Liputan6.com, Jakarta Siapa sangka seorang perwira polisi yang terpapar paham radikalisme kariernya bisa tetap melesat hingga ke tangga perwira tinggi. Bahkan, Brigadir Jenderal Polisi Ahmad Nurwakhid saat ini menempati posisi sebagai Direktur Deradikalisasi di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Brigjen Ahmad Nurwakhid?
Sebagai seorang calon perwira polisi, Ahmad merupakan sosok berprestasi saat masih menempuh pendidikan di Akademi Kepolisian (Akpol). Dia pernah menjabat Komandan Peleton Taruna Akpol yang kemudian dipercaya menjadi Komandan Peleton Candradimuka di Magelang. Lulus dari Akpol pada 1989, kehidupan Ahmad sebagai polisi muda mulai berubah.
Baca Juga
Pada akhir 1994, saat menyandang pangkat kapten (sekarang ajun komisaris polisi) dan menjabat Kapolsek Banjarsari di Solo, Jawa Tengah, Ahmad mulai kerap bertemu dengan uztaz-uztaz berpaham radikal yang ada di Pesantren Pondok Al Mukmin Ngruki. Tak hanya bertemu, dia pun memutuskan untuk mondok di pesantren yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir itu, meski secara informal.
Advertisement
Tidak saja mendidik murid atau santri dengan ilmu agama, mereka juga diberi kekuatan fisik berupa latihan semi militer. Ahmad juga sempat berniat untuk pergi ke Afganistan karena dinilai sebagai ladang jihad yang paling potensial. Tanpa sadar, ketika itu dia sudah masuk ke dalam jaringan Jamaah Islamiyah.
Karena kesibukan di luar dinas itu Ahmad kerap tidak masuk kantor dan meninggalkan tugas-tugasnya sebagai pengayom masyarakat. Akhirnya dia dipindah ke Polda Jawa Tengah, meskipun hal itu tidak mengubah kebiasaan Ahmad karena dia masih sering melakukan perjalanan ke Tawangmangu dan Solo untuk mengikuti berbagai kajian dan cuci otak ala teroris.
Karena terus-terusan mangkir dari tugas, Ahmad akhirnya menjalani sidang disiplin dengan dakwaan dugaan indisipliner, bukan karena terlibat jaringan teroris. Maklum saja, ketika itu pemerintah belum familiar dengan istilah radikalisme-terorisme dan belum ada undang-undang yang khusus mengatur hal ini.
Ahmad mengakui, seandainya saat itu telah terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bisa dipastikan dia sudah ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror. Ditambah lagi pemahaman pemerintah dan masyarakat tentang terorisme baru muncul ketika terjadi peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002.
Tidak heran kalau saat menjalani sidang disiplin Ahmad tetap melawan dan membantah tuduhan kepada dirinya. Karena terus membantah bahkan menggebrak meja di persidangan, hukumannya ditambah karena dinilai sudah melakukan tindakan insubordinasi serta melawan pimpinan. Dia kemudian ditahan selama 21 hari.
Usai menjalani hukuman, pria kelahiran Sleman, Yogyakarta ini dipindahkan ke Bagian Lalu Lintas Polda Jateng dan menduduki jabatan Kasubbag Lalu Lintas. Karena pimpinan di kepolisian mengetahui potensi dalam dirinya, pelan-pelan dia ditarik dari rutinitas pengajian dan kumpul komunitasnya.
Pada 2006 setelah berpindah-pindah jabatan, Ahmad mendapatkan ideologi baru, yaitu ilmu Tasawuf. Ilmu ini diyakini adalah yang paling benar. Bahkan, ilmu Tasawuf telah menggantikan paham radikalisme yang selama ini menjadi ideologinya.
Berikut petikan wawancara Ahmad Nurwakhid dengan Sheila Octarina dalam program Bincang Liputan6.
Terpapar Paham Radikal saat Jadi Kapolsek
Apa yang membuat Bapak tertarik menjadi polisi?
Jadi, saya itu orang kampung ya. Kebetulan saya lahir di Sleman, daerah Tempel itu Sleman Barat, Yogyakarta, tahun 1968. Kebetulan saya tidak ada keluarga TNI, tidak ada keluarga Polri. Ya niatannya waktu itu ingin sekolah yang tidak bayar saja. Sekolah yang gratis kan hanya Akabri saat itu ya. Nah saya kebetulan daftar di Akabri tahun 1986, masuknya di polisi dan jadi perwira Polri, lulus tahun 1989.
Jadi bukan karena ingin jadi polisi?
