Sukses

Arsul Sani: Dunia Hakim Itu Judicial Silence, Tak Boleh Banyak Bicara

Dua periode berkantor di Senayan, Arsul Sani mendapat tugas baru menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Wahidudin Adams yang memasuki masa pensiun.

Liputan6.com, Jakarta Mulai pekan ini Arsul Sani tak akan lagi berkantor di Senayan, gedung wakil rakyat yang telah dia tempati selama satu dekade terakhir. Kini dia menempati gedung dengan sembilan pilar di Jalan Medan Merdeka Barat yaitu Gedung Mahkamah Konstitusi. Rencananya, Arsul akan dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara sebagai Hakim Konstitusi pada Rabu 17 Januari 2024.

Lahir 8 Januari 1964 di Pekalongan, Jawa Tengah, Arsul Sani sejak awal sudah punya darah politisi serta ketertarikan pada dunia hukum. Sebab, dia merupakan putra dari Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kabupaten Pekalongan selama dua periode, Abdullah Fadjari.

Pendidikan dasar dan menengah ditempuh Arsul di SD Pekajangan II (1976), SMPN I Pekalongan (1979) dan SMAN Pekalongan (1982). Lulus SMA dia langsung melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selama kuliah di FHUI Arsul sudah aktif berorganisasi. Salah satu posisi strategis yang dijabatnya yakni sebagai Ketua Komisariat HMI Fakultas Hukum UI pada 1985.

Gelar master dia raih di jurusan Ilmu Komunikasi STIKOM, The London School of Public Relations, Jakarta dan lulus pada 2007. Selanjutnya, dia melanjutkan pendidikan doktoral dengan mengambil jurusan Justice and Policy di Glasgow Caledonian University pada 2011.

Pada awal kariernya usai menyandang gelar sarjana hukum pada 1987, Arsul dipercaya menjadi editor Journal Hukum & Pembangunan UI. Dia kemudian berkecimpung sebagai pengacara untuk sejumlah firma hukum selama kurang lebih 11 tahun.

Arsul mengawali karier profesional sebagai staf Gani Djemat and Patners. Kemudian dia juga menjadi Pengacara Publik di LBH Jakarta dan membela aktivis-aktivis Islam yang terlibat dalam tragedi Tanjung Priok pada tahun 1980-an

Pada 1996, Arsul bergabung dengan Yayasan Asrama Pelajar Islam yang didirikan Masyumi dan PII sebagai Sekretaris Umum. Selanjutnya, ia dipercaya sebagai Kepala GDP Surabaya Dunhill Madden Butler (1989-1997), Founding Partner Karim Sani Lawfirm (1997-2004), hingga Komisaris PT Tupperware Indonesia (1997-2014).

Namun, nama Arsul justru melambung setelah dia masuk dunia politik, yaitu ketika terpilih menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Tengah X pada Pemilu 2014 dengan mengikuti jejak sang ayah menjadi politisi PPP. Sesuai disiplin ilmu yang dikuasai, di Senayan dia duduk di Komisi III yang membidangi masalah-masalah hukum.

Selama dua periode di DPR, Arsul pernah menjadi anggota Pansus RUU Terorisme pada 2014 hingga 2015. Kemudian, terpilih menjadi anggota Bamus pada 2015–2019, anggota Pansus KPK pada 2017–2018, dan anggota BAKN pada 2017–2019. Bahkan, sebelum dilantik sebagai Hakim Konstitusi, dia masih memegang jabatan sebagai Wakil Ketua MPR RI.

Di PPP posisinya tak kalah mentereng, karena Arsul pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal DPP PPP periode 2016–2021. Sementara pada Pilpres 2019, partainya ikut memenangkan pasangan Jokowi-Ma’aruf dan Arsul bersama tujuh orang lainnya menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf.

Arsul kemudian mendapat tugas baru. Suami dari Sukma Violetta, Komisioner Komisi Yudisial Indonesia ini secara sah diputuskan menjadi calon yang diusulkan oleh DPR menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Wahidudin Adams yang akan memasuki masa pensiun.

Keputusan itu diambil dalam Rapat Pleno Komisi III DPR RI yang digelar di Ruang Rapat Komisi III, Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa 26 September 2023, di mana Arsul meraih suara mayoritas dari sembilan fraksi atas tujuh calon yang diajukan.

Lantas, apa yang akan dilakukan ayah tiga anak ini saat mulai menjabat di Mahkamah Konstitusi? Berikut petikan wawancara Sheila Octarina dengan Arsul Sani dalam program Bincang Liputan6.

