Sukses

1 Dekade Sejak AS Gulingkan Saddam Hussein, Kini Amerika Serikat Tarik Pasukannya dari Irak

Sudah lebih dari satu dekade sejak Amerika menggulingkan Saddam Hussein, hingga pada akhirnya AS menarik pasukannya.

Liputan6.com, Baghdad - Sudah lebih dari satu dekade sejak Amerika Serikat menggulingkan Saddam Hussein, hingga pada akhirnya AS menarik pasukannya. Tetapi, cerita-cerita dan beberapa konflik setelahnya masih terasa hingga kini.

Selama perang, hampir 4.500 tentara AS dan sekitar 120.000 warga sipil Irak kehilangan nyawanya. Bahkan, sebuah penelitian baru mengatakan, jumlah sebenarnya warga Irak yang tewas bisa mencapai 500.000 orang.

Hingga kini, pemerintah Irak belum sepenuhnya pulih, bahkan hingga setelah pemilu pada April lalu. Irak juga masih menghadapi konflik dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), beberapa kota telah diambil alih oleh ISIS, Fallujah, Ramadi, Mosul, dan Tikrit.

Ketika AS menyerang Irak, ada beberapa kelompok yang membuat pergerakan Amerika melambat. Bahkan kelompok-kelompok ini hingga kini masih eksis dan menciptakan konflik-konflik baru. Berikut adalah kelompok-kelompok yang menahan pergerakan Amerika di Irak.

Saddam Hussein tidak berdiam diri saja ketika Irak diinvasi oleh pasukan koalisi pada Maret 2003. Saddam Hussein memiliki 300.000 hingga 350.000 tentara untuk melawan. Walaupun begitu, tentara Irak dan Saddam Hussein tetap mengalami kekalahan. Setelah Saddam Hussein berhasil digulingkan, George W. Bush menunjuk L. Paul Bremer sebagai administrator sipil tertinggi Irak.

Beberapa hari setelah pengangkatannya, Bremer mengeluarkan Perintah Nomor 2, yaitu sebuah perintah untuk membubarkan seluruh tentara Irak, tentara yang sebagian besarnya adalah Sunni. Kebijakan ini mengejutkan pihak militer dan juga para komandan AS. Bremer melakukan hal ini dengan beralasan agar keamanan semakin terjaga.

Akibatnya, AS menghabiskan sekitar $25 miliar untuk pelatihan dan peralatan pasukan keamanan Irak yang baru, ini dilakukan antara tahun 2003 hingga September 2012. Walaupun demikian, pada bulan Juni lalu pasukan Irak didikan AS ini mengalami kekalahan di Mosul ketika menghadapi pasukan ISIS dan sekutunya yang lebih kecil, pasukan yang dihadapi hanya sekitar 1000 orang. Pasukan Irak didikan AS mundur secara tergesa-gesa dan bahkan membuang senjatanya.

Hal ini terjadi akibat pasukan keamanan Irak yang baru kurang integrasi dan kurang loyal, mereka terbagi berdasarkan beberapa kubu pemerintahan Irak. Parahnya lagi, Perdana Menteri Nouri al-Maliki membuat struktur kesatuan komando semakin terpecah, ia membentuk kelompok-kelompok baru yang langsung melapor kepadanya. Bahkan, Maliki juga membentuk pasukan pribadi yang terdiri dari 4.500 pasukan khusus yang sudah dilatih AS, pasukan tersebut bernama Fedayeen al-Maliki.

Setelah Mosul jatuh ke tangan ISIS, para tentara Irak merasa dikhianati dan ditinggalkan oleh para perwira mereka. Laporan terbaru dari Irak, para milisi Syiah yang dahulu pernah mengangkat senjata untuk melawan Amerika kini bergabung untuk menambahkan kekuatan tentara Irak yang didominasi oleh Syiah. Bahkan dalam beberapa kasus, mereka berperang sebagai penggantinya.Al Qaeda di IrakPemberontakan milisi Irak mulai terjadi pada bulan Agustus 2003. Kedutaan Yordania di Baghdad menjadi target pemboman, disusul dengan beberapa hari kemudian dengan bom bunuh diri di kompleks PBB hingga menewaskan utusan utama PBB di Irak. Seorang ekstremis Sunni, Abu-Musab al-Zarqawi, mengaku bertanggung jawab atas serangan-serangan ini. Hingga setahun kemudian, pada bulan Oktober 2004, kelompok al-Zarqawi bergabung dengan Al Qaeda.

