Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto enggan berkomentar soal pernyataan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengincar kursi Ketua Umum PDIP dan Golkar.
Airlangga justru melempar kembali pernyataan ke Hasto. “Tanyakan kepada yang memberi statement,” kata Airlangga di Kantor DPP Golkar, Rabu (3/4/2024).
Baca Juga
Sementara Presiden Jokowi menegaskan tindakan seperti itu tidak patut dilakukan. “Jangan seperti itu,” singkat Jokowi kepada awak media saat ditemui di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Rabu (3/4/2024).
Advertisement
Jokowi lantas menganggap pernyataan Hasto sebagai sebuah candaan. Namun saat ditegaskan apakah benar pernyataan yang disampaikan Hasto, Jokowi hanya terkekeh dan bertanya balik kepada awak media.
“Bukannya (Ketum) Golkar?,” tanya presiden.
Jokowi lantas memastikan, tindakan rebut merebut adalah tidak baik. Sehingga dia meminta hal tersebut jangan dilakukan.
“Katanya mau ngerebut Golkar? Katanya mau ngerebut? Masak semua mau direbut semuanya? Jangan, jangan seperti itu,” Jokowi menandasi.
Sebelumnya, Hasto Kristiyanto mengungkapkan ada upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengincar kursi ketua umum PDIP yang diduduki Megawati Soekarnoputri.
Menurut Hasto, Jokowi ingin mempertahankan kekuatan politik dengan menguasai parpol, yakni Golkar dan PDIP.
"Rencana pengambilalihan Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Jadi, jauh sebelum pemilu, beberapa bulan, antara lima-enam bulan. Ada seorang menteri power full," kata Hasto dalam keterangannya, Selasa (2/4/2024).
Hasto juga mengungkapkan, dalam kabinet Jokowi, ada menteri power full dan menteri superpower full. Jokowi lantas menugaskan menyeri power full untuk menjembatani pengambilalihan kursi ketum PDIP
"Supaya enggak salah, ini ditugaskan untuk bertemu Ryaas Rasyid oleh Presiden Jokowi. Pak Ryaas Rasyid ditugaskan untuk membujuk Bu Mega, agar kepemimpinan PDI Perjuangan diserahkan kepada Pak Jokowi. Jadi, dalam rangka kendaraan politik. Untuk 21 tahun ke depan," kata Hasto.
Upaya pengambilalihan parpol yang dipimpin Megawati ini pun pernah terjadi para era Soeharto yang ingin mempertahankan kekuasaan lewat Pemilu 1971.
"Nah, ini harus kita lihat, mewaspadai bahwa ketika berbagai saripati kecurangan Pemilu 71, yang menurut saya 71 saja enggak cukup, ditambah 2009, menghasilkan 2024, kendaraan politiknya sama," kata Hasto.
Hasto juga menyampaikan ada juga upaya dari kubu Jokowi untuk membentuk koalisi partai politik yang besar.
"Sekarang ada gagasan tentang soal koalisi besar permanen seperti ada barisan nasional," kata Hasto.
Hasto PDIP: Untuk Jadi Pejabat Strategis Harus Kenal Jokowi Sejak di Solo
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menuding Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkhianat pada nilai-nilai yang mengedepankan proses dan perjuangan, tetapi malah melakukan nepotisme.
"Muncul lah hampir seluruh keluarga Pak Jokowi siapa yang dekat dengan Pak Jokowi untuk maju," ujar Hasto saat diskusi secata daring, Sabtu (30/3/2024).
Sehingga, kata dia, jika ingin menjadi pejabat strategis harus mengenal Presiden Jokowi sejak menjadi Wali Kota Solo.
"Di dalam penempatan jabatan strategis pun kami melihat untuk menjadi pejabat Indonesia itu harus kenal Pak Jokowi dulu di Solo, ini kan antimeritokrasi, apakah Solo betul-betul menjadi wahana penggemblengan," kata Hasto.
Ia mencontohkan, Perwira TNI AU Marsekal Madya Tonny Harjono yang disebut akan maju menjadi Kepala Staf TNI AU ternyata, memiliki hubungan keluarga dengan Ibu Negara Iriana.
Advertisement
Sekpri Jokowi Digadang Maju Jadi Calon Bupati Boyolali
Selain itu, sekretaris pribadi Presiden Jokowi, Devid Agus Yunanto kini digadang-gadang menjadi calon Bupati Boyolali.
"Dan sekarang yang menjadi KASAU itu juga menikah sama saudaranya Ibu Iriana, ya Pak Tonny, Marsekal Tonny, itu istrinya meninggal kemudian dijodohkan oleh katanya saudara Ibu Iriana," beber dia.
"Sehingga ketika segala sesuatunya melihat Indonesia dalam perspektif pengalaman di Solo, maka ini anti terhadap meritokrasi tadi, diperburuk dengan anti terhadap hukum. Sehingga ketika kami akhrinya sadar dan melakukan evaluasi, ternyata sudah begitu banyak kebohongan-kebohongan yang sudah dilakukan sejak awal," imbuh Hasto.