 

2 dari 5 halaman

Mundur dari DPR dan PPP

Apakah Bapak ada persiapan khusus sebelum dilantik Presiden sebagai Hakim Konstitusi?

Secara khusus tidak ada persiapan. Kalau bicara perasaan ya tentu saya perasaan bersyukur, senang, itu ada. Tapi kalau itu tadi, kembali ke soal persiapan saya kira nggak ada yang khusus karena kan soal dilantik ini bukan pertama kali sebagai pejabat negara, kan dua kali menjadi anggota DPR itu kan juga dilantik mengucapkan sumpah.

Tapi memang untuk Hakim Konstitusi ini agak istimewa, pertama karena pengucapan sumpahnya di Istana Negara, yang kedua kita bukan disumpah tapi kita mengucapkan sumpah di hadapan Presiden sebagai Kepala Negara.

Kemudian soal status Bapak sebagai anggota DPR dan Wakil Ketua Umum PPP bagaimana?

Pertama saya mengundurkan diri dari DPR, itu di awal Desember sudah saya lakukan ya. Proses administratifnya tentu berjalan dengan nanti penerbitan Keputusan Presiden. Kemudian di minggu keempat Desember, saya juga mengundurkan diri, baik dari jabatan sebagai Wakil Ketua Umum PPP ya maupun sebagai anggota partai.

Jadi kalau soal pengunduran diri itu sudah saya lakukan. Bahkan bukan hanya dari DPR dan dari PPP, karena saya kebetulan menjabat Wakil Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Advokat Indonesia Peradi, itu saya juga sudah mengundurkan diri.

Kemudian waktu sebelum masuk dunia politik saya kan seorang profesional lawyer begitu ya. Seorang konsultan hukum, punya law firm, saya juga sudah mengundurkan diri dari partnership law firm saya. Jadi sekarang ini alhamdulillah sudah benar-benar jadi orang bebas ini.

Apa alasan Bapak menerima pencalonan sebagai Hakim Konstitusi dari dengan konsekuensi harus meninggalkan semua jabatan lainnya?

Pertama begini, saya kebetulan mendapat amanah sebagai anggota DPR itu sudah dua periode ya, rasanya sudah cukuplah ada di rumpun kekuasaan legislatif. Nah, kemudian banyak ya teman-teman, sejumlah pihak menyampaikan gimana kalau kemudian bisa bergeser ke rumpun kekuasaan yang lain sebagaimana dulu Pak Mahfud MD.

Pak Mahfud MD itu mulai dari eksekutif karena Menteri Pertahanan zaman Gus Dur ya. Kemudian masuk DPR sebagai anggota Komisi Hukum juga ya, berarti Beliau masuk ke ruang kekuasaan legislatif, habis itu masuk ke ruang kekuasaan yudikatif dengan menjadi Hakim Konstitusi dan kemudian terpilih jadi Ketua MK.

Ya kira-kira meskipun barangkali tidak sehebat Beliau ya, saya kurang lebih ingin juga punya jejak seperti Pak Mahfud itu.

Sebagai seorang politisi, bagaimana Bapak bisa meyakinkan publik bisa menjaga independensi dan juga netralitas dari intervensi partai politik, bahkan DPR yang telah memilih Bapak?

Memang yang namanya kekuasaan yudikatif dan tentu terpersonifikasikan pada diri hakim ya, termasuk kalau MK itu berarti pada diri Hakim Konstitusi itu ada dua pondasi. Yang pertama pondasi yang bernama independensi, jadi jadi hakim itu termasuk Hakim Konstitusi harus independen.

Independen itu artinya apa? Tidak boleh bergantung atau menggantungkan diri dari pengaruh, dari intervensi cabang atau rumpun kekuasaan yang lain, baik itu legislatif maupun eksekutif.

Nah yang kedua pondasinya bernama imparsialitas, tidak boleh parsial, tidak boleh memihak. Artinya harus adil, adil dalam apa? Dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara.

Jadi bukan karena itu katakanlah temannya, partainya, atau katakanlah koalisinya kemudian harus dimenangkan, sementara fakta, alat bukti, ditambah keyakinan hakimnya tidak mendukung untuk dimenangkan. Nah, ini harus kita pegang erat-erat dua pondasi ini, harus kita tegakkan gitu ya.