Awalnya, Al Qaeda terdiri dari rekrutan orang-orang Afghanistan, Pakistan, hingga Mesir. Baru pada tahun 2006, keanggotaan para kelompok tersebut sebagian berasal dari Irak. Al Qaeda juga yang merubah perang Irak-Amerika menjadi perang saudara, hingga mencapai puncaknya pada tahun 2006-2007.

Kelompok Al Qaeda dikabarkan juga sangat brutal, memenggal kepala, menculik, dan sebagainya. Hingga pada akhirnya, sikap keras Al Qaeda membuat beberapa suku Sunni muak dan bersekutu dengan Amerika, mereka yang bergabung ini disebut dengan Putra Irak.

Pada tanggal 7 Juni 2006, Zarqawi berhasil terbunuh akibat serangan udara AS. Abu Ayyub al-Masri menggantikan kepemimpinan Zarqawi. Masri mengganti nama Al Qaeda menjadi Negara Islam Irak pada bulan Oktober 2006. Tetapi Masri dan pemimpin penting lainnya terbunuh pada bulan April 2010.

Melihat adanya kesempatan masuk ke Suriah, kelompok ini memulai konflik Suriah pada tahun 2011. Dengan masuknya kelompok ini ke Suriah, mereka mengganti nama lagi menjadi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Ryan Crocker, mantan Duta Besar AS untuk Irak berpendapat

“Kali ini Al Qaeda versi 6.0. Mereka menjadikan Al Qaeda di tahun 2011 milik (Osama) bin Laden terlihat seperti Pramuka. Mereka memiliki ribuan orang yang memegang paspor asing dan tidak memerlukan Visa untuk masuk ke AS atau negara-negara barat lainnya. Mereka memiliki dana yang cukup, mereka tangguh dalam pertempuran dan mereka dipersenjatai dengan baik.” Ujar Crocker.

Pada bulan Juli 2014, ISIS mendeklarasikan negara kekhilafahan di wilayah-wilayah yang direbutnya dari Irak dan Suriah.Bangkitnya Sunni atau Putra IrakGerakan Putra Irak dimulai ketika para penduduk Sunni di Anbar merasa Al Qaeda (ISIS) sudah berbuat keterlaluan. Beberapa di antara anggota Putra Irak adalah para pemberontak yang pernah melawan pasukan AS. Jenderal Petraeus, pemimpin pasukan AS di Irak berpendapat bahwa Al Qaeda sudah melakukan kekerasan, seperti meledakkan masjid-masjid Sunni dan Syiah. Karena hal ini mereka (Putra Irak) sangat ingin mengusir Al Qaeda keluar dari wilayah mereka.

Jenderal Petraeus memanfaatkan momen ini dengan merekrut Putra Irak untuk menumpas Al Qaeda. Petraeus juga menjanjikan peran strategis di dalam pemerintahan kepada para kelompok Sunni tersebut. Petraeus menghabiskan dana hingga $400 juta untuk kelompok paramiliter Putra Irak.

Lain halnya dengan Petraeus, Perdana Menteri Maliki tidak pernah merasa aman dengan Putra Irak. Hingga pada akhirnya ketika pasukan AS menarik diri dari Irak, Maliki berhenti mendanai pasukan tersebut. Tak hanya pemberhentian dana, Maliki dituding selalu menargetkan politisi Sunni dan menindak pengunjuk rasa Sunni, hal ini membuat Putra Irak murka.Muqtada al-Sadr dan Tentara MahdiMuqtada al-Sadr adalah seorang ulama Syiah dan wajah milisi Syiah dari tentara Mahdi. Ia mendapatkan kekuasaan tersebut dari ayahnya yang juga seorang ulama Syiah yang sangat dihormati. Sadr membentuk pasukan Mahdi bertujuan untuk mengusir pasukan koalisi AS dari Irak.

Meskipun Sadr tidak memegang jabatan politik tertentu di pemerintahan Irak, ia tetap dianggap sebagai pemimpin yang besar akibat dukungan terhadapnya yang banyak. Hubungan Sadr dengan Perdana Menteri Maliki tidak terlalu baik. Mahdi, tentara yang dipimpin Sadr sudah berulang kali bentrok dengan pasukan keamanan AS dan Irak. Bentrokan ini bermula pada bulan Agustus 2004 di Najaf.

