Liputan6.com, Jakarta - Alih fungsi hutan dan lahan perkebunan teh di kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, belakangan ini makin marak.
Kawasan yang sejatinya sebagai penunjang resapan air dan fungsi vegetasi, kini banyak berubah fungsi menjadi area komersial seperti restoran, wisata alam, hingga tempat penginapan dan sejenisnya.
Baca Juga
Praktik alih fungsi lahan ini mencuat setelah ada aksi protes dari masyarakat Puncak yang mengatasnamakan Forum Tugu. Mereka meminta PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII menyetop perusakan kebun teh dan daerah resapan.
Advertisement
Menanggapi protes warga, anggota DPR RI, Mulyadi mendesak perlu adanya audit investigatif terhadap lahan Hak Guna Usaha (HGU) maupun hutan milik Perhutani di kawasan Puncak yang dijadikan area komersial melalui kerja sama operasional (KSO).
Menurutnya, audit investigatif dilakukan untuk mengetahui sejauh mana dampak negatif dan positif terhadap tanah HGU yang dikuasai oleh pengusaha swasta melalui KSO. Dampak yang dimaksud meliputi resapan air, fungsi vegetasi, dan terhadap masyarakat sekitar.
"Alih fungsi perkebunan teh akan semakin menyempit gara-gara KSO. Laporan yang saya terima, satu pengusaha bisa menguasai ratusan hektar dan ini adanya pembiaran. Itu maksud saya diperiksa dicek ulang, apakah dari sisi regulasi ada kebijakan overlap ataupun melanggar. Audit termasuk juga yang dikelola oleh Perhutani," ujar Mulyadi usai menemui perwakilan warga Cisarua, Rabu (17/1/2024).
Anggota Komisi V DPR RI ini mengungkapkan dari hasil pertemuan dengan warga Kecamatan Cisarua khususnya di Desa Tugu Selatan dan Desa Tugu Utara, mereka khawatir alih fungsi lahan menjadi sumber bencana bagi kehidupan khususnya warga setempat maupun ekosistem mahluk hidup lain.
Â
Puncak Bogor Masuk Zona Rawan Bencana Alam
Terlebih, kawasan Puncak masuk zona paling rawan bencana alam seperti banjir bandang dan tanah longsor. Berdasarkan data, sempat terjadi banjir bandang di kawasan Gunung Mas dan longsor di beberapa titik kawasan Puncak.
"Apalagi ada satu kampung (Naringgul) sudah tinggal sejak zaman Belanda yang kini dikuasai PTPN VIII terancam terusir karena ada rencana di KSO dengan pihak swasta. Nah itu kan tidak fair," ucapnya.
Mulyadi berjanji akan segera menyampaikan kecemasan masyarakat Puncak ini kepada Komisi VI DPR RI. Dan dia juga akan meminta komisi tersebut untuk ikut mendorong audit investigatif pada lahan HGU dan Perhutani.
"Itu kan kewenangan Komisi VI dan BUMN. Masalahnya sederhana, apa yang terjadi di tingkat pelaksana terkadang laporan ke pusat tidak sesuai. Dan kami kalau tidak ada laporan warga juga tidak akan tahu. Oh ternyata ada masalah,"
Â
Advertisement
Audit Sektor Pariwisata
Tak cuma lahan, audit juga perlu dilakukan pada sektor ketenagakerjaan, infrastruktur dan sektor lainnya. Sehingga investasi di kawasan Puncak benar-benar dapat dinikmati dan memberi rasa aman dan nyaman bagi masyarakat sekitar.
"Dan ternyata informasi yang kami terima, upah di sektor pariwisata masih di bawah UMR. Ketenagakerjaan juga harus mengaudit ini. Jangan sampai Puncak yang seharusnya menjadi anugerah bagi masyarakat sekitar justru malah jadi musibah," ujar Anggota DPR RI Dapil Jawa Barat 5 ini.