Nah, pertanyaannya kan tadi bagaimana saya akan menunjukkan itu kepada masyarakat? Maka saya sampaikan ya, karena saya ini baru saja belum lama mundur dari politik, dari partai, dari PPP-lah begitu, maka kalau saya pribadi berkeinginan, saya belum tahu ya sistem dan aturan di MK-nya nanti akan seperti apa, kalau nanti ada sengketa pileg yang melibatkan PPP, apakah PPP atau caleg PPP sebagai pemohonnya atau PPP atau caleg PPP yang digugat kursinya, seyogianya saya tidak ikut memeriksa dan mengadili.

Tidak ikut campur, begitu?

Tidak ikut memutuskan juga. Nah itu apa, itu bagian dari menjaga independensi maupun imparsialitas itu tadi. Ada pertanyaan kemudian, nanti pilpres bagaimana, Pak Arsul? Karena kan PPP dalam pilpres kali ini kan berkoalisi dengan PDIP mengusung Pak Ganjar dan Pak Mahfud.

Pilpres dengan pileg ini agak berbeda memang. Kalau pileg kan langsung yang bersengketa itu ada kemungkinan PPP-nya atau terhadap PPP yang dipersengketakan perolehan suara dan kursinya. Tapi kalau pilpres ini kan kita mengusung saja, sesungguhnya yang jadi pihaknya itu adalah paslon pilpresnya itu sendiri, kan seperti itu.

Namun demikian, untuk menjaga independensi dan imparsialitas, hemat saya maka kalau menyangkut saya di sengketa pilpres itu biarlah delapan Hakim Konstitusi, delapan yang Mulia yang lain itu yang memutuskan saya boleh ikut apa tidak memeriksa dan mengadili. Jadi bukan saya yang ngotot saya harus memeriksa, tidak boleh begitu ya.

Ini yang ada dalam pikiran saya, apakah yang ada dalam pikiran saya itu sesuai dengan sistem dan aturan yang ada di MK ya nanti kita lihat, saya tidak bisa memastikan itu karena saya kan belum masuk di sana.

 

3 dari 5 halaman

Tantangan Mengembalikan Kepercayaan Publik

Bagaimana Bapak melihat kondisi MK serta kepercayaan publik setelah putusan MKMK yang menyatakan adanya pelanggaran etik berat oleh Ketua MK sebelumnya?

Tidak bisa kita pungkiri ya, setelah Putusan 90 kemudian ada putusan dari MKMK, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, itu ada penurunan tingkat kepercayaan publik. Itu kan tergambar dari sejumlah survei tentang tingkat kepercayaan publik kepada lembaga negara itu yang untuk MK turun sebelum ada kejadian itu.

Maka hemat saya itu menjadi tugas semua Hakim MK, termasuk saya kalau nanti sudah efektif menjabat untuk mengembalikan public trust atau tingkat kepercayaan masyarakat itu. Kemarin pada saat Laporan Tahunan 2023, Pak Ketua MK, Pak Suhartoyo juga menyampaikan bahwa yang namanya public trust, kepercayaan publik itu adalah juga modal dasarnya kekuasaan yudikatif, termasuk MK.

Nah, maka ini menjadi beban kami semua yang ada di sana untuk mengembalikan dan insya Allah kalau kita punya niat, kita punya tekad yang sama serta itu kita tunjukkan dalam perilaku, insya Allah public trust itu akan kembali.

Contohnya Polri, waktu kasus Sambo kan turun juga tingkat kepercayaan publik. Tapi karena Pak Kapolri melakukan ikhtiar yang saya kira luar biasa juga akhirnya kan sekarang kembali tinggi tingkat kepercayaan publik itu.

Namun, dengan tingkat kepercayaan yang rendah saat ini, ada kalangan yang pesimistis MK bisa menyelesaikan sengketa hasil Pemilu 2024 secara adil, tanggapan Bapak?

Pertama, pesimisme itu harus kita respons tetap dengan lapang dada, dengan husnudzon, dengan prasangka baik terhadap yang pesimis. Itu tantangan sebetulnya, tantangannya itu nanti untuk membuktikannya itu dengan cara apa? Kalau ada sengketa, baik sengketa pileg atau sengketa pilpres, maka semua proses persidangan harus transparan.

Yang kedua, semua Hakim Konstitusi yang mengadili itu juga harus menunjukkan sikap, ucapan, termasuk dalam pertanyaan yang berimbang, yang adil. Nggak bolehlah istilahnya itu tendensius kepada satu pihak saja. Jadi itu harus ditunjukkan, menurut saya hanya itu saja.