Hingga pada tahun 2006, tentara Mahdi menyerbu masjid-masjid, hingga mengusir para ulama moderat. Milisi Sadr juga dituduh membantai warga sipil Sunni selama puncak kekerasan antara tahun 2006 dan 2007. Hingga pada 2007, Maliki menjalankan pengasingan di Iran. Namun Sadr berkata kepergiannya dari Irak adalah untuk melanjutkan studi agamanya.

Pada Maret 2008, pasukan keamanan Irak bergerak melawan tentara Mahdi. Maliki meluncurkan kampanye militer untuk mengusir milisi Mahdi untuk keluar dari pertahanannya di Basra dan Kota Sadr.

“Pada hari Amerika meninggalkan (Irak), milisi Sadrist kurang lebih mempersiapkan senjata mereka, dan kami belum mendengar kabar apa pun dari mereka hingga saat ini,” kata Ollivant sebagai Dewan Keamanan Nasional.

Sadr kembali ke Irak pada tahun 2011, ketika Amerika mundur, Sadr mendapatkan keuntungan politik. Partainya mendapatkan 40 kursi di Parlemen Irak, dan tujuh posisi di Kementrian. Tetapi, pada tahun 2014 Sadr mengumumkan menarik diri dari politik. Para pengamat mengatakan Sadr sudah pernah membuat pernyataan serupa, namun ia kembali lagi.Ayatollah Agung Ali al-SistaniTak hanya Sadr, Ayatollah Agung Ali al-Sistani juga dikenal sebagai ulama Syiah yang berpengaruh di Irak. Ia selalu digambarkan sebagai seorang ulama yang menghindari sorotan. Sistani selalu ingin mewujudkan ketenangan dan perdamaian di Irak. Salah satunya adalah seperti pada tahun 2003, Sistani menentang AS untuk melakukan peralihan kekuasaan Irak dengan cara pemilihan langsung.

Sistani selalu menginginkan dan mengatakan, bahwa Konstitusi Irak harus dibuat oleh majelis yang dipilih langsung oleh rakyat Irak, bukan ditunjuk. Bahkan, Sistani juga bersikap toleran terhadap AS, menahan diri untuk tidak mengkritik pendudukan tersebut. Pada tahun 2004, Sistani membantu perundingan gencatan senjata antara tentara Mahdi pimpinan Sadr, pasukan AS, dan tentara Irak yang bertempur di Najaf.

Ketika Mosul jatuh ke tangan ISIS, Sistani menyerukan para pengikut Syiah untuk mengangkat senjata dan membela negara, warga, dan tempat-tempat suci dari ISIS. Seruan ini kemudian disesuaikan menjadi untuk general, tidak hanya untuk Syiah saja. Pada bulan yang sama, Sistani menyerukan pembentukan pemerintahan “dukungan Nasional,”. Ungkapan ini ditafsirkan oleh banyak orang sebagai teguran terhadap politik sektarian (anggota kelompok) Perdana Menteri Maliki.

Tanggal 25 Juni, secara tidak langsung Sistani meminta Maliki untuk mundur dari jabatannya. Sistani juga berujar bahwa para pemimpin politik tidak boleh berpegang teguh pada posisi atau jabatannya, dan harus memiliki semangat tanggung jawab nasional.Tariq al- HashimiTariq al-Hashimi adalah salah satu dari dua wakil Presiden Irak tahun 2006, ia juga merupakan politisi Sunni paling senior di dalam pemerintahan Maliki. Hashimi juga tidak terlepas dari konflik Irak, sehari setelah pasukan terakhir AS meninggalkan Irak, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat perintah penangkapan Hashimi.

Hashimi dituduh memiliki hubungan dengan pemboman dan pembunuhan yang terjadi pada tahun 2006 dan 2007. Bahkan, para pengawal Hashimi juga dituduh terlibat dalam pembunuhan yang ditargetkan pada para pejabat Irak. Hashimi melarikan diri sehari sebelum surat penangkapan dikeluarkan. Hashimi melarikan diri ke Irak, lalu berangkat ke Turki pada tahun 2012. Ia diadili secara absensia (tidak dihadiri terdakwa) dan dijatuhi hukuman mati pada 10 September 2012.

Hashimi menyangkal tuduhan ini dengan mengatakan bahwa tuduhan terhadapnya bermotif politik, ia menyalahkan Maliki. Bahkan, beberapa bulan sebelumnya, menjelang surat perintah penangkapan diterbitkan, ratusan mantan anggota Baath, oposisi politik, dan kritikus ditangkap oleh pasukan keamanan Irak.

Video Terkini