Sebenarnya saat itu saya inginnya jadi TNI, jadi tentara. Waktu itu di zaman Orde Baru itu kalau tentara itu kan bisa jadi bupati, jadi gubernur. Tapi Tuhan menghendaki saya jadi polisi. Ya sudah saya cintai polisi. Saya fokus dan konsentrasi untuk profesional di polisi.
Tapi, kabar yang mengatakan kalau Bapak pernah terpapar paham radikalisme apakah itu benar, Pak?
Jadi gini, radikalisme itu kan paham atau ideologi yang menginginkan terjadinya perubahan tatanan sosial politik yang sudah mapan, yang sudah firm. Dalam konteks Indonesia kan ada konsensus nasional, ada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 45. Nah, orang yang berpaham radikalisme ya sejatinya ingin mengubah tatanan sosial politik tadi secara ekstrem atau secara kekerasan.
Dan kemudian yang namanya radikalisme atau dalam terminologi asing disebut ekstrimisme itu, ya ini sejatinya adalah virus ideologi yang berpotensi memapar siapa saja. Tidak terikat suku, ras, agama, tidak terikat profesi, bahkan tidak terkait atau tidak terikat pada kadar intelektualitas seseorang. Virus ini virus ideologi namanya.
Nah, seseorang yang terpapar virus ini maka dia kognisinya atau inteleknya pintar tetap, tetapi spiritualnya jadi rusak. Jadi enggak bisa berpikir secara fair, secara substansial dan kalau dalam perspektif agama, karena begini, radikalisme, terorisme itu sebenarnya kan tidak ada kaitannya dengan agama apa pun ya. Tidak ada kaitannya, karena tidak ada satu pun agama yang membenarkannya kan?
Nah keterkaitannya itu bukan pada agama tapi pada oknum umat beragama yang salah dan menyimpang dalam memahami dan mengamalkan agamanya. Dan ini biasanya didominasi atau menunggangi agama mayoritas di suatu negara atau di suatu wilayah. Kebetulan di Indonesia itu mayoritas kan muslim, maka semua teroris yang kami tangkap, kami tahan itu KTP-nya muslim.
Lantas, Bapak sendiri bagaimana bisa terpapar?
Kenapa kok bisa? Ya itu tadi. Saya berpangkat kapten saat itu. Kapten itu sekarang AKP-lah ya, ajun komisaris polisi, bukan agen kupon putih loh, bukan ya. Nah, saat itu saya jadi Kapolsek di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah ya. Kemudian karena ghirah atau keinginan mendalami agama, kemudian saya sering mendengarkan ceramah-ceramah di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, di tempatnya Abu Bakar Ba'asyir.
Kebetulan dengan kantor jaraknya cuma 6 atau 7 kilo, karena memang saat itu Al Mukmin Ngruki tahun 1994, 1995, 1996-an itu sangat keren, sangat bagus, menjadi idola daripada putra-putri para pejabatlah ya. Karena di sana tidak hanya dididik ilmu agama, tapi juga disiplin semi militer ya.
Belakangan enggak tahunya itu i'dad lah, latihan-latihan perang segala macam. Sampai pada satu titik, saya pengen berangkat ke Afghanistan, bergabung dengan kaum atau kelompok mujahidin yang waktu itu memang Afghanistan kan masih diintervensi oleh Uni Soviet, nah seperti itu.
Jadi kalau bertanya kenapa seorang TNI-Polri atau siapa pun mereka bisa terpapar? Karena memang virus ideologi ini pemaparannya tidak lewat droplet seperti virus Covid-19 atau virus biologi, tapi penularannya lewat penglihatan dan pendengaran.
Apalagi sekarang zaman medsos ya ada Youtube, ada media sosial. Nah ini pintu masuknya adalah kaum penceramah. Kalau penceramahnya itu baik, moderat, kemudian soft, mendamaikan, mempersatukan, maka itu menjadi pintu keluar. Tapi kalau penceramahnya itu radikal, intoleran, mempropagandakan kebencian, kesombongan dan lain sebagainya, maka itu pintu masuk, nah itu virus.
Bagaimana Polri menanggapi aktivitas Bapak ketika itu?
Ya instansi juga enggak paham saat itu karena belum ada Undang-Undang Terorisme kan? Undang-Undang Terorisme itu kan baru pasca-bom Bali 2002, di mana ternyata pelakunya kebanyakan dari alumni Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki di mana saya sering dengar ceramah.
Saya sendiri ketika itu sudah dalam masa transisi atau dengan kata lain sudah tervaksin, tak lagi menganut paham radikal seperti sebelumnya.
