Liputan6.com, Jakarta - Di tengah proses pemilu yang belum rampung, Presiden Jokowi bertemu Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Istana, Minggu malam (18/2/2024). Dalam pertemuan itu, banyak yang dibahas termasuk persoalan politik.
Pertemuan Jokowi dengan Surya Paloh pun memunculkan spekulasi. Terlebih, ketika Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan fungsionaris PKS mengonfirmasi bahwa manuver Paloh itu tidak atas sepengetahuan partai-partai Koalisi Perubahan lainnya.
Baca Juga
"Karena itu, wajar kalau saat ini santer gonjang-ganjing di internal Koalisi Perubahan yang mulai gusar karena khawatir merasa akan dikhianati. Mulai muncul pertanyaan-pertanyaan di internal PKS dan PKB tentang komitmen spirit perubahan dalam diri Paloh dan Nasdem," kata Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC) Ahmad Khoirul Umam kepada wartawan, Senin (19/2/2024).
Advertisement
"Selain itu, manuver Paloh ini seolah membenarkan penyataan Capres Nomor Urut 1 Anies Baswedan dalam debat Capres pertama, yang pernah menyatakan banyak pemimpin politik yang tidak tahan menjadi oposisi, karena membuat mereka tidak bisa berbisnis," Ia menambahkan.
Umam mengungkapkan, manuver Paloh ini tampaknya memanfaatkan momentum pasca statemen Capres terpilih Prabowo Subianto, yang menyatakan siap merangkul semua pihak di Kubu 01 dan 03 untuk memperkuat pemerintahannya. Terlebih, realitas Pilpres 2024 tidak menghadirkan coat-tail effect sama sekali, dimana partainya Capres harus berpuas diri di peringkat ketiga dengan elektabilitas 13 persen.
"Konsekuensinya, Prabowo akan memiliki tingkat ketergantungan politik (political dependency) yang sangat tinggi untuk menjaga stabilitas politik dan pemerintahannya di fase transisi awal kekuasaan yang seringkali penuh turbulensi. Untuk mengamankan itu, Prabowo setidaknya harus bisa mengumpulkan sekitar 70 persen kekuatan politik di parlemen," ujar dia.
Momen Emas Partai Menengah Putar Haluan
Kesempatan ini menurutnya, seolah menjadi peluang emas bagi partai-partai menengah dan mediocre untuk putar balik dari koalisi lama, dengan membelot pada kubu pemenang. Sebab, partai-partai kelas tengah cenderung tidak siap berhadap-hadapan dengan kekuasaan.
"Mereka juga tampaknya tidak siap untuk menanggung risiko dan konsekuensi ekonomi-politik dan stabilitas internal partainya, ketika mereka harus berpuasa dari kekuasaan," ujar dia.
Problemnya, kata Dosen Ilmu Politik & International Studies Universitas Paramadina ini, keputusan untuk bergabung dengan kekuasaan ini merupakan ujian riil terhadap konsistensi atau keistiqomahan partai-partai politik itu terhadap gerakan perubahan dan narasi kritis yang mereka usung selama kampanye jelang Pemilu 2024 lalu.
"Dimana, baik kubu 01 maupun kubu 03 sangat intens menyerang kubu 02 dan pemerintahan Jokowi sebagai kekuasaan yang merendahkan etika dan konstitusi, tidak memegang moralitas berdemokrasi, hingga dituding mirip dengan karakter kekuasaan yang otokratik. Artinya, jika akhirnya mereka memilih bergabung dengan kekuasaan, maka mereka sejatinya tengah menjilat ludah sendiri, dan menipu rakyat yang memilih partainya setelah terbuai oleh janji-janji perubahan dan narasi kritis kontra-pemerintah yang mereka munculkan," terang Umam.
"Rakyat bisa menuding, narasi kritis dan narasi perubahan yang selama ini mereka kampanyekan ternyata hanya gimmick murahan. Sehingga wajar jika rakyat akan bertanya, siapa yang sesungguhnya tidak beretika?" Ia menambahkan.
Advertisement
Prabowo Hanya Petugas Jokowi?
Selain itu, Pertemuan Paloh dengan Jokowi juga memunculkan pertanyaan lanjutan. Jika Nasdem hendak masuk ke pemerintahan yang semula dituding tidak demokratis dan tidak beretika itu, lalu mengapa deal politiknya dilakukan dengan Jokowi? Sementara dalam sistem presidensial, kekausaan tertinggi seharusnya berada di tangan Prabowo sebagai Capres terpilih selanjutnya.
"Apakah hal itu menegaskan bahwa Prabowo hanya “petugas Jokowi”? Apakah Prabowo atau Jokowi yang memiliki hak veto politik dalam menentukan komposisi dan jatah Menteri dalam pemerintahan selanjutnya? Ataukah ini semua merupakan tanda-tanda lahirnya akar kontestasi baru bagi hadirnya “matahari kembar” di internal Koalisi Indonesia Maju, yang masing-masing pihak merasa memiliki “saham politik” lebih tinggi dibanding yang lainnya? Bisa kita uji dan cermati melalui dinamika pasca 20 Oktober 2024 akan menentukan," dia mengungkapkan.
Nasdem Dikabarkan Merapat ke Pemerintahan
Umam mengungkapkan, menurut informasi spekulatif, Nasdem dikabarkan positif akan masuk ke pemerintahan setelah mengeruk cerug massa pro-perubahan yang menentang pemerintahan. Lalu, lingkaran istana dan Prabowo sendiri juga sedang mengusahakan pendekatan untuk meyakinkan PDIP bersedia ikut mem-back up pemerintahan Prabowo ke depan, sebagaimana PDIP dulu mempersilakan Prabowo masuk ke kekuasaan pasca kekalahannya dari Jokowi di Pilpres 2019.
Sementara itu, PPP jelas tidak kuat bertahan dari luar kekuasaan dan akan terus mencari jalan untuk bergabung. Sementara jika PKS dan PKB bergabung, tampaknya agak problematik di fase awal. Sebab, PKS tergolong paling kuat menyerang pemerintahan Jokowi, sedangkan PKB sendiri intens menggunakan “slepet”-nya untuk menghantam kredibilitas pemerintahan dan Jokowi secara personal.
"Namun, semua itu akan bergantung pada basis kebutuhan penciptaan stabilitas politik dan pemerintahan di fase awal transisi kekuasaan Prabowo ke depan," dia menandaskan.
Advertisement