Sukses

Membaca Program Makan Siang Gratis, Peniliti Wanti Potensi Impor Berskala Besar

Makan siang dan susu gratis menjadi program andalan dari pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran. Program tersebut menjadi andalan keduanya saat berkampanye menarik hati rakyat.

Liputan6.com, Jakarta - Makan siang dan susu gratis menjadi program andalan dari pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran. Program tersebut menjadi andalan keduanya saat berkampanye menarik hati rakyat.

Menanggapi hal itu, kelompok peneliti kebijakan publik, Next Policy menyebut rencana program tersebut berpotensi salah arah. Menurut Direktur Eksekutif Next Policy, Grady Nagara, salah arah dimaksud adalah keliru untuk meletakkan dasar dalam rencana kebijakan tersebut.

“Secara teknokratis, rencana kebijakan tersebut masih sangat prematur karena minim riset dan keterlibatan para pakar," ujar Grady seperti dikutip dari siaran pers diterima, Minggu (24/3/2024).

Grady khawatir, rencana kebijakan justru membuka potensi impor pangan berskala besar yang berimbas terhadap melemahnya ketahanan pangan bangsa Indonesia.

“Ketahanan pangan kita itu lemah. Bayangkan komposisi makan siang gratis bergantung pada komoditas seperti beras, daging, dan susu yang selama ini masih impor,” ujar dia.

Berdasarkan hitungan Next Policy, lanjut Grady, paling tidak untuk menyasar 82,9 juta penerima manfaat, per tahun maka dibutuhkan 6,7 juta ton beras, 1,2 juta ton daging ayam, 500 ribu ton daging sapi, hingga 4 juta kiloliter susu.

“Artinya potensi impor besar-besaran bisa terjadi jika desain kebijakan tidak mempertimbangkan dimensi diversifikasi pangan,” wanti Grady.

Berkaca pada Brazil, Grady menyebut anggaran makan siang gratis mewajibkan 30% mengambil pasokan dari petani lokal. Dia pun berharap hal yang sama bisa diterapkan dan bukan potensi impor skala besar.

“Hal itu bisa mematikan para petani kita yang kebanyakan tidak memiliki lahannya sendiri”, kritik Grady.

2 dari 3 halaman

Program Makan Siang Gratis Menjadi Beban Fiskal

Selain Next Policy, peneliti dari Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Shofie Azzahrah menyorot soal potensi beban fiskal yang sangat besar jika program terkait dipaksakan melalui skema APBN.

“Anggaran makan siang gratis mencapai maksimal 450 triliun per tahun. Angka ini bahkan melampaui anggaran ketahanan pangan dan kesehatan yang nilainya hanya 114,3 dan 187,5 triliun rupiah”, kata Shofie.

Dalam hitungannya, lanjut Shofie, program tersebut bisa menambah defisit anggaran sebesar Rp 797 triliun. Angka defisit ini sendiri sudah ada di rasio defisit APBN terhadap GDP sebesar 3,81%.

“Tanpa skenario pembiayaan berkelanjutan, ini sangat berbahaya bagi kesehatan fiskal ke depan yang akan merugikan publik”, wanti Shofie.

3 dari 3 halaman

Tidak Cukup Mengatasi Stunting

Policy and Advocacy Manager Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Clarissa Magdalena, meyakini, program makan siang gratis dan susu gratis masih belum jelas.

Dia pun mempertanyakan soal pembentukan ekosistemnya dan pemerataan standar gizi dari tiap unsur lauk pauknya.

“Jadi bagaimana program ini diposisikan dalam sistem kesehatan nasional?,” tanya dia.

Clarissa masih berkesimpulan, program makan siang gratis belum cukup untuk bisa dikatakan efektif dalam hal mengatasi stunting. Sebab, hal utama diperlukan adalah evaluasi terhadap sistem dan tata kelola kesehatan.

“Stunting itu adalah masalah kompleks yang harus dievaluasi dengan melihat secara keseluruhan tata kelola kesehatan, dan tidak cukup hanya dengan menggunakan program tunggal seperti program makan siang gratis”, tegas Clarissa.

“Masyarakat sipil saat ini harus mengawasi dan memberikan masukan dengan ketat. Mumpung program ini masih belum keluar sebagai kebijakan teknis”, imbuh Clarissa menandasi.

Sebagai informasi, pernyataan para narasumber disampaikan dalam sebuah diskusi publik bertajuk “Salah Arah Kebijakan Makan Siang Gratis” yang diselenggarakan Next Policy di kawasan Cikini Jakarta Pusat pada Jumat (22/3/2024).