Liputan6.com, Beijing - Sejak memasuki era milenial, China mengalami ledakan kemajuan kereta bawah tanahnya. Sebelumnya, di masa rezim komunis, Tiongkok hanya berhasil menyelesaikan dua jalur kereta bawah tanah, dan beberapa jalur dibangun lagi di masa Deng Xiaoping.
Pembangunan kereta bawah tanah yang tidak terlalu signifikan ini berakhir ketika Tiongkok menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 2008.
Baca Juga
China langsung membangun lima jalur baru pada tahun 2008, dan sudah membuka delapan jalur lagi sejak Olimpiade musim panas. Selusin jalur dan perluasannya dijadwalkan akan dibuka di ibu kota pada tahun 2015. Jika dibandingkan dengan Tiongkok di masa komunis, perbedaan pembangunannya sungguh jauh.
Advertisement
Bahkan, kota-kota kecil Tiongkok juga ikut berlomba-lomba untuk membuka jalur kereta bawah tanah pertamanya masing-masing. Seperti sebuah kota dengan penduduk 3,2 juta jiwa, yaitu Kunming di Provinsi Yunnan, yang membuka jalur pertamanya. Jalur pertama di kota Kunming ini diberi nama “Jalur 6”, sebuah nama yang sangat optimis.
Tetapi, kemajuan pembangunan ini juga sempat tergoyahkan di tahun 2011, tepat ketika perekonomian Tiongkok terpuruk. Pada awal januari 2012, dikutip dari Bloomberg, Wakil Direktur Kantor Perencanaan Transit Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional, mengatakan bahwa 70 hingga 80 persen rencana jalur angkutan cepat Tiongkok sedang ditunda.
Tak hanya penundaan, kereta bawah tanah Tiongkok juga sempat mengalami kebangkrutan. Bos perusahaan Metro Shanghai, Ying Minghong, mengatakan bahwa dari sebelas jalur yang ada hanya ada satu jalur yang menghasilkan keuntungan operasional. Yang Di, manajer di perusahaan induk Shanghai Metro memberikan pernyataan bahwa, mengetahui skala kerugian mereka adalah hal yang tidak mungkin.
Manajer Umum di sebuah perusahaan konsultan kereta bawah tanah Beijing, Jin Yongxiang, memperkirakan tanggungan proyek kereta bawah tanah secara nasional bisa mencapai lebih dari 1 triliun yuan, atau US$158 miliar. Hal ini merupakan beban utang yang besar.
Tetapi bagi negara Barat, angka US$158 miliar tidak terlalu memalukan, ini dikarenakan angkutan cepat di Amerika dan Eropa jarang yang menghasilkan keuntungan lebih dari 50 persen biaya operasional. Bahkan, jalur baru yang dibangun pun harus dibangun dengan pemikiran bahwa sistem tersebut memerlukan subsidi untuk beroperasi.
Tetapi, di negara-negara berkembang yang memiliki sistem transportasi yang baik, keuntungan diharapkan dapat menutupi biaya operasional. Seperti halnya di Hong Kong dan Singapura, mereka memiliki jaringan kereta api yang menguntungkan. Salah satu saingan terbesar Tiongkok, Jepang, telah lama memiliki sistem kereta api pinggiran kota swasta yang menguntungkan. Bahkan kereta bawah tanah utama milik pemerintahnya juga sudah dapat membukukan keuntungan.
Dalam hal harga, Metro Beijing mungkin adalah transportasi yang memiliki harga tiket paling rendah, hingga dapat memperburuk masalah keuangan bagi metro. Harga tiket untuk semua perjalanan hanya berkisar 2 yuan, atau 30 sen. Akibatnya, Metro Hangzhou mempertimbangkan tarif baru, yaitu dengan tarif tertinggi berkisar antara 8 hingga 9 yuan.
Tak hanya masalah harga tiket yang rendah, kereta bawah tanah Tiongkok juga memiliki harga yang tidak jauh lebih rendah daripada Seoul, padahal upah kerja Seoul jauh lebih tinggi. Harga per kilometernya adalah 500 juta yuan, atau sekitar US$80 juta.
Dilansir dari Caixing Global, faktor lain yang membuat pemerintah Tiongkok lebih memilih metro (kereta bawah tanah) adalah untuk menyisakan lahan permukaan sebanyak mungkin untuk dimanfaatkan. Padahal, kereta bawah tanah lebih mahal daripada kereta api layang atau sebidang.
Sebagai solusi dari keterpurukan ekonomi dan melambatnya pembangunan, pemerintah pusat menggunakan trem sebagai alternatif yang lebih murah untuk kota-kota yang tidak mampu membangun kereta bawah tanah.