Liputan6.com, Jakarta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri triliunan dana jadi transaksi mencurigakan menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Temuannya, akumulasi dari transaksi yang dilakukan 100 calon legislatif (caleg) mencapai Rp 51 triliun.
Baca Juga
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni meminta PPATK melakukan pendalaman lebih lanjut terkait aliran uang mencurigakan oleh 100 caleg tersebut.
Advertisement
"Ada baiknya kalau PPATK sekalian lakukan pendalaman terlebih dahulu terkait temuan dana mencurigakan di 100 caleg, atau bahkan lebih ini. Aliran uang ini kategorinya apa? Tindak pidana, kah? Atau justru ternyata sumbangan? Karena itu jelas akan sangat berbeda nantinya. Jadi agar publik tidak berspekulasi yang macam-macam, mending dicek ulang sekalian. Nanti kalau ada unsur pidananya, baru kita gas," ujar Sahroni dalam keterangannya, Kamis (11/1/2024).
Oleh karenanya, jika sudah dilakukan pendalaman, Politikus NasDem ini meminta PPATK membuka semua pihak yang diduga menerima aliran dana dari luar negeri ini.
Sahroni tidak ingin isu ini hanya menjadi bola panas di tengah masyarakat, namun tak kunjung ada aksi penyelesaian, terlebih saat ini di masa kampanye Pemilu 2024.
"Nah semisal sudah jelas, bahwa benar ada temuan unsur pidananya, PPATK harus pastikan bisa tuntaskan kasus ini. Serahkan data tersebut ke aparat penegak hukum, lalu kawal hingga ada penyelesaian. Jangan kita hobi buat publik gaduh, tapi habis itu menghilang tidak ada kelanjutan. Ini harus di-spill. Jangan Seperti kasus transaksi Rp 349 T kemarin, sudah sampai mana coba? Publik enggak pernah tuh dikasih tahu update-nya," tambah Sahroni.
Dia pun mengaku pihaknya, Komisi III DPR RI, akan merencakan jadwal rapat bersama PPATK, guna meminta kejelasan terkait semua isu yang bergulir ini. Agar, semuanya dapat terselesaikan dengan cepat.
"Nanti kalau sudah masuk masa sidang, sebagai mitra kerja, kita akan panggil PPATK. Komisi III akan minta kejelasan atas semua isu-isu ini. Karena kalau ada temuan masalah, harus diselesaikan hingga tuntas, bukan cuma bikin gaduh di bawah. Apalagi ini sedang tahun pemilu, bisa kacau kalo cuma lempar-lempar isu begini," tutup Sahroni.
Sementara pihak Bawaslu saat dicoba dan dikonfirmasi oleh Liputan6.com, baik itu Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, kemudian anggota Bawaslu Lolly Suhenty, maupun Puadi tak ada merespons soal ini.
Sedangkan pihak KPU, baik itu Ketua KPU Hasyim Asy'ari, maupun Anggota KPU August Mellaz juga tak memberikan respons. Sedangkan Anggota KPU Betty Epsilon Idroos mengatakan tak tahu soal temuan PPATK tersebut.
"Saya belum tahu, mungkin Ketua KPU tahu," singkat Betty kepada Liputan6.com, Kamis (11/1/2024).
Â
Bawaslu Harusnya Jangan Diam
Peneliti pusat riset politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiatri mengatakan, sepatutnya penyelenggara Pemilu dan dalam hal ini menjadi kewenangan Bawaslu untuk menindaklanjuti semua laporan publik atas dugaan pelanggaraan Pemilu, termasuk laporan transaksi mencurigakan PPATK.
"Laporan ini patut diinvestigasi dan tentunya diproses sesuai aturan hukum yang berlaku dengan tentunya secara adil dan transparan sehingga tidak ada kecurigaan publik dan terang benderang mengingat hal ini kemudian terkait dengan penyelenggaraan Pemilu saat ini," tutur Aisah kepada Liputan6.com, Kamis (11/1/2024).
Menurut dia, transaksi mencurigakan ini harus diproses sampai tuntas dan apabila ada yang terbukti melakukan pelanggaran hukum, maka pelanggar aturan harus mendapatkan sanksi, termasuk sanksi tetap diberikan meski jika caleg kemudian terpilih dari hasil Pemilu.
"Hal ini penting sebagai pelajaran politik untuk menimbulkan efek jera agar tidak ada lagi pelanggaran dana politik Pemilu," tutur Aisah.
Menurut dia, risikonya jika memang ada dana yang tak lazim tentu beragam, mulai dari menimbulkan keresahan politik karena ada banyak caleg yang terlibat, hingga mengganggu jalannya Pemilu atau penetapan hasil Pemilu, terutama jika caleg yang diduga bertransaksi janggal tersebut terbukti bersalah dan mendapatkan sanksi.
