkan banyak kepercayaaan dari presiden untuk menduduki atau mengurusi hal-hal tertentu di bidang pemerintahan maupun di bidang kedaruratan seperti masa Covid-19 sedang merebak di Indonesia," ujar Cokorda.

Dengan demikian, majelis hakim menilai frasa kata Lord pada Luhut Binsar Pandjaitan bukanlah dimaksudkan suatu penghinaan atau pencemaran nama baik, karena kata lord bukanlah kata yang mengambarkan kondisi buruk atau jelek atau hinaan atas keadaan fisik atau psikis seseorang.

"Tetapi merujuk pada suatu status atau posisi seseorang yang berhubungan dengan kedudukannya," ucap Cokorda.

Pun demikian dengan frasa "jadi penjahat juga kita" yang keluar dari Fatia Maulidiyanti dalam pembicaraan antara menit 18.00 sampai dengan 21.00. Majelis Hakim berpendapat perbincangan antara Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti tidak terbukti sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik kepada Luhut Binsar Pandjaitan.

"Bukanlah termasuk kategori penghinaan atau pencemaran nama baik oleh karena hal yang diperbincangkan dalam video poadcast merupakan telaah, komentar, analisa, pendapat atas hasil kajian cepat yang dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil," ucap hakim membacakan pertimbangannya.

Singgung Sikap Rendah Hati Jokowi

Dalam amar putusannya, majelis hakim juga menyinggung sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang rendah hati terhadap setiap kritikan. Menurut majelis hakim, seorang pemimpin atau pejabat harus siap dikiritik.

"Menjadi seorang pejabat di dalam pemerintahan harus siap untuk mendapat kritik baik personalitynya maupun kinerja," kata Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana.

Cokorda kemudian menyinggung Presiden Joko Widodo dalam menyikapi kritikan. Jokowi, kata dia, sering mendapat kritikan, bahkan cercaan.

"Bahkan hinaan baik berkenaan dengan kinerjanya, intelektualitasnya, juga fisiknya. Namun beliau tetap menjadi seorang yang rendah hati, tidak pernah menghiraukan semua itu," ujar hakim ketua.

"Semoga Tuhan yang Maha Esa selalu melindungi beliau," sambung Cokorda.

Dalam amarnya, Cakorda juga menegaskan bahwa Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) sebagai salah satu negara demokrasi menjunjung tinggi kebebasan berfikir dan berpendapat.

"Dan berekspresi sebagai hak dasar setiap manusia sebagaimana dimaksud pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945," ucapnya menandaskan.

5 dari 5 halaman

Perjalanan Kasus Hukum Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti

Kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan yang menjerat Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti bermula dari tayangan video YouTube berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam.”

Video yang ditayangkan pada 20 Agustus 2021 tersebut memuat bincang-bincang Haris dan Fatia mengenai kajian cepat Koalisi Bersihkan Indonesia yang berjudul 'Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya', lalu membahas hubungan antara operasi militer di Papua dan dugaan konflik kepentingan Luhut atas bisnis pertambangan di wilayah tersebut.

Dalam tayangan video itu, Haris Azhar yang merupakan Direktur Eksekutif Yayasan Lokataru dan Fatia yang ketika itu menjabat sebagai Koordinator KontraS, menduga Menko Luhut terlibat dalam bisnis pertambangan emas di Papua.

Diskusi itu juga membahas operasi militer di Papua yang terkesan melindungi kepentingan pertambangan di provinsi tersebut.

Luhut kemudian membantah klaim yang dibicarakan Haris dan Fatia. Pensiunan Jenderal TNI Angkatan Darat itu kemudian mensomasi kedua aktivis tersebut dan menuntut mereka untuk membuat permintaan maaf.

Namun Fatia dan Haris menolak meminta maaf. Luhut kemudian melaporkan keduanya ke Polda Metro Jaya pada 22 September 2021 atas kasus dugaan pencemaran nama baik dan menggugat mereka sebesar Rp100 miliar.

Saat memenuhi panggilan polisi, Fatia membantah telah mencemarkan nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan atas sebuah video yang diunggah di kanal Youtube Haris Azhar. Menurutnya, konten tersebut ditujukan untuk membeberkan situasi HAM di Papua buntut bercokolnya sejumlah perusahaan ekstraktif di sana. 

"Pernyataan yang saya sampaikan di Youtube Haris Azhar ini berdasarkan hasil riset terkait situasi ekonomi politik di Papua. Di mana sebetulnya itu merupakan sebuah bentuk kepentingan publik yang harus dibuka seluas-luasnya terkait situasi politik dan dugaan keterlibatan pejabat publik dalam ekstraktif industri di Indonesia yang mengakibatkan banyaknya faktor pelanggaran HAM yang terjadi di Papua hari ini," ujar Fatia di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (23/11/2021).

Fatia mengaku, konten yang disajikan dalam video itu justru merupakan kepentingan publik yang harus diketahui secara luas. Ia sama sekali tak memiliki niatan untuk merugikan sejumlah pihak. Apalagi mencemarkan nama baik.

Konten itu, lanjut Fatia, juga demi menguji keterbukaan negara ihwal dugaan keterlibatan bisnis ekstraktif yang dianggap berdampak pada situasi HAM di Papua. 

"Semuanya murni atas tujuan untuk membuka bagaimana situasi yang terjadi di Papua dan informasi kepada publik terkait situasi real dan juga meminta negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua," ucap Fatia.

Dalam kasus ini, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dipersangkakan melanggar Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 14 ayat (2) dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti pun bergulir ke meja hijau. Persidangan kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dimulai pada Senin, 3 April 2023 lalu dan berakhir pada Senin, 8 Januari 2024 dengan putusan bebas.

Video Terkini