Dan yang terakhir saya kira pada akhirnya adalah putusannya itu juga harus putusan yang didasarkan pada pertimbangan hukum yang tentu harus benar, jelas dan komprehensif. Kalau sudah itu dilakukan saya yakin pesimisme itu akan berkurang.

Memang tidak akan ada semua pihak kemudian puas dengan putusan, pasti ada saja yang tidak puas dengan putusan itu. Tetapi yang penting menunjukkan bahwa putusan itu telah diambil dengan semua proses yang benar dan dengan isi putusan yang benar juga.

Seorang pengamat hukum mengatakan, MK sebagai lembaga reformasi tidak menunjukkan semangat reformasi karena perekrutan hakimnya tidak menunjukkan independensi, bagaimana menurut Bapak?

Barangkali memang soal sistem rekrutmennya belum sempurna. Tetapi mari kita lihat ya, dari sistem rekrutmen yang selama ini dilakukan dan kemudian menghasilkan Hakim Konstitusi-Hakim Konstitusi, mulai dari zamannya yang pertama Pak Jimly Asshiddiqie, kemudian Pak Mahfud, kemudian Pak Arif, sampai sekaranglah. Itu kan dengan sistem rekrutmen yang nggak jauh berbeda, ada penyempurnaan-penyempurnaan.

Tapi menurut saya memang harus terus disempurnakan dengan transparansi dan partisipasi publik yang lebih baik lagi ke depan. Dan dengan sistem rekrutmen seperti itu kan juga sudah menghasilkan berbagai putusan yang di mata masyarakat diapresiasi. Tidak semua putusan MK itu kemudian jelek, kan nggak.

Ada satu dua yang tidak memuaskan masyarakat, kelompok tertentu masyarakat. Tapi banyak juga kan ketika misalnya soal sistem pemilu, apakah proporsional terbuka, tetap atau menjadi proporsional tertutup kan kecurigaannya waktu itu kan katanya MK mau mengubah.

Bahkan ada seorang profesor yang mengatakan putusannya nanti proporsional tertutup, tapi kan ternyata nggak demikian, putusan itu diapresiasi. Tapi juga ada putusan-putusan yang dikritisi. Saya kira itu hal yang wajar saja dalam negara demokrasi.

Kalau dari Bapak sendiri, apa yang akan dilakukan untuk mengembalikan marwah MK kembali seperti dulu?

Menurut saya itu tadi, kita harus sebisa mungkin menunjukkan kepada publik bahwa itu tadi pondasi independensi dan imparsialitas itu benar-benar kita pegang dengan kuat, kita tegakkan betul. Artinya, tidak boleh karena katakanlah dilobi kanan-kiri atas-bawah gitu ya.

Yang kedua ini yang paling penting, perilaku keseharian dari Hakim MK itu jangan ada yang aneh-aneh. Kalau misalnya seorang Hakim MK itu glamour, tiap minggu atau tiap hari bahkan mainnya kok di mal atau dugem ya nggak bisa.

Tapi saya kira kan nggak ada juga Hakim MK yang seperti itu. Ketika kemudian kesederhanaan itu bisa kita tunjukkan saya kira itu akan jadi modal yang bagus. Kalau konkretnya ginilah, kalaupun saya punya uang ya nggak perlu jugalah Hakim MK itu naik Jaguar gitu lho. Itu kan nggak perlu jugalah, standar mobil itu yang tidak mewah-mewah amat, itu kan biasalah.

Kalau sekarang itu batas atasnya barangkali kalaupun mobil itu Alphard saja kan? Tapi kan tidak yang seperti yang kemudian sampai harganya Rp3 miliar lebih, itu contoh perilaku yang sederhana saja gitu lho.

4 dari 5 halaman

Jadi Anggota DPR dan Hakim Konstitusi karena Takdir

Dengan latar belakang keluarga politisi dan pilihan mendalami ilmu hukum, kalau boleh tahu cita-cita Bapak sebenarnya apa?

Jadi gini, saya memang dilahirkan dari lingkungan katakanlah masyarakat santri begitu ya, dari kampung, bukan anak Jakarta, bukan anak kota besar, tapi kemudian diterima di Fakultas Hukum UI. Jadi sarjana hukum dan sudah sejak mahasiswa tingkat akhir saya jadi aktivis juga.

Saya pertama kali berkarier itu menjadi Asisten Pembela Umum di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang melakukan pembelaan terhadap masyarakat tidak mampulah, kaum marjinal, pedagang asongan, sopir mikrolet gitu ya, kemudian warga masyarakat yang digusur dan lain sebagainya.

Tapi setelah itu saya tidak masuk politik, saya masuk dunia profesional, jadi profesional lawyer. Kemudian 14 tahun menjadi direktur di sebuah perusahaan PMA multinasional yang berpusat di Amerika, tiga tahun jadi komisarisnya.

Kemudian diajak masuk ke dunia politik tahun 2011 oleh Pak Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama yang dulu Wakil Ketua MPR juga. Masuk politik, dicalonkan jadi anggota DPR. Sebetulnya tidak ada desain khusus untuk menjadi anggota DPR, hanya untuk memenuhi kuota pencalonan saja, tapi alhamdulillah malah terpilih jadi anggota DPR.

Lebih enak jadi komisaris PMA atau jadi Anggota DPR?

Yang jelas saya berusaha untuk konsisten, maka saya mundur dari perusahaan multinasional. Secara finansial rugilah itu ya, di perusahaan yang multinasional itu take home pay-nya jauh lebih besarlah daripada take home pay di DPR. Tapi ya saya anggap saja ini sebagai bentuk baru dari bidang pengabdian.

Nah, dua periode di sini beberapa teman mendorong saya. Setelah saya tentu mengukur diri, kayaknya bisa ini saya jadi Hakim Konstitusi dan menarik juga ada tantangan baru ya di rumpun kekuasaan yang lain, ke rumpun kekuasaan yudikatif.

Saya mencoba jugalah untuk ikut proses seleksi dan alhamdulillah teman-teman sembilan fraksi itu tidak pakai voting, tapi aklamasi ya. Nah, kalau saya tidak mendapat kepercayaan tidak diterima, ini kan capresnya saja koalisinya beda-beda sembilan fraksi itu ya, pasti akan voting gitu lho.

Tapi walaupun saya dari partai yang tentu pengusung salah satu capres, tapi partai-partai yang lain yang berbeda usungan paslon pilpresnya kan bisa menerima juga. Nah, maka itu menurut saya juga sebuah apresiasi. Saya harus menjawabnya itu tadi dengan menunjukkan independensi dan imparsialitas.

Artinya perjalanan karier Bapak sejak awal mengalir saja?

Artinya begini, saya tidak ada desain khusus bercita-cita jadi anggota DPR, apalagi jadi Hakim Konstitusi. Tapi kok sepertinya takdirnya itu menuntun ke sana, ya sudah kita jalani saja. Tadinya saya malah berpikir dua periode di DPR sudah cukup, saya kembali ke dunia profesi lagi, jadi lawyer lagi. Tadinya berpikirnya malah seperti itu saja.

Tapi ternyata jalannya berkata lain ya?

Takdir itu kan tidak bisa kita atur-atur juga kan? Yang di atas kan yang saya kira juga meng-guide juga kita sampai pada takdir itu.

 

5 dari 5 halaman

Tak Ingin Dilupakan Sejarah

Kita juga tahu istri Bapak, Ibu Sukma Violeta merupakan Komisioner Komisi Yudisial, dengan kesibukan yang ada bagaimana Bapak membagi waktu untuk keluarga?

Kalau kata orang sekarang, yang kadang-kadang saya suka mau ketawa sendiri gitu kan, mengatakan yang penting itu kan quality time-nya, bukan quantity time-nya? Nah, jadi ketika kita sedang bersama-sama anak-anak di akhir pekan itulah kita manfaatkan. Kalau sekarang selebihnya kan kita itu bisa WhatsApp call, video call gitu kan?

Itu kan bisa kita lakukan, yang satu dari sini Senayan, yang satu dari kantor KY, yang satu dari tempat kerja anak saya yang ada di daerah Serpong, yang satu ada di Sudirman gitu lho, itu kita bisa aturlah kalau sekarang.

Nah kalau soal diingatkan, anak-anak saya itu malah yang justru sering mengingatkan. Mengingatkan agar tidak terlalu lama jadi anggota DPR. Makanya ketika mau nyaleg lagi anak-anak saya sebetulnya mengingatkan kalau bisa itu jangan tiga periode di DPR, sudah cukup dua periode dan kembali ke dunia profesi. Tapi ini malah bukan kembali ke dunia profesi, malah pergi ke dunia yang lain, dunia yudikatif.

Kalau istri sering mengingatkan tentu ya, bahkan bukan cuma mengingatkan, mempertanyakan apa bisa jadi hakim? Bukan bisa secara keilmuan ya, tetapi kan memang dunia politik dengan dunia hakim itu kan berbeda, dunia politisi dengan dunia hakim.

Politisi itu kan seperti ada kewajiban untuk talkactive, untuk terus bicara itu ya, nah kalau dunia hakim itu namanya saja judicial silence ya, dunia yang sunyi, nggak boleh banyak ngomong ya. Itu bagaimana nanti cara mengelolanya, maka saya mulai menulis, menyalurkan kebiasaan ngomong verbal itu, hal yang verbal itu menjadi sebuah tulisan.

Kita tahu kalau Bapak suka menulis, bahkan di akhir 2021 Bapak baru menerbitkan buku. Kira-kira ada rencana lagi Pak kedepannya untuk menerbitkan buku lagi?

Sekarang penerbit Kompas itu sedang dalam proses penerbitan, mungkin minggu depan itu sudah di-launching buku saya yang ke-3. Itu kebetulan saya adaptasi dari disertasi doktoral saya di sebuah universitas di Eropa. Tadinya disertasi dalam Bahasa Inggris diterjemahkan, kemudian ya tentu diadaptasilah, disesuaikan.

Insya Allah akan diterbitkan oleh penerbit buku Kompas. Itu tentang judulnya itu gini ya kira-kira, keamanan nasional dan perlindungan HAM, itu dialektika kontraterorisme di Indonesia. Disertasi itu memang berasal dari catatan-catatan saya.

Pertama, dalam melaksanakan tugas pengawasan terhadap penegak hukum, khususnya Polri yang terkait dengan terorisme. Yang kedua, catatan-catatan saya waktu saya menjadi anggota Pansus dan Tim Perumus RUU Terorisme yang baru Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018.

Nah ini akan terbit dan tentu saya akan berusaha untuk terus menulis. Karena katanya, kalau tidak mau dilupakan oleh sejarah, maka menulislah. Kira-kira Pramoedya Ananta Toer mengatakannya demikian.

Kira-kira dari catatan Bapak tadi ada nggak tulisan yang bisa memotivasi kaum muda, generasi Millenial sekarang ini?

Saya memang belum sempat menulis. Tapi dulu waktu saya di perusahaan multinasional, kerja saya itu melakukan tiga E. Yang pertama adalah Educating, mendidik. Yang kedua adalah Enlightening, mencerahkan, dan yang ketiga adalah Empowering, memberdayakan.

Maka saya sekarang belum menulis memang, tapi masih suka ceramah itu di anak-anak SMA, mahasiswa tingkat 1 tingkat 2 ya, saya men-summarize itu bukunya Stephen Covey, The 7 Habits. Dan terutama yang saya tekankan adalah bukunya Stephen Covey yang berjudul First Things First, hal utama yang harus dilakukan dalam hidup, buat anak-anak muda itu. Itu sering saya itu sampai sekarang.

Kalau yang saya ingat di The 7 Habits itu, Win Win Solution.

Ya, itu salah satu. Jadi saya kira value yang ada di buku Stephen Covey itu bisa dipakai sebagai bahan dasar untuk tadi terus memotivasi Gen-Z kita agar bisa menjalani atau menuju masa depan itu dengan lebih baik lagi. Dengan well prepared-lah istilahnya.

Bapak akan segera beralih kantornya dan ketika meninggalkan gedung yang menjadi tempat mengabdi selama 10 tahun terakhir, adakah pengalaman atau kenangan yang menarik selama ini?

Saya kira banyak. Saya termasuk anggota DPR yang boleh ditanya juga sama teman-teman di Media Center DPR yang berteman dekatlah dengan teman-teman media. Bahkan ada orang yang mengatakan jadi media darling dan segala macam.

Saya kira itu bagian dari kenangan yang membuat saya sedih juga ketika pergi karena tentu tidak akan bisa seperti DPR, bisa apa kalau orang bilang cuwawakan ha-ha-hi-hi sama teman-teman media. Jadi hakim kan harus jaim sedikitlah gitu kira-kira ya.

Jadi nanti akan berubah agak lebih jaim ya, lebih kalem begitu ya, Pak?

Ya kalau di depan media gitu lho, tapi kalau medianya sedang tidak mengutip ya kalau perlu ya kita tetap makan ketoprak barenglah. Makan ketoprak, makan-makan di food street itu suka saya gitu lho. Kadang-kadang saya diteriakin anak dan istri saya, itu nanti kalau lambungnya bermasalah dan lain sebagainyalah, ya kita bismillah ajalah gitu.

Â