Sukses

HEADLINE: RUU DKJ Atur Perluasan Kawasan Aglomerasi, Apa Untungnya untuk Warga Jakarta?

DPR bersama Pemerintah tengah mengebut pembahasan RUU DKJ setelah Jakarta kehilangan status DKI. RUU ini membahas terkait kawasan aglomerasi yang meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur).

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tengah mengebut pembahasan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). DPR dan Pemerintah juga telah menyepakati sejumlah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU DKJ, salah satunya terkait aglomerasi.

DIM nomor 31 dalam RUU DKJ berisi konsep aglomerasi untuk Jakarta serta wilayah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) setelah Jakarta tak lagi menjadi ibu kota.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mewakili pemerintah, menjelaskan definisi kawasan aglomerasi adalah kawasan yang saling terkait fungsional yang dihubungkan dengan prasarana yang terintegrasi. Namun, wilayah administrasi tetap berbeda atau otonom.

"Sekalipun beda dari sisi administrasi sebagai satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional berskala global," ujar Sekjen Kemendagri Suhajar Diantoro saat rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/3/2024).

Suhajar berharap RUU DKJ nantinya bisa menjelaskan secara detail terkait wilayah aglomerasi.

Adapun dalam draf RUU DKJ pada Pasal 51 ayat (2) berbunyi: Kawasan Aglomerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mencakup minimal wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.

Dalam draf RUU DKJ juga dibahas tentang Dewan Kawasan Aglomerasi yang bertugas untuk mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis nasional pada Kawasan Aglomerasi dan Dokumen Rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi. Selain itu juga mengoordinasikan, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan dalam rencana induk oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.

Disebutkan juga bahwa Dewan Kawasan Aglomerasi akan dipimpin oleh Wakil Presiden (Wapres) RI. Sementara ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Kawasan Aglomerasi akan diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).

Namun rumusan dalam RUU DKJ yang menyebut Dewan Kawasan Aglomerasi dipimpin oleh Wapres dianulir. Baleg DPR RI dan Pemerintah, dalam rapat panitia kerja (Panja) pembahasan DIM RUU DKJ, Kamis (14/3/2024) kemarin, menyetujui rumusan baru yakni agar ketua dan anggota Dewan Kawasan Aglomerasi ditunjuk oleh Presiden RI.

Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Kawasan Aglomerasi dan tata cara penunjukan ketua dan anggotanya tetap diatur dengan Perpres. "Jadi ditunjuk lewat keputusan presiden. Jadi artinya dia mau kasih ke wapresnya, mau kasih ke siapa, problem ketatanegaraan kita menjadi selesai," ujar Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas.

Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah tidak sepakat apabila Jakarta bergabung dengan wilayah penyangganya menjadi kawasan aglomerasi. Menurut dia, seharusnya wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang bergabung dengan Jakarta.

"Jakarta Otonom, Depok otonom ngapain aglomerasi. Selama ini yang diinginkan masyarakat Bekasi balik lagi ke Jakarta, Depok dan Bogor kembali ke Jakarta. Dan penyusunan RUU wilayah Jakarta diperluas dengan memasukkan wilayah itu," ujar Trubus kepada Liputan6.com, Jumat (15/3/2024).

Dia lebih sepakat dengan konsep megapolitan yang diusulkan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Kata Trubus, Megapolitan ala Bang Yos dipimpin oleh kementerian tersendiri.

"Sekarang jadi aneh kenapa Jakarta harus gabung ke Depok, Bogor. Apakah Jakarta harus menunggu pembangunan Depok atau Bogor? Kan Jakarta lebih dahulu maju daripada wilayah Aglomerasi," katanya.

Sementara itu, menurut Pengamat Perkotaan Nirwono Yoga, kawasan aglomerasi tidak digunakan dalam konteks perkotaan. Sama seperti Trubus, Jakarta dan sekitarnya lebih tepat menjadi kawasan metropolitan.

"Bappenas dalam Visi Indonesia Perkotaan 2045 telah menetapkan 10 kawasan metropolitan," ujar Nirwono kepada Liputan6.com, Jumat (15/3/2024).

Salah satu kawasan metropolitan yang digagas Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) adalah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur.

"Khusus Jakarta atau Jabodetabekjur yang melibatkan tiga provinsi dan sembilan kota/kabupaten sehingga lebih tepat masuk kategori kawasan megapolitan. Hal ini yang harusnya dijelaskan dalam draf RUU DKJ," kata Nirwono.

Sementara terkait Dewan Kawasan Aglomerasi, menurut Nirwono, keberadaannya justru berpotensi mengulang ketidakefektifan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur yang pernah ada. Kata dia, Dewan Aglomerasi tidak akan lebih baik dari BKSP.

"Perlu ada evaluasi mendalam lagi, seperti siapa yang bisa mengkoordinir dan berintegritas, memahami benar persoalan mendasar Jakarta dan sekitar, serta dulungan politik/otonomi daerah/kepentingan kepala daerah yang berbeda-beda parpol, manfaat dan keuntungan bersama seluruh warga Jabodetabekjur tidak terkotak-kotak berdasarkan KTP," ucap Nirwono.

Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna juga menyangsikan fungsi Dewan Aglomerasi hanya akan mengulang kasus BKSP. Menurut dia, keberadaan BKSP tidak efektif membangun Jabodetabek karena fungsinya hanya sebatas koordinasi, tanpa memiliki kewenangan otoritas dan anggaran.

"Nah dewan aglomerasi ini apakah menjalankan fungsi koordinasi? Kalau fungsi koordinasi tanpa ada fungsi eksekusi akhirnya akan tertunda-tunda lagi karena tidak tahu siapa yang akan melaksanakan semua masalah dan hasil keputusan yang didapat," ujar Yayat kepada Liputan6.com, Jumat (15/3/2024).

Dia juga mempertanyakan kekuatan ketua Dewan Aglomerasi sejauh mana bisa memerintahkan kepala daerah di Jabodetabekjur serta kementerian/lembaga terkait terhadap keputusannya, sekalipun wakil presiden yang akan memimpinnya nanti.

"Apakah bisa Dewan Aglomerasi ini mengintervensi, Wapres mengintervensi Bogor, Cianjur, Depok, Bekasi, padahal mereka punya provinsi induk yaitu Jawa Barat. Bagaimana Jawa Barat bisa melepas Depok, Bekasi, Bogor di dalam lingkup tanggung jawab di Dewan Aglomerasi. Jawa Barat sendiri punya kepentingan dengan kota-kota mereka sendiri," katanya.

Termasuk program apa yang akan dikerjakan Dewan Kawasan Aglomerasi. "Apakah ada program bersama? Siapa yang mendanai dan memfasilitasi? Ini perlu dicermati. Selama ini Jabodetabek itu kebanyakan wacananya di tata ruang terus, tanpa ada program kegiatannya."

"Jadi pertanyaannya kalau ada spatial plan mana nanti development plan-nya, program pembangunannya siapa yang mengeksekusi. Sejauh mana nanti kemampuan dewan aglomerasi menjembatani gap yang terjadi antara rencana dengan kapasitas kemampuan kelembagaan di tingkat daerah maupun di pusat. Itu kan penting untuk kita siasati," ucap Yayat.

Karena itu, kata Yayat, tugas, fungsi, dan kewenangan yang ditangani Dewan Aglomerasi harus jelas. Misalnya fokus pada masalah transportasi publik, permukiman, penanggulangan bencana banjir, pengelolaan lingkungan, tata ruang, dan lain-lain. 

Dan yang tidak kalah penting adalah pendanaan. "Apakah Dewan Aglomerasi bisa ngasih duit kalau daerah mengatakan 'wah saya enggak punya duit'. Kota Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang itu kota metropolitan tapi metropolitan setengah hati. Jakarta metropolitan mandiri dengan uang yang cukup. Itulah yang saya mengatakan jangan sampai nanti badan ini hanya sibuk koordinasi," ujar Yayat menandaskan.

Sementara itu, Trubus Rahadiansyah menyarankan pembentukan kementerian yang khusus menangani Jabodetabekjur, ketimbang membuat Dewan Aglomerasi. Sebab, tiap daerah pasti ada ego sektoral mengingat mereka memiliki wilayah otonom dan visi-misi sendiri.

"Karena di struktur pemerintah tidak mengenal dewan seperti itu. Kalau di IKN otorita wilayah-wilayahnya kecil. Kalau ini tiga provinsi Jabar, Jakarta, Banten, belum lagi ada 11 kabupaten/kota. Itu kalau Dewan Aglomerasi mereka mau taat pada kebijakannya siapa?"

Karena itu, dia tidak yakin Dewan Aglomerasi akan bisa mengatasi persoalan-persoalan klasik Jakarta dan sekitarnya, seperti banjir, macet, polusi, dan sebagainya. 

"Karena (Dewan Aglomerasi) bukan jabatan struktural. Kalau menteri jelas. Menteri bisa tangani macet, banjir, tata lahan. Dan ada kementerian terkait, ada Mendagri, ATR, LHK, kemudian PUPR," ucap Trubus.

2 dari 5 halaman

Apa Untungnya untuk Warga Jakarta?

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) DKI Jakarta meminta pembahasan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) ditangguhkan dalam agenda sidang paripurna DPR RI masa sidang IV. 

Walhi menilai, masih ada beberapa substansi di RUU DKJ yang perlu dibahas lebih lanjut, terutama dengan masyarakat Jakarta. Walhi Jakarta pun memberikan sejumlah catatan kepada pemerintah dan DPR terkait RUU DKJ.

Pertama, proses pembahasan RUU DKJ dianggap terlalu buru-buru. Hal tersebut, dipandang juga telah mengesampingkan keterlibatan masyarakat secara bermakna dalam pembahasan RUU DKJ. 

"Proses ini hanya mengulangi pola buruk yang telah terjadi dalam sejumlah kebijakan sebelumnya, seperti pengesahan UU (Undang-Undang) Minerba dan UU Cipta Kerja yang melegitimasi kerusakan lingkungan," kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Suci Fitriah Tanjung dalam keterangan resmi yang diterima Liputan6.com, Jumat (15/3/2024).

Selain itu, Walhi juga menilai RUU DKJ menjadi prejudice buruk demokrasi, menindas hak politik warga Jakarta, serta disebut bisa mengancam kepentingan kelompok rentan karena tidak bisa memilih secara langsung kepala daerah yang dianggap mewakili dan mengakomodir kebutuhannya.

Sebab, dalam draf RUU DKJ disebutkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta bakal ditunjuk oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD Jakarta. 

"Pasal ini tentu akan merusak semangat negara demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kuasa tertinggi. Pasal tersebut juga berpotensi merusak prinsip otonomi daerah dan desentralisasi sebagaimana mandat dan agenda reformasi," ucap Suci.

Lebih lanjut, Walhi juga menyoroti adanya Dewan Kawasan Aglomerasi dalam RUU DKJ yang dinilai sarat muatan nepotisme karena dipilih langsung pemerintah pusat dan dibawahi oleh Wakil Presiden.

"RUU DKJ sarat muatan nepotisme. Siapa yang akan memimpin Indonesia akan berkuasa di Jakarta dan daerah di wilayah aglomerasinya. Hal itu sangat berbahaya bagi demokrasi dan masyarakat," ujar Suci.   

Pengamat Perkotaan Nirwono Yoga juga menilai tidak ada urgensinya pengesahan RUU DKJ dilakukan terburu-buru. Menurutnya, DPR dan pemerintah perlu melibatkan elemen masyarakat yang lebih luas terkait pembahasan RUU ini.

"Jangan sampai kasus terulang seperti UU IKN. Lebih baik pemerintah dan DPR mendengarkan semua pihak seperti Pemda dan DPRD se Jabodetabekjur dan perguruan tinggi dan pakar perkotaan Jakarta dan sekitar."

"RUU DKJ harus menggambarkan semangat kebersamaan Jabodetabekjur, bukan hanya fokus ke Jakarta saja, karena peraturan ini akan berdampak pada kehidupan masyarakat se-Jabodetabekjur. Pemerintah dan DPR masih punya cukup waktu, libatkan dan dengarkan suara warga Jabodetabekjur," ucap Nirwono.

Hal yang sama juga disampaikan Trubus Rahadiansyah. Menurut pengamat kebijakan publik ini, pembahasan RUU DKJ bisa saja dilakukan oleh DPR periode selanjutnya.

"Menurut saya enggak usah terburu-buru disahkan, karena anggota dewan yang sekarang sudah injury time. Serahkan saja pada DPR periode berikutnya. Jadi nanti ada patrisipasi publik di situ," kata Trubus.

3 dari 5 halaman

Alasan Pemerintah Ingin Cepat-Cepat Bahas RUU DKJ

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menginginkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) dikebut dalam waktu singkat. Mengingat perannya terhadap transisi ibu kota pemerintahan.

Dia mengatakan pembahasan RUU DKJ seharusnya selesai pada 15 Februari 2024 lalu, mengingat adanya batas waktu sejak disahkannya Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (UU IKN). Kemudian, adanya transisi pemerintahan kedepan jadi satu poij perhatian.

Dia mengatakan, skema yang bisa dijalankan adalah dengan dibentuknya Panitia Kerja (Panja) RUU DKJ ini. Kemudian, dibahas bersamaan dengan tim perumus (timus) dan tim sinkronisasi (timsin).

"Nah ini 13 Maret sampai tanggal 3 (April) kami kira kita mekanismenya dengan membentuk panitia kerja, kemudian ada timus dan timsin kalau bekerja maraton dan bekerja konsinyering dibahas satu persatu kami rasa-rasanya InsyaaAllah ini akan dapat diselesaikan dalam waktu (sidang) ini," urai Tito dalam Rapat Kerja dengan Badan Legislasi DPR RI, Jakarta, Rabu (13/3/2024).

Dia mengatakan, kerja sama ini bisa dibilang sebagai upaya meringankan beban. Maksudnya, adalah beban atas pembahasan yang belum berlanjut sejak disepakati adanya revisi Undang-Undang DKI Jakarta.

"Sehingga tidak menjadi beban bagi kita, beban moral yang sudah disepakati bersama," kata dia.

Tito menjelaskan, Undang-Undang DKJ menjadi penting sebagai landasan hukum setelah IKN resmi menjadi ibu kota negara baru. Maka, diperlukan penyelesaian pembahasan sesegera mungkin.

"Sekali lagi, kita tidak melihat saya A dan B berbeda, tapi kita melihat institusi, DPR dan Pemerintah sudah menyepakati dan menyanggupkan jadi produk Undang-Undang yang menjadi patokan negara ini," ucapnya.

"Apalagi tentang Ibu Kota Negara. Oleh karena itu untuk kepastian hukum kami mohon dengan segala hormat kita konsekuen menyelesaikannya, konsisten menyelesaikannya di masa sidang ini," tegas Tito.

RUU DKJ Molor Karena Pemilu

Mantan Kapolri ini mengungkapkan, pembahasan RUU DKJ seharusnya rampung pada 15 Februari 2024 lalu. Namun, ternyata pembahasannya molor karena hajatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Tito menjelaskan, target selesainya RUU DKJ itu menghitung sejak disahkannya Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (UU IKN) yang diteken pada 15 Februari 2022. Pembahasan seharusnya menyasar pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang sudah diberikan ke DPR RI.

"Undang-undang DKI Jakarta harus direvisi paling lambat 2 tahun semenjak diundangkan Undang-Undang IKN, artinya 15 Februari 2022, 15 Februari 2024 seharusnya Undang-Undang ini sudah selesai," kata Tito.

