Liputan6.com, Jakarta - Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pengisian jabatan ASN dari TNI/Polri justru bertentangan dengan agenda demokrasi. Aturan dalam UU ASN ini justru berpotensi mengembalikan peran dwifungsi ABRI seperti pada jaman orde baru.
Kepala Divisi Hukum KontraS, Andi Muhammad Rezaldy menilai pemerintah sedang membuka pintu seluas-luasnya bagi TNI/Polri untuk menempati posisi yang seharusnya ditempati masyarakat sipil.
"Hal ini jelas berbahaya bagi demokrasi karena dapat berpotensi kembali ke bayang-bayang peran dwifungsi ABRI," kata Andi kepada Liputan6.com di Jakarta.
Advertisement
Lebih baik kata Andi, pemerintah patuh dengan konstitusi di mana TNI dimandatkan hanya untuk mengurusi bidang pertahanan dan kepolisian ditugaskan untuk mengurusi keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan justru urusan sipil.
"Dampaknya tidak hanya bagi demokrasi, ini juga dapat berdamapak bagi ASN non TNI/Polri. Masuknya TNI/Polri ke struktural ASN tentu akan mengganggu jenjang karir ASN tersebut," ujarnya.
Sementara Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya menilai ditempatkannya anggota TNI/Polri menjadi ASN membuat dua institusi tersebut menjadi lembaga yang jauh dari profesionalitas. Selain itu, tidak ada kedaruratan yang signifikan sehingga mengharuskan ASN berasal dari TNI/Polri.
"Ditempatkannya TNI/Polri hanya akan memperparah situasi di tengah problematika kedua institusi yang masih menumpuk, khususnya berkaitan dengan kultur kekerasan," kata Dimas.
KontraS pun, kata Dimas, khawatir jika pendekatan keamanan dan pelibatan pasukan akan semakin masif dilakukan seiring dengan pelibatan TNI menjadi ASN di jabatan tertentu. Sebab dalam berbagai kasus-kasus seperti konflik lahan, pertambangan, dan kasus sumber daya alam lainnya, keterlibatan aparat justru seringkali berujung dengan kekerasan dan kriminalisasi sipil.
Selain itu, Pasal 47 ayat (2) UU TNI membatasi jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif. Sehingga ketentuan dalam Pasal 19 UU ASN tumpang tindih dengan peraturan lainnya khususnya yang mengatur soal TNI.
Adapun dalam Pasal 19 ayat (3) UU ASN disebutkan bahwa: Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang- Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Padahal pada UU TNI pasal 47 ayat (1) disebutkan bahwa: Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.”
"Pasal ini mensyaratkan seluruh perwira aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri dari dinas kemiliteran," kata Dimas.
Sementara dalam UU Polri pasal 28 ayat (3) juga disebutkan bahwa: Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
"Norma tersebut sangat jelas melarang anggota Polri yang statusnya masih aktif untuk mengambil tugas di luar urusan kepolisian. Seorang perwira harus mengundurkan diri terlebih dulu, baru dapat menerima tugas memegang tugas memimpin suatu daerah," lanjutnya.
Anggota TNI/Polri Hanya Untuk Jabatan Tertentu
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB) Abdullah Azwar Anas menyatakan pengisian jabatan ASN dari TNI/Polri hanya dapat dilakukan untuk jabatan tertentu.
"Sekali lagi pengisian jabatan ASN dari TNI dan Polri dapat dilakukan untuk jabatan tertentu pada instansi pusat tertentu," singkat Azwar, Rabu (13/3/2024).
Azwar memaparkan enam poin syarat pengisian jabatan ASN dari prajurit TNI dan anggota Polri. Pertama, hanya untuk jabatan ASN tertentu pada instansi pusat tertentu.
Kedua, prajurit TNI dan anggota Polri yang menduduki jabatan ASN pada instansi pusat tidak dapat beralih status menjadi ASN. Ketiga, pengisian jabatan ASN khusus bagi prajurit TNI dan anggota Polri yang merupakan talenta terbaik.
Keempat, harus memenuhi kualifikasi pendidikan, kompetensi, kepangkatan, pendidikan, dan pelatihan. Serta rekam jejak, jabatan yang relevan, kesehatan, integritas, dan persyaratan jabatan lain.
“Kelima, pangkat paling kurang setara dengan tingkatan jabatan ASN yang akan diduduki sesuai persetujuan menteri, serta berusia paling tinggi satu tahun sebelum batas usia pensiun TNI-Polri. Terakhir, dilakukan melalui mekanisme manajemen talenta apabila terdapat kebutuhan,” pungkas Azwar.
Dalam UU ASN sendiri disebutkan bahwa anggota TNI/Polri hanya bisa menduduki jabatan non manajerial.
Advertisement
Jangan Buka Kotak Pandora
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak poin terkait TNI/Porli bisa masuk ASN. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera pun menyinggung soal reformasi di tubuh TNI.
"Untuk TNI Polri karena reformasi kan sudah menggarisbawahi bahwa wajib ada kanal sendiri, tidak ada lagi dwifungsi, tapi masing-masing profesionalitas maka PKS menganggap TNI-Polri dan sipil dikelola dengan dua manajemen yang berbeda," kata Mardani di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (13/3/2024).
Meski akan ada aturan untuk mempersulit migrasi TNI/Polri menjadi ASN, Mardani mengingatkan agar pemerintah tidak membuka kotak pandora ala Orba.
"Pak Menteri sudah mengatakan akan dipersulit migrasi dari TNI-Polri ke ASN, perlu ada persyarakat khusus, tapi lebih baik jangan buka kotak pandora, sebaiknya TNI-Polri full urus TNI-Polri," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menyatakan, sebenarnya tak ada perbedaan aturan terkait TNI/Polri menjadi ASN.
"Sebenarnya kalau dalam perubahan UU yang baru ini, UU Nomor 20 Tahun 2023 ini, terkait masalah TNI-Polri itu tidak ada bedanya dengan UU No 5 Tahun 2014 itu. Jadi sebenarnya tidak ada yang berubah, jadi boleh TNI-Polri bisa masuk ke lingkungan ASN dengan batas-batas tertentu," kata Doli.
Doli menyebut tidak semua posisi ASN bisa diisi TNI/Polri. Ia mengklaim ada batasan-batasan sehingga tidak semua TNI/Polri bisa menjadi ASN.
"Hanya pada level tertentu, jadi enggak semua. Jadi pada hanya pada eselon I dan pemerintah pusat,jadi gak boleh di semua lingkungan apalagi di pemda, jadi memang ada batas-batas tertentu," kata dia.
"Karena apa? Karena memang ada di posisi-posisi di ASN yang memang memerlukan posisi bapak-ibu dari TNI-Polri, misalnya di lingkungan KemenkumHAM, Kemenhan, jadi memang ada institusi atau kementerian yang memang bisa membutuhkan fungsi mereka," Doli memungkasi.