Sukses

Eks Kepala Basarnas Henri Alfiandi Jadi Saksi Kasus Suap di Persidangan Militer

Kuasa hukum mantan Kepala Basarnas Henri Alfiandi, mengungkapkan persidangan masih fokus dugaan suap proyek public safety diving dan alat pendeteksi pencari korban reruntuhan yang menyeret Henri Alfiandi dan Afri Budi Cahyanto.

Liputan6.com, Jakarta - Sidang kasus dugaan suap proyek pengadaan barang di Badan SAR Nasional (Basarnas) tahun 2021-2023 kembali digelar di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Kamis 18 Januari 2024. Sidang kali ini masih mengagendakan pemeriksaan saksi-saksi.

Sidang dipimpin Ketua Hakim Majelis Sidang Kolonel Chk Adeng, hakim anggota Kolonel Kum Siti Mulyaningsih, dan Kolonel Chk Arwin Makal, serta Panitera pengganti Mayor Chk Khairudin, dan Oditur Kolonel Laut (H) Wensaslaus Kapo.

Ada tiga saksi yang didengar keterangannya secara langsung dengan terdakwa Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto (ABC), sebagai penerima suap.

Adapun ketiga saksi itu mantan Kepala Basarnas Marsdya Purn Henri Alfiandi; Hari Wibowo sopir Marilya selaku Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati; dan Erna Setiani, staf keuangan

Novi Pramita Rahmasari, kuasa hukum mantan Kepala Basarnas Henri Alfiandi, mengungkapkan dalam persidangan kali ini masih fokus dugaan suap proyek public safety diving dan alat pendeteksi pencari korban reruntuhan yang menyeret Henri Alfiandi dan Afri Budi Cahyanto. Perkara ini sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan oleh Oditur Militer.

"Saat ini sudah tidak relevan untuk terus membahas mengenai dugaan suap di Basarnas sebesar Rp88,9 miliar sebagaimana pemberitaan sebelumnya," kata Novi, usai persidangan di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Kamis malam (18/1/2024).

Sesuai dengan surat dakwaan yang disajikan oleh oditur militer, lanjut Novi, dugaan suap yang terjadi di Basarnas senilai Rp7,8 miliar.

Novi menjelaskan sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan Afri Budi Cahyanto, dugaan suap yang menyeret Kepala Basarnas kala itu ditujukan untuk Dana Komando (Dako) yang peruntukannya untuk kepentingan Basarnas.

"Sebetulnya itu dinamakan dana partisipasi oleh Pak Roni Aidil dan Mulsunadi Gunawan. Dana partisipasi itu betul diberikan kepada Basarnas untuk development institusi. Kegiatan-kegiatan ini yang tidak bisa di-cover oleh APBN," kata dia.

2 dari 3 halaman

Pengadaan ROV

Dalam kesaksiannya, Henri Alfiandi juga menyampaikan bahwa penerimaan dana partisipasi tidak mempengaruhi proses pengadaan barang dan jasa.

Dalam kasus dugaan suap proyek pengadaan barang di Basarnas, lanjut Novi, KPK menyebut terjadi persekongkolan antara pejabat di dalam instansi dengan perusahaan peserta lelang sebelum tender dibuka.

"Tadi hakim juga menanyakan seolah-olah Pak Henri membatalkan kontrak atau mengganti orang sebagai mitra usai bertemu Pak Roni, sehingga dianggap konspirasi. Padahal pemenang tender masih sama yaitu PT Sahabat Inovasi, barangnya juga tidak diganti karena memang itu tidak boleh," kata dia.

Pada perkara ini, pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (Multiyears 2023-2024) dengan nilai kontrak sebesar Rp89,9 miliar. Fakta yang disampaikan Henri, kontrak ini baru berjalan pada tahap pertama yaitu mempersiapkan alat derek di kapal Ganesha, belum pada alat utamanya yaitu robotik RoV.

Hal ini dilakukan secara bertahap karena kurangnya anggaran. Oleh sebab itu dilakukan multiyears agar peralatan yang sangat dibutuhkan bisa segera dimiliki Basarnas. Dan dinyatakan pula pihak mitra kerja tidak pernah memberikan dana kepada Basarnas.

Kemudian pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp9,9 miliar. Saksi menyebut Basarnas justeru diuntungkan dengan adanya pengadaan barang dan jasa yang dilakukan Mulsunadi, yang semula kontrak proyek dilakukan oleh William dari PT. Inovasi Pertahanan senilai Rp 9,9 miliar.

"Dari William hanya mendapat 1 set peralatan, setelah di ambil alih oleh Mulsunadi (PT Sejati Grup) ditemukan fakta bahwa Basarnas justeru menerima peralatan deteksi reruntuhan sebanyak 2 set dengan nilai kontrak yang sama. Artinya kontrak awal yang dilakukan kelebihan harga Rp 3 miliar," terangnya.

3 dari 3 halaman

Kontrak Pengadaan Diilakukan per Tahun, Mulai 2021 Sampai 2023

Kontrak pengadaan alat deteksi dilakukan per tahun mulai dari 2021-2023, Basarnas hingga akhir 2023 menerima 7 set dan bila tetap menggunakan PT Inovasi pertahanan (William) hanya mendapatkan 3 set saja. Dengan demikian dapat disimpulkan negara justru dapat menghemat kurang lebih Rp35 milliar.

Perubahan dari PT Inovasi ke PT Sejati dilakukan karena ketidakmampuan PT Inovasi mendapatkan surat lisensi penunjukan dari pabrikan. Hal tersebut lantaran waktu kontrak pengadaan hanya dua bulan dan dana pembelian alat deteksi ini didapat dari penghematan BBM kapal, di mana peralihan belanja modal ke belanja barang harus seijin Menteri Keuangan yang terealisasi pada 1 November 2021.

Sementara itu, peraturan di Basarnas bahwa nilai kontrak diatas Rp100 miliar merupakan wewenang (PA) KaBasarnas sedangkan dibawah itu merupakan wewenang KPA dan PPK.

"Karena nilai kontrak yang menjadi perkara di bawah Rp100 miliar, maka bukan kewenangan Pak Henri. Artinya, Pak Henri tidak menggunakan kewenangannya memenangkan tender. Beliau hanya mendapat laporan ada proyek tersebut dan melakukan pengawasan," pungkasnya.

Sebelumnya, Kepala Basarnas, Marsekal Madya Henri Alfiandi, diduga menerima suap senilai Rp88,9 miliar agar memenangkan perusahaan tertentu dalam tender proyek tahun 2021-2023.

Selain menetapkan Kepala Basarnas sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan barang di Badan SAR Nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyeret empat orang lainnya.

Mereka adalah anak buah Henri Alfian yang merupakan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto, sebagai penerima suap.

Kemudian Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil sebagai pemberi suap. (Achmad Sudarno)

Â