Tito menjelaskan, pihak pemerintah sudah menyetorkan DIM sejak Januari 2024 lalu. Namun, pembahasannya terus tertunda karena adanya Pemilu 2024. Pasalnya, para anggota DPR RI banyak yang lebih dulu mengurus kontestasi politik dalam bursa Calon Legislatif (Caleg) di Pemili 2024.

"Jadi deadline 15 Februari 2024 harusnya kita konsisten dan konsekuen kita laksanakan. Namun, pembahasannnya memang DIM sudah sempat kami serahkan di Januari namun pembahasan tak dilaksanakan," kata Tito.

Alhasil, rapat kali ini memutuskan untuk mengalihkan pembahasan melalui Panitia Kerja (Panja) RUU DKJ. Tito berharap, bahasannya bisa dikebut sehingga bisa rampung dalam waktu singkat.

Target Naik Paripurna 4 April 2024

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Supratman Andi Agtas menargetkan, RUU DKJ dapat naik ke rapat paripurnakan pada 4 April 2024 mendatang.

"Sehingga pada tanggal 4 April sudah bisa diparipurnakan di DPR. Jadwal ini tentatif. Ini bisa diterima, Pak ya. Pemerintah, DPD, dan teman-teman DPR. Bisa ya," kata Supratman pada raker Baleg DPR bersama Mendagri Tito Karnavian di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (13/3/2024).

Menurut Supratman, mulai hari ini hingga akhir masa sidang April mendatang, rapat pembahasan RUU DKJ bersama pemerintah akan dikebut.

"Kemudian akan diisi mulai besok dengan pembahasan di tingkat panja (Panitika Kerja). Kemudian akan diakhiri pada 3 April hari Rabu, dalam kerja," ujarnya. 

Menurut Supratman, pemerintah dan DPR harus menyelesaikan dua kesepakatan awal. Pertama adalah soal jadwal rapat bersama. "Kedua, soal mekanisme. Kalau kita bisa menyepakati kedua hal ini, maka raker (rapat kerja) kita bisa kita akhiri dan kita lanjutkan dalam rapat berikut."

Lebih lanjut, Supratman menyampaikan empat materi muatan utama RUU DKJ. RUU ini terdiri dari 12 Bab dan 72 Pasal dengan sistematika dan materi muatan yang terkait.

"Pertama, kekhususan yang diberikan kepada Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional, kota global, dan kawasan aglomerasi. Kedua, pengaturan untuk mengatasi permasalahan yang ada di Jakarta dan wilayah sekitarnya. Serta mensinergikan antardaerah penunjang yang ada, baik Jakarta itu sendiri, Bogor, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, maupun Cianjur," jelas Supratman.

Ketiga, terkait pengangkatan kepala daerah DKJ serta pemberhentian oleh presiden, kemudian juga beberapa kewenangan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. "Empat, pengaturan tentang pemantauan dan peninjauan atas undang-undang ini," kata Supratman.

4 dari 5 halaman

Dorong Jakarta Jadi Kota Global

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyatakan, bahwa pemerintah mendorong Jakarta menjadi kota bertaraf internasional meski tak lagi menjadi ibu kota negara.

"Visi bersama untuk membangun Jakarta menjadi kota kelas dunia kota global yang tidak hanya bersaing atau memiliki daya saing pada tingkat regional Asia Tenggara, tapi juga setara dengan kota-kota maju lainnya di dunia," kata Tito dalam rapat kerja bersama Baleg DPR, Rabu (13/3/2024).

Menurut Tito, Jakarta tidak boleh hanya menjadi pusat ekonomi di Asia Tenggara saja, melainkan Jakarta akan didorong untuk menjadi salah satu kota pusat ekonomi besar dunia, setara New York atau Sydney.

"Agar kota Jakarta menjadi salah satu pusat utama di bidang perekonomian, jasa perbankan dan lain-lain. Intinya adalah kira-kira sama seperti New York-nya Amerika lah atau Sydney, Melbourne-nya Australia," katanya.