Bagaimana proses penyadaran yang Bapak lakukan?
Jadi begini, kalau ini dari perspektif agama Islam ya, tidak ada seorang pun akan sadar, akan beriman, akan taubat, illa biidznillah kecuali hidayah, kecuali izin dari Tuhan. Tetapi Tuhan memurkai orang-orang yang tidak menggunakan akal. Kalau dari ilmu, sering dikatakan manusia itu sejatinya adalah binatang yang berakal, ya kan? Dari ilmu-ilmu kita belajar biologi dan sebagainya itu kan?
Nah, ketika akal kita diracuni oleh virus-virus ideologi itu, maka tidak bekerja dengan baik. Di sinilah muncul namanya kesombongan. Merasa paling benar, merasa paling Islami, merasa paling agamis, merasa paling ahli surga, merasa paling yes, pokoknya dirinya merasa paling beriman orang lain kafir. Nah, jadi ini kuncinya hidayah.
Setelah itu yang kedua tentunya doa ya. Dari orangtua, doa dari teman, sahabat, ya keluarga. Dan yang ketiga, kita mencoba karena sudah mulai proses kesadaran kita inklusif, tidak eksklusif lagi. Inklusif, bergaul, bermasyarakat seperti biasa. Nah, kelompok-kelompok yang terpapar paham radikal itu kan kecenderungan mereka eksklusif, kacamata kuda. Karena tadi, merasa paling benar, merasa paling mulia, merasa paling agamis, paling suci semuanya pendosa.
Nah, maka sering saya katakan virus ini namanya virus takfiri. Virus takfiri atau paham takfiri ini adalah paham dengan mengkafirkan orang lain yang berbeda. Tidak hanya beda agama, bahkan seagama tapi beda kelompok pun dia kafirkan kalau belum baiat, atau belum menjadi golongannya.
Paham takfiri itu bukannya sangat umum kita temukan?
Paham takfiri ini sejatinya adalah paham kekafiran yang tidak disadari. Maka yang dikatakan oleh Nabi Muhammad, Rasulullah yakni untuk orang Islam ini ya. Hati-hati di dalam mengkafirkan orang lain, karena bisa jadi kalau orang itu tidak kafir, maka kekafiran itu akan balik kepada dirinya. Nah ini yang dialami, yang memapar oleh mereka-mereka kaum atau kelompok-kelompok yang terpapar virus radikalisme terorisme.
Jadi intinya tiga tadi. Pertama hidayah, sudah dapat hidayah, ya kan? Tentunya ini karena doa dan lain sebaginya. Nah kemudian yang kedua karena pergaulan lingkungan, berubah sikap dari eksklusif menjadi inklusif, sehingga yang tadinya intoleran menjadi toleran. Oke, kemudian yang ketiga adalah kita ketemu dengan seorang mursid, seorang guru atau tokoh agama yang benar, yang baik.
Nah, tokoh agama atau guru atau ustaz yang baik dan benar itu yang bagaimana? Yang tidak hanya mengajarkan beragama secara ritual, tapi juga beragama secara rohani, mengajarkan akhlak, perilaku, budi pekerti. Kalau dalam konteks pemahaman agama Islam disebut ikhsan. Bahwa sesungguhnya Tuhan, rahmat dan kasih sayang Tuhan itu ada pada orang-orang yang ikhsan.
Artinya orang ikhsan itu orang yang berbuat baik, berperilaku berbudi pekerti mulia, berperilaku baik. Selalu, apa namanya kalau dalam bahasa agamanya tuh khoirunnas anfauhum linnas. Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak berguna, bermanfaat untuk manusia yang lain.
Advertisement
Mereka Terpikat karena Dijanjikan Surga
Waktu Bapak bergabung dengan kelompok tersebut, bagaimana dengan tugas-tugas di Kepolisian?
Otomatis terganggu saat itu ya, saat itu karena saya sering pengajian, kemudian sering ya latihan i'dad tadi sehingga jarang masuk kantor. Nah karena jarang masuk kantor saya dipindah ke Polda Jawa Tengah, ke Semarang, otomatis tambah jauh kan untuk tempat saya i'dad tadi. Akhirnya saat itu saya disidang disiplin oleh Ankum, atasan yang berhak menghukum.
Begitu disidang disiplin, waktu itu pasal yang diterapkan bukan pasal teroris, belum tahu mereka teroris, saya hanya dilihat sebagai orang yang fanatik dalam beragama, itu saja. Sehingga pasalnya itu indisipliner, tidak pernah masuk kantor gitu.
