Sukses

Bawaslu dan MK Disebut Tempat untuk Menyelesaikan Sengketa Pemilu, Bukan di DPR

Akademisi Universitas Bung Karno, Faisal Chaniago mengatakan, hak angket berfungsi untuk mengawasi kinerja eksekutif dan lembaga terkait. Sehingga tidak tepat jika dijadikan upaya untuk menggagalkan Pemilu.

Liputan6.com, Jakarta Akademisi Universitas Bung Karno, Faisal Chaniago mengatakan, hak angket berfungsi untuk mengawasi kinerja eksekutif dan lembaga terkait. Sehingga tidak tepat jika dijadikan upaya untuk menggagalkan Pemilu.

"Hak angket berfungsi untuk mengawasi eksekutif dan lembaga terkait lain. Tidak bisa menggagalkan hasil Pemilu. Ranah hukum kecurangan Pemilu ada di Bawaslu dan MK," kata Faisal dalam keterangannya, Jumat (23/2/2024).

Dia menjelaskan, apabila laporan sudah diterima Bawaslu, maka akan dilakukan penyelidikan. Jika kemudian ditemukan kecurangan, maka nantinya Bawaslu yang akan menentukan. Mulai dari Pemungutan Suara Ulang hingga Pemungutan Suara Lanjutan.

"Soal keputusan kemenangan ada pada MK. MK yang punya domain soal ini," ungkap Faisal.

Sebelumnya, pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, untuk mengatasi ketidakpuasaan akan Pemilu 2024, maka bukan dengan menggunakan hak angket, melainkan dibawa ke Mahkamah Kostitusi.

"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam Pemilu, dalam hal ini Pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak. Karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil Pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," kata dia dalam keterangannya, Kamis (22/2/2024).

Yusril menerangkan, berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945 dengan jelas menyatakan, salah satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini Pilpres pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Cara Efektif

Dia pun mengungkapkan, UUD 1945 jelas telalah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu, yakni melalui badan peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi.

Hal ini dimaksudkan agar perselisihan itu segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan agar tidak menimbulkan kevakuman kekuasaan jika pelantikan Presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.

"Oleh karena itu saya berpendapat, jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan Pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan,” jelasnya.

“Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil Pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi, atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," tegas Yusril.

 

3 dari 3 halaman

Menciptakan Kepastian Hukum

Putusan MK dalam mengadili sengketa Pilpres akan menciptakan kepastian hukum.

Sementara penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian, yang potensial berujung kepada chaos yang harus kita hindari.

"Kalau niatnya mau memakzulkan Jokowi, hal itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran. Proses pemakzulan itu memakan waktu relatif panjang, dimulai dengan angket seperti mereka rencanakan dan diakhiri dengan pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 45," tandas Yusril.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.