Liputan6.com, Jakarta Masih terekam jelas diingatan Raditya Kusuma Wardhana bagaimana perjuangannya untuk proses penerimaan diri saat divonis dokter terinfeksi HIV pada 2007. Sebenarnya awal tahun 2000-an dia tengah berusaha berhenti dari ketergantungan obat-obatan terlarang.Â
Dia memang pernah menjadi pecandu narkoba yang menggunakan suntikan saat tahun 1990-an. Saat proses melepaskan diri dari obat-obatan terlarang, dia beberapa kali mencari info mengenai HIV yang saat itu masih sangat minim.Â
Baca Juga
September 2007, pertama kali Radit ditemani sang kakak mencoba memeriksa diri di salah satu RS di Jakarta Selatan. Kondisinya memang cukup memprihatinkan. Mulai dari berat badannya yang turun drastis sampai 40 kg, diare, badan mulai terinfeksi jamur, cepat lelah, hingga dada terasa sesak.
Advertisement
Usai melakukan sejumlah pemeriksaan, Radit yang saat itu berusia 23 tahun didiagnosis sejumlah penyakit. Dari Hepatitis C, toksoplasma di saraf, sarkoma, hingga TBC paru. Radit pun direkomendasikan untuk mendapatkan rujukan di RS Fatmawati untuk melakukan tes HIV dan dinyatakan positif.Â
"Saya dirawat sampai 1,5 bulan karena penyakit penyertanya. Banyak dokter penanggungjawabnya, dokter paru, saraf, mata, ada banyak macam," kata Radit kepada Liputan6.com.
Saat divonis dokter sebenarnya Radit tidak kaget. Namun sisi lain ada rasa tidak terima. Pikirannya buyar seketika. Dukungan penuh sang ibu menjadikan Radit mulai bangkit dan menjalani perawatan.Â
"Saya ngeliat ibu tidak jatuh dalam artian fisiknya maupun mentalnya, mengetahui anaknya terkena virus HIV. Itu juga yang buat jadi saya semangat untuk menjalani pengobatan sampai saat ini," ucapnya.
Selama setahun dia melakukan pemulihan di rumah atau rawat jalan hingga dia dapat bertahan hidup. Penyakit penyertanya pun sembuh. Aktivitas nya pun tidak perlu menggunakan tongkat. Sampai akhirnya dia dapat mengambil obat ARV dan kontrol sendiri ke RS.Â
Proses itu yang akhirnya memulihkan kembali rasa percaya dirinya. Bahkan dia mulai berani membuka statusnya sebagai ODHA. Alasan Radit terbuka dengan lingkungan terdekat yakni untuk menunjukkan bahwa berobat dan minum obat secara rutin virus HIV tidak akan membahayakan orang lain.Â
Mengabdi Sebagai RelawanÂ
Bahkan masih dapat beraktivitas layaknya orang sehat. Perawakan yang tinggi besar kerap membuat banyak orang tidak mengira dirinya merupakan ODHA. Banyaknya ODHA yang menutup diri hingga putus asa menjadi alasan Radit untuk tergerak dan berkecimpung sebagai relawan HIV/AIDS.Â
Dia pun memberanikan diri untuk membantu salah satu dokter yang menangani HIV/AIDS di RS Fatmawati dengan memberikan semangat kepada para ODHA. Selama 17 tahun terdiagnosis, Radit selalu bersyukur tidak pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif ataupun stigma buruk dari orang lain ketika mengetahui statusnya sebagai ODHA.Â
"Ketakutan memang ada tapi sekarang kan informasi udah banyak, satu dua ada stigma dikucilkan. Dengan buka status minimal keluarga utama itu pemulihan awal diluar pengobatan," ujar dia.
Radit pun selalu berpesan kepada para ODHA. Berobat adalah hal penting ketika positif HIV. Kemudian minum obat secara rutin.
"Ini adalah waktu follow up dan juga minum obat. Tapi karena bosan serta boring karena apa pun putus obatnya, justru itu yang menularkannya lebih parah ke orang. Gua aja 17 tahun enggak pernah sebulan, bahkan seminggu pun enggak minum obat itu enggak pernah," jelas dia.
Ada Peningkatan Jumlah Kasus Baru HIV Untuk Laki-laki
Sementara itu, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kasus HIV/AIDS di Indonesia pada 2023 mencapai 515.455 orang. Sedangkan kasus baru HIV di Indonesia pada 2023 mencapai 57.299 orang.Â
Untuk proporsi penemuan kasus cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyebut bahwa berdasarkan tren temuan kasus HIV dalam lima tahun terakhir ODHIV angka kasus pada laki-laki lebih dari dua kali lipat dibandingkan perempuan.
"Pada tahun 2023 kasus ODHIV laki-laki mencapai 38.527 orang atau 74 persen dari jumlah keseluruhan. Kemudian jumlah kasus untuk perempuan 13.502 orang atau 26 persen," kata Nadia kepada Liputan6.com.
Selanjutnya kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2023 banyak berdasarkan kelompok umur paling tinggi ditemukaan pada usia produktif 25-49 tahun. Sedangkan paling rendah dari kelompok usia bayi dan anak.
"Untuk usia produktif mencapai 70,1 persen dari kasus keseluruhan temuan pada 2023. Disusul usia 20-24 tahun sebanyak 16 persen," papar Nadia.
Advertisement