Sebelumnya, Tito menyebut RUU DKJ akan turut membahas aglomerasi Jakarta dan wilayah sekitarnya. Menurutnya hal tersebut perlu diperjelas agar tidak banyak pelintiran.

"Pemerintah sudah melakukan langkah awal secara proaktif yaitu mulai April ini kami menjelaskan betul isu masalah aglomerasi ini supaya tidak diplintir ke mana-mana, kami lihat sudah mulai plintirnya banyak. Akhrinya disepakati saat itu itu disebut saja dengan kawasan aglomerasi," kata Tito.

Tito menjelaskan kawasan aglomerasi perlu dilakukan harmonisasi mengingat banyak problem dan program yang saling bersinggungan, salah satunya banjir.

"Prinsip kawasan ini adalah harmonisi program perencanaan dan evaluasi secara reguler, supaya on the track dan ini perlu ada yg melakukan itu melakukan sinkronisaai ini, ini problem tidak bisa ditangani satu menteri, misalnya bappenas sendiri, enggak bisa ditangani satu menko pun tak bisa ini lintas menko," kata Tito.

Oleh karena itu, kata Tito, pemerintah mengusulkan wewenang program harmonisasi aglomerasi Jakarta atau DKJ perlu di bawah wewenang Wakil Presiden sebagai Dewan DKJ, sebab tugas presiden sudah banyak.

"Presiden memiliki tanggungjawab nasional yg luas sekali, maka perlu lebih spesifik ditangani wapres. Dan ini mirip yang kita lakukan di papua dibentuk Badan percepatan pembangunan Papua," pungkasnya.

Jakarta Tak Bisa Sendiri

Sementara itu, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera menyebutkan alasan terkait urgensi Dewan Aglomerasi yang bakal dipimpin oleh wakil presiden (Wapres) dalam usulan RUU DKJ.

"Karena Jakarta bukan lagi ibu kota, maka Jakarta perlu menjadi provinsi yang punya nilai tambah yang tinggi, biar dia bisa bersaing menjadi kota global," kata Mardani kepada wartawan, Rabu (13/3/2024).

Menurut Mardani, agar dapat bersaing dengan kota metropolitan lainnya, Jakarta perlu berbenah dan berkoordinasi dengan wilayah penyangganya yakni Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sebab, saat ini persoalan Jakarta sangat kompleks.

"Nah untuk bisa bersaing, Jakarta enggak bisa dengan dirinya. Misalnya urusan banjir enggak kelar, Depok harus dilibatkan, Bogor harus dilibatkan. Urusan sampah enggak kelar, urusan transportasi tetap macet, nah untuk mengurainya harus ada koordinasi dengan wilayah penyanggah Jabodetabek," kata dia.

Namun, karena tiap daerah merupakan daerah otonom sendiri, maka kebijakan kerap mentok pada aturan dan batasan. Sehingga perlu adanya koordinasi di atas Pemda.

"Akhirnya yang terjadi kaya sekarang nih, TransJakarta dia mentok di Cakung, dia enggak bisa ke Bekasi, orang Bekasi tetap aja naik mobil, di selatan mentok di Lebakbulus enggak bisa ke Ciputat," kata dia.

"Nah harus ada aturan yang menemukan koordinasi, nah jadi nanti kawasan aglomerasi itu. Ketika mulai koordinasi harus ada struktur di atasnya yang bisa untuk membantu menjembatani," sambungnya.

Sementara terkait alasan wapres yang akan memimpin Dewan Kawasan Aglomerasi, menurutnya hal itu disebabkan masalah yang terjadi lintas sektor kementerian.

"Kenapa Wakil Presiden, karena banyak kementeriannya, Kementerian PUPR terlibat, Kementerian Pertahanan terlibat, Kementerian Dalam Negeri terlibat, menko juga," ucap Mardani Ali Sera menandaskan.  

5 dari 5 halaman

Infografis Ragam Tanggapan RUU DKJ Atur Perluasan Kawasan Aglomerasi

Video Terkini