"Namun, risiko jika laporan ini tidak diproses sampai tuntas akan lebih buruk karena berdampak pada legitimasi Pemilu dan demokrasi ke depan. Legitimasi Pemilu akan lemah jika ternyata proses Pemilunya berjalan dengan cara politik yang picik melalui penggunaan dana politik yang tidak patut. Hal ini tentu akan berdampak lanjut pada demokrasi yang semakin tergerus," pungkasnya.
Â
Harus Berani Gunakan Instrumen Hukum Lain
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Agustyati mengatakan, di masa mendekati Pemilu transaksi memang bisa saja terus meningkat, karena ada kebutuhan untuk kampanye.
"Seperti yang kita tahu bahwa baik itu peserta Pemilu maupun calon/caleg sudah melakukan aktivitas kampanye sebelum masa kampanye dimulai. Karena masa kampanye sendiri baru dimulai pada tanggal 28 November, sehingga aktivitas kampanye yang dilakukan sebelum masa kampanye tentu tidak melalui rekening khusus dana kampanye tetapi melalui rekening lain yang bisa jadi melalui rekening-rekening pribadi," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (11/1/2024).
Khorunnisa menuturkan, semua ini terkait dengan transparansi dari peserta Pemilu dalam melaporkan keuangannya. Salah satu indikator parpol yang terlembaga dan demokratis adalah jika parpol tersebut transparan dan akuntabel dalam mencatatkan keuangannya.
"Ini masih menjadi salah satu tantangan bagi partai politik kita. Partai politik yang tidak transparan dalam mencatatkan keuangan bisa berdampak pada penggunaan dana-dana ilegal untuk mendanai biaya kampanye yang jika nanti yang bersangkutan terpilih bisa berujung pada praktik-praktik korupsi," ungkap dia.
Khorunnisa menuturkan, Bawaslu tentu harus menindaklanjuti temuan PPATK ini. Selain itu juga penting untuk menggunakan instrumen hukum yang lain karena regulasi Pemilu yang terkait dana kampanye karena terbatas pada masa kampanie saja.
"Sementara bisa jadi transaksi-transaksi temuan PPATK tersebut terjadi di luar masa kampanye yang tidak tercatatkan di RKDK. Sehingga ika ada indikasi pencucian uang atau menggunakan dana ilegal bisa ditindak dengan instrumen hukum yang lain," jelass dia.
Khorunnisa pun mengungkapkan, jika ada terbukti menggunakan dana ilegal, jelas ada unsur pidananya.
"Ada sanksi pidana, Pasal 527 Undang-Undang Pemilu, pidananya kurungan maksimal 3 tahun atau denda paling banyak Rp36 juta," jelas dia.
Â
Advertisement
Disebut Lumrah
Pengamat dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai, temuan itu menjadi satu hal yang lumrah terjadi dalam kontestasi politik di Indonesia. Menurutnya, itu dekat dengan politik uang atau vote buying.
"Data yang diungkap oleh PPATK sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari masalah tersebut, yakni aktivitas pembiayaan politik yang dilakukan melalui jalur perbankan," ujar Ronny kepada Liputan6.com, Kamis (11/1/2024).
Ronny mencoba membagi dua kategori transaksi, yakni atas aliran dana di perbankan seperti temuan PPATK, dan kategori uang tunai. Pada pertukaran uang tunai ini yang dinilai sama dengan praktik korupsi dan suap-menyuap.
"Itulah sebabnya mengapa saya katakan itu hanya sebagian kecil saja, karena aktivitas money politic dan vote buying biasanya berlangsung di darat alias cash and carry, di luar sistem perbankan yang ada. Jadi cukup mirip dengan praktek korupsi suap menyuap pada umumnya yang terjadi dalam bentuk cash and carry," tuturnya.
"Untuk itu, PPATK tentu harus memperjelaskan pantauannya, yakni seberapa mencurigakan, misalnya. Apakah sudah layak ditelusuri lebih jauh oleh lembaga terkait, misalnya KPK atau Kejaksaan, dan lainnya," sambung Ronny.
Dia mengacu pada beragam penelitian yang merujuk kalau peningkatan transaksi yang terindikasi mencurigakan lazim terjadi di Indonesia. Bahkan, disebut masih dalam kategori racun dalam praktik demokrasi Tanah Air.
"Bahkan, tahun 2019 lalu, dua orang Indonesianis dari Australia, Edward Aspinall dan Ward Berenschot, menerbitkan buku tentang politik elektoral di Indonesia dengan judul Democracy for Sale. Sudah bisa dibayangkan isinya seperti apa toh, dari judul bukunya," ungkapnya.
Ronny memandang, dengan seringnya terjadi praktik serupa, maka bisa disebut kalau transaksi mencurigakan tidak bisa lepas dari ekosistem pesta demokrasi di Indonesia.
"Jadi bukan lagi kerap terjadi di Indonesia, tapi lumrah terjadi di Indonesia. Money politic dan vote buying bahkan menjadi bagian tak terlepaskan dari politik Indonesia selama ini. Karena itulah perkara pembiayaan dan permodalan politik ikut menjadi salah satu faktor yang menentukan kemenangan seorang kandidat," paparnya.