Kebetulan yang menyidangkan saya orang non-muslim, maaf nih ya, orang Batak, kan keras tuh. Nah, orang yang terpapar paham radikal ini kan orangnya sensitif. Karena merasa paling benar ya toh? Apalagi melihat orang yang dianggap kafir kan, sehingga saat saya sidang disiplin ya gebrak-gebrak meja, macam-macam.
Akhirnya pasalnya ditambah, tidak hanya indisipliner, tapi juga insubordinasi, melawan atasan. Akhirnya alhamdulillah wa innalillah saya ditahan 21 hari oleh Provos Polda Jateng. Tapi alhamdulillah, karena ditahan itulah saya mengalami kontemplasi, penyadaran tadi. Kalau nggak ditahan ya mungkin sudah berangkat ke Afghanistan, nggak ketemu kalian atau malah sudah jadi eks napiter, ha...ha...ha...
Bapak sangat terbuka membahas masa lalu yang Bapak jalani, kenapa?
Jadi begini, kenapa saya kok mau cerita ya? Saya itu berprinsip begini, daripada bercerita tentang kesuksesan, saya lebih senang menceritakan kegagalan, saya lebih senang menceritakan bahwa saya pernah gagal, tapi kemudian bangkit. Karena dengan demikian itu akan mengedukasi, memotivasi terhadap masyarakat ataupun generasi muda di dalam menghadapi dinamika kehidupan yang penuh tantangan.
Ya kalau orang sukses kan semuanya bisa. Tapi bagaimana dia pernah jatuh kemudian bangkit kembali supaya tidak frustrasi, tidak mutung. Apalagi kan generasi Z ini kan luar biasa.
Lantas perjalanan karier Bapak selanjutnya?
Setelah ditahan kan sudah selesai, ditahan karena kasus indisipliner. Tadi kan dianggap sudah selesai dong. Nah, kemudian perjalanan waktu kan mengalami transisi kesembuhan. Tidak fanatik lagi, ya kan? Tidak keras lagi, ya akhirnya kan mengikuti jenjang karier seperti biasa.
Hingga kemudian menjadi Direktur Deradikalisasi BNPT, pas sekali ya?
Ada idiom, hanya orang radikal atau mantan radikal yang paham isi kepalanya orang radikal. Karena saya pernah mengalami seperti itu, maka diharapkan atau dianggap saya tahu tentang ini dan ternyata kan saya bisa memvaksin secara ideologis, kan begitu.
Siapa saja yang berpotensi terpapar paham radikal menurut BNPT?
Radikalisme terorisme itu berpotensi pada seluruh manusia. Oke, sekarang kita bagi kalau kita bicara ketahanan nasional bangsa Indonesia. Ketahanan nasional bangsa Indonesia itu adalah kondisi dinamis yang meliputi seluruh aspek kehidupan berbangsa. Ipoleksosbudkumhankam, ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, pertahanan, keamanan.
Nah dalam konteks radikalisme ini kan ideologi. Nah ideologi ekstrem itu dalam konsep ketahanan nasional itu dibagi tiga. Ekstrem kanan yang mengatasnamakan agama, ekstrem kiri yang mengatasnamakan komunisme, marxisme, leninisme, dan ekstrem lainnya. Ekstrem lainnya itu ada liberalisme, kapitalisme, sekularisme, separatisme dan ini semuanya sudah pernah dialami oleh Indonesia dan sudah pernah jadi teroris semua.
Contoh, ekstrem kanan tahun 1949 tahun 1950-an ada pemberontakan yang namanya DI/TII. Darul Islam, tentaranya TII, Tentara Islam Indonesia untuk mendirikan NII, Negara Islam Indonesia. Nah ini sekarang sudah masuk list DTTOT, Daftar Terduga Terorisme dan Organisasi Terorisme. Ini pernah. Kedua, ekstrem kiri yang mengatasnamakan komunisme, marxisme, leninisme. Dulu ada pemberontakan PKI Madiun, teroris juga itu, kemudian G30S PKI.
Nah sekarang ekstrem lainnya, ada dulu pemberontakan PRRI, Permesta, RMS, Republik Maluku Selatan, sekarang ada separatis KKB. Jadi ini semua ada. Nah sementara konsensus nasional bangsa kita adalah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 45.
Ini yang namanya nasionalisme moderat. Nasionalisme moderat inilah, Pancasila inilah yang mempersatukan pluralitas dan heterogenitas bangsa yang sangat majemuk ini, gitu. Nah, terorisme radikalisme itu tadi ingin mengubah Pancasila dan lain sebagainya ini. Ini yang berpotensi menimbulkan konflik.
Sebenarnya apa yang membuat seseorang menjadi terpikat untuk bergabung dengan kelompok teroris?
Mereka itu dijanjikan surga. Jadi begini ya, tadi yang saya sampaikan bahwa virus ini atau ideologi ini kan memanipulasi, mendistorsi ya, dan mempolitisasi agama. Jadi agama yang suci, yang bersumber dari firman Tuhan untuk kasih sayang semesta ya, ini berarti kan harus untuk semuanya kan?
Tapi ini didistorsi menjadi ide, gagasan, atau paradigma yang dia perjuangkan untuk kelompoknya. Nah, terus bagaimana caranya dimanipulasi? Yaitu memanipulasi ayat-ayat dalam Alkitab atau Al Quran, yang dipahami secara tekstual, bukan kontekstual.
Sebagai contoh, kalau dalam konteks peperangan itu hukumnya kan kill or to be killed, betul enggak sih? Kalau ketemu lawan ya kalau enggak dibunuh ya membunuh kan, gitu ya. Nah, ketika ayat-ayat peperangan tadi ditarik menjadi ayat dalam konteks damai, ini kan bahaya.
Misalnya kalau ketemu orang kafir, dalam tanda kutip ya, maka dimana pun kau bunuh. Nah itu konteksnya kan perang. Nah, kafir di sini maknanya yang memusuhi Islam. Kafir di sini artinya kan cover, tertutup ya kan? Sehingga tidak mau menerima kebenaran, tidak mau toleransi, atau musuh yang memusuhi agama, memusuhi Islam. Sehingga ketika perang maka musuh agama itu disebut kafir.
Nah, konteks perang kan dimana pun berada ketemu musuh kan kalau enggak dibunuh ya membunuh. Nah, kalau ini ditarik menjadi konteks dalam damai ini, ya nanti yang non-muslim dianggap kafir, ya kan? Berarti boleh dibunuh, halal darah dan nah ini yang dipahami seperti ini kan, ini kan menyimpang dari agama. Agama enggak seperti itu. Karena agama kan mengajarkan kasih sayang untuk semua.
Bahkan mereka bisa nekat menjadi pelaku bom bunuh diri?
Ya karena doktrinnya mereka itu ingin masuk surga. Dia didoktrin kamu itu banyak dosa, semua dosamu itu tidak akan bisa diampuni kecuali kamu sahid. Karena kalau sahid, matinya mati sahid, maka dosa tadi tidak akan dihisab, tidak akan diperhitungkan, tapi langsung masuk surga ketemu bidadari. Loh itu doktrinnya seperti itu. Sehingga orang yang tidak paham agama akan cenderung kena.
Karena Kurang Literasi dan Kurang Gaul
Setelah peristiwa Bom Bali 2002, kita mulai akrab dengan yang namanya terorisme. Bagaimana kita mendefinisikan terorisme tersebut?
Terorisme menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme didefinisikan sebagai perbuatan atau tindakan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Jadi kekerasan di sini tidak hanya fisik, tapi narasi verbal, ancaman, ini juga masuk.
Ya tindakan perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, iya kan? Yang menimbulkan suasana teror, rasa takut secara meluas, secara masif di masyarakat yang bermotif ideologi politik maupun gangguan keamanan.
Jadi kalau narasinya dilengkapi nih ya, tindakan atau perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror dan rasa takut secara meluas di masyarakat, menimbulkan korban jiwa, menimbulkan kerusakan dan atau kehancuran terhadap fasilitas publik, fasilitas internasional, objek-objek vital, fasilitas lingkungan hidup, dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.
Jadi gerakan mereka ini otomatis tidak hanya gerakan secara jaringan ya. Jadi makanya ada lone wolf. Nah, lone wolf itu artinya serigala yang menyendiri. Jadi dia melakukan aksi terorisme tapi sendiri. Dia terpapar secara ideologi tetapi tidak masuk secara organisasi, secara jaringan.
Sebagai contoh, kayak yang menyerang di Mabes Polri. Ya seorang perempuan itu loh ya, Zakia itu kan. Dia terpapar secara ideologi, paham terorisme. Dari mana? Dari media sosial. Dari mana? Dari ujaran-ujaran kebencian yang dia dengar di media sosial. Tapi dia tidak bergabung dalam organisasi JAD, Jamaah Ansharut Daulah, gitu.
Sekarang dengan ramainya pembicaraan soal hubungan politik dan agama di media sosial bukan tidak mungkin menjadi awal tumbuhnya bibit-bibit baru terorisme?
Sangat mungkin, jadi kan leveling atau tahapan seseorang atau kelompok orang sebelum jadi teroris itu yang pertama adalah mereka eksklusif dulu. Kalau eksklusif itu artinya ya dia mengelompok, merasa diri kelompoknya yang paling benar, orang lain salah.
Nah yang kedua, setelah dia eksklusif, otomatis dia akan intoleransi terhadap keragaman, nggak mau menghormati perbedaan. Apalagi di Pilpres itu menjalar kan? Karena pilihannya menganggap orang lain salah, pasti ini ya nggak boleh ini, sudah intoleran itu.
Setelah eksklusif, kemudian intoleran, ya kan? Nah, baru dia meningkat menjadi radikal, radikalisme. Kalau radikal kan boleh. Yang sedang kita diskusikan itu diskusi secara mendasar, mengakar, substansial ya kan boleh. Tapi tidak boleh isme, isme itu paham atau ideologi. Radikal, good. Radikalisme, enggak boleh.
Nah eksklusif, intoleran, radikalisme, dia sudah lengkap, oh berarti negara ini enggak benar. Muncullah persepsi ketidakadilan, pemerintah tidak adil, pemerintah zalim, berarti karena tidak berdasarkan agama, dasarnya adalah Pancasila. Itu masuk dia radikal ya. Masuk dia radikalisme.
Tapi kenapa seseorang bisa begitu mudah dicuci otaknya, itu karena kurang literasi atau lainnya?
Kurang literasi, kurang piknik, kurang bergaul, karena eksklusif tadi kan? Makanya harus banyak bergaul, banyak baca buku, banyak dolan, piknik. Lah ini belum-belum musik sudah haram, ya toh? Apalagi? Kumpul-kumpul bid'ah, iya kan? Yasinan, kenduri, maulid, sedekah bumi sesat. Ya akhirnya kan kurang piknik.
Kebebasan berdemokrasi atas nama intelektual, atas nama akademisi, terus menghujat. Itu kira-kira mempropaganda atau memecah-belah atau mempersatukan? Membangun kebencian, membangun social distress, ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara, pemerintah ataupun pemimpinnya yang sah dengan ujaran kebencian, dengan caci maki.
Ya ada juga yang dengan fitnah dengan hoaks, ini kira-kira Pancasilais atau agamis atau enggak? Kita harus merefleksi diri sebagai bangsa yang paling heterogen di muka bumi. Artinya, bangsa kita adalah bangsa yang memiliki potensi konflik paling besar di dunia.
Alasannya apa, Pak?
Coba kita bandingkan ya. Bangsa Arab secara umum. Bangsa Arab ini kan satu suku bangsa Arab, satu bahasa Arab ya. Relatif homogen agamanya Islam ya, tapi harus terpecah menjadi 21 negara. Ada Arab Saudi, Uni Emirat Arab, ada Qatar, Yaman, Kuwait ya, dan lain sebagainya, ya kan?
Suriah konflik, Libya konflik, Afghanistan itu hanya 7 suku bangsa tapi berkonflik sampai sekarang. Kemudian Somalia, Somalia itu relatif homogen. Satu negara, satu suku bangsa, satu agama, satu bahasa, satu mazhab, satu aliran. Kita kalau dengar negara Somalia, apa yang teringat? Bajak laut, negara konflik, negara gagal, padahal itu homogen.
Nah, kita bandingkan dengan negara kita, Indonesia. Ada 1.300 lebih suku bangsa coba, bahasa lokalnya lebih dari 700, tersebar pada 17.480 pulau ketika air laut pasang. Kalau air laut surut tambah itu pulaunya. Kalau punya rezeki beli pulau aja tuh, ada ribuan pulau belum dikasih nama itu, bayangkan ya. Sudah sukunya 1.300 lebih, bahasa lokalnya ada 700 lebih, pulaunya paling banyak, agamanya paling banyak di dunia.
Indonesia yang terkenal itu kan 6 agama besar nih. Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, Katolik, Protestan. Ternyata ada kepercayaan lokal sebelum 6 agama datang ke Nusantara. Penghayat kepercayaan ada Kejawen, ada Sunda Wiwitan, Kapitayan. Jangan disebut animisme, diksi Belanda itu, diksi penjajah.
Ini yang harus kita luruskan, mereka itu Tuhannya sama, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa kok disebut animisme. Dia enggak menyembah patung, enggak nyembah apa, enggak. Enam Agama besar plus yang tergabung dalam penghayat kepercayaan tadi, itu ada 1.638. Begitu plural, begitu heterogennya bangsa kita. Wajar dong, kalau dianggap sebagai bangsa yang memiliki potensi konflik paling besar.
Inilah pentingnya Pancasila, mempersatukan pluralitas dan perbedaan keragaman tadi. Kalau Pancasila diganti dengan katakanlah ekstrem kanan, ingin agama, berdasarkan agama, berdasar Islam. Kamu enggak terima non-muslim, Papua ingin merdeka, Maluku, Sulawesi Utara ingin merdeka. Pecah kan? Atau ingin, apalagi liberalisme, kapitalis, wah jadilah oligarki dan lain sebagainya.
Advertisement
Yang Dilarang Organisasinya, Ideologinya Tidak
Menurut penilaian Bapak, seberapa kuat pengaruh terorisme saat ini di Indonesia?
Kalau dibilang kuat atau tidak kuat ya, maka saya lebih senang dengan mengatakan mengkhawatirkan. Ini berpotensi membuat konflik, memecah belah bangsa. Dan ini selalu menunggangi agama yang mayoritas, menunggangi kebebasan berdemokrasi walaupun mereka anti-demokrasi sebenarnya.
Teroris ini anti-demokrasi, karena demokrasi itu dianggap produk thaghut, produk setan. Dia ingin mendirikan negara agama menurut versinya, atau sering disebut teokrasi ya. Negara Tuhan. Semuanya harus berdasarkan firman-firman Tuhan menurut versi mereka. Nah, yang jadi masalah, kenapa saya lebih senang mengatakan mengkhawatirkan?
Pernah dengar enggak sih komunisme, marxisme, leninisme di Indonesia? Sudah jarang sekali kan? Dan relatif kalau ada itu ternyata setelah diungkap, ditangkap, ternyata hoaks. Dia sendiri yang teriak-teriak komunisme. Dia sendiri yang bikin bendera, dia sendiri yang bakar. Setelah ditangkap, ditelusuri, hanya untuk membuat gaduh.
Kenapa bisa begitu? Karena ekstrem kiri atau radikalisme kiri yang mengatasnamakan komunisme, marxisme, leninisme sudah dilarang. Larangannya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 66. Dikuatkan pasca-reformasi dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999. Larangan terhadap penyebarluasan atau propaganda ideologi komunisme, marxisme, leninisme, clear.
Nah yang tidak dilarang itu yang ekstrem kanan atau radikalisme kanan dan lainnya. Jaringan teroris dilarang. Hizbut Tahrir, HTI dilarang, dibubarkan, FPI dibubarkan, yang dilarang yang dibubarkan organisasinya dengan Undang-Undang Ormas. Tetapi ideologinya tidak dilarang. Yang dilarang kan cuma yang kiri, yang kanan yang lainya, yang ingin khilafah, ingin mendirikan negara Islam, ya ingin merdeka.
Kalau hanya ingin dan menyebarkan enggak apa-apa. Kalau sudah angkat senjata baru ditindak. Tapi kan mindset paradigma masyarakatnya kan sudah teracuni dulu. Sampai sini paham ya? Jadi ini sangat mengkhawatirkan bagi negara Indonesia yang sangat plural, yang sangat majemuk ini.
Inilah yang namanya ideologi transnasional. Ideologi transnasional ini adalah kontra atau antitesa ideologi Pancasila, yang notabene nasionalisme moderat, yang bisa mempersatukan kita.
Lantas apa yang harus dilakukan masyarakat agar bisa mencegah munculnya perilaku seperti itu?
Mitigasi ya. Mitigasi baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Jadi begini, ada 4 atau 5 poin indikator seseorang atau kelompok orang itu masuk dalam kategori radikalisme, yang berujung atau berpotensi menjadi terorisme. Indikator yang pertama, seseorang dikatakan radikalisme jikalau mereka tidak memiliki komitmen kebangsaan, yaitu konsensus nasional.
Tidak punya komitmen terhadap Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 45. Dia ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Ini masuk. Yang kedua, mereka eksklusif, yang kacamata kuda tadi, merasa paling benar, sombong, dan lain sebagainya, dan intoleran terhadap keragaman yang ada.
Yang ketiga, mereka anti-budaya dan kearifan lokal, terutama anti-budaya, budaya gotong-royong, persatuan, yang dicerminkan dalam tradisi-tradisi keagamaan. Misalnya ada yasinan, tahlilan, sedekah bumi, maulid, halal bi halal. Kalau di Nasrani ada apa itu namanya, Jumat Agung misalnya gitu ya. Paskah, itu tuh anti mereka terhadap itu, nah itu masuk radikalisme.
Yang keempat, mereka pro kekerasan. Artinya itu orang berbuat keras atau bullying, kekerasan baik kekerasan fisik maupun verbal. Orang memfitnah, oh enggak apa-apa, enggak seiman, nah gitu loh. Itu termasuk pro-kekerasan.
Baru yang terakhir, mereka anti terhadap negara dan pemerintahannya yang sah. Anti di sini bukan berarti kritis, kritis wajib dong di era demokrasi boleh, tapi kritis harus membangun, harus konstruktif, harus rasional, harus memberi solusi.
Nah, anti di sini maknanya membangun kebencian, membangun kebencian, memecah belah, membangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, terhadap negara. Dengan hoaks, fitnah, adu domba. Kalau pemerintah sudah tidak dipercaya, maka bisa konflik. Kalau sudah konflik, maka bisa diambil alih kekuasaannya. Kan begitu.
Jadi apa yang harus dilakukan?
Satu, hati-hati di dalam menggunakan gadget, handphone. Yang kedua, unfollow terhadap oknum penceramah, akun-akun yang mengajarkan kebencian, yang mengajarkan intoleran, yang mengajarkan radikalisme, yang mengajarkan anti-pemerintahan, anti ya, sekali lagi bukan kritis, kalau kritis boleh. Harus unfollow, itu penyebar virus semua.
Yang ketiga, follow terhadap akun penceramah yang mendinginkan, yang mempersatukan, yang mendamaikan. Nah yang keempat, yakini bahwa Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, Undang-Undang Dasar 1945, ini adalah perjanjian atau konsensus nasional, perjanjian suci yang harus kita taati, yang harus kita hormati, dan harus kita amalkan.
Kenapa? Pancasila memang bukan agama dan tidak untuk menggantikan agama. Tetapi Pancasila itu dirumuskan oleh founding father bangsa Indonesia, para ulama, para tokoh bangsa, tokoh nasional yang digali dari nilai-nilai luhur agama dan budaya Nusantara. Semua silanya itu adalah perintah Tuhan di dalam agama.
Jadi kalau mengamalkan Pancasila, sejatinya mengamalkan agama. Melawan Pancasila, sejatinya melawan agama. Dan yang terakhir, bangsa kita, bangsa Indonesia ini kaya budaya, kaya kearifan lokal, kaya keragaman, tapi juga kaya sumber daya alam. Leluhur kita pernah menguasai peradaban dunia. Sebelum Masehi ada yang terkenal katanya bangsa Atlantis, ada Sriwijaya, ada Majapahit.
Artinya DNA bangsa Indonesia itu DNA orang-orang hebat, dan kita punya sumber daya yang luar biasa sebagai anugerah Tuhan, ini harus dijaga ya. Bangsa kita akan maju, akan jaya, akan sejahtera kalau masyarakatnya semua kompak, bersatu, rukun membangun untuk kemajuan bangsa. Jangan mau diadu domba, itu saja.
Artinya perbedaan itu harus dilihat sebagai anugerah?
Sekarang begini, kita kan ada Bhinneka Tunggal Ika ya, berbeda-beda tetapi tetap satu. Ini kan sudah digunakan, filosofinya digunakan oleh PBB loh. Ada itu banyak di Youtube atau di media, karena memang Bhinneka yang berbeda-beda. Perbedaan ini adalah kehendak Tuhan, ini sunatullah. Hakikatnya perbedaan ini adalah dari satu Tuhan.
Kita ini kan memang harus banyak wacana diskusi ya, kan sebagai untuk edukasi dan untuk inspirasi. Karena ya ini wujud kepedulian kita pada bangsa kita yang kita cintai ini, ya kan? Sekali lagi, bahwa perbedaan itu sunnatullah.
Orang yang tidak menghormati perbedaan itu kan aneh. Orang itu kehendak Tuhan kok, betul enggak sih? Indah kan? Kalau beda baju kan enggak apa-apa, tapi esensinya tetap manusia. Makanya kalau Gus Dur tuh mengatakan, orang yang hebat, orang yang level tertinggi itu ketika merasa persaudaraan sesama manusia. Kalau bahasa agama Islamnya itu namanya ukhuwah insaniyah.
Setelah sesama saudara, sesama agamalah yaitu ukhuwah Islamiyah, sesama Islam bersaudara. Ada ningkat lagi namanya ukhuwah wathoniyah. Kita saudara sesama anak bangsa. Tapi paling tinggi kata Gus Dur dan kata para ulama ya, adalah ukhuwah insaniyah. Saudara sesama manusia.
Bahwa dalam diri manusia itu ada fihimir ruhi, dalam Islam Ruhul Kudus, itulah Bhinneka Tunggal Ika.