Liputan6.com, Jakarta Hakim konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa pilpres 2024.
Menurut Arief, pernyataan Joko Widodo alias Jokowi bahwa presiden boleh berkampanye tidak dapat diterima nalar sehat dan etika yang peka.
Baca Juga
Bahkan hakim MK Arief Hidayat dengan tegas menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi sebagai upaya menyuburkan politik dinasti dan nepotisme sempit.
Advertisement
Dalam penjabarannya, Arief mengatakan, budaya hukum merupakan gambaran dari sikap, mental, dan perilaku terhadap hukum, serta keseluruhan faktor-faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima oleh warga dalam kerangka budaya masyarakat.
"Poin yang terakhir ini terkait erat dengan kultur berhukum dan berkonstitusi dalam negara kita. Selama ini pembangunan hukum di negara kita amat lemah pada aspek ini, bahkan cenderung diabaikan. Dampak pengabaian ini dapat kita rasakan sekarang, misal dalam kasus pemilu. Pasca perubahan sistem pemilu yang semula tidak langsung menjadi langsung," tutur Arief Hidayat di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Di satu sisi, lanjut Arief, sistem pemilu dan pemilukada langsung telah memposisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, serta memiliki kewenangan menentukan calon pemimpinnya melalui mekanisme pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.
"Namun di sisi lain, kultur dan mental masyarakat dalam kondisi belum siap tatkala menghadapi gempuran serangan perinsos, bansos, Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan semacamnya yang intensif dan melibatkan suprastuktur politik tertinggi, yakni pemerintah yang bertindak dan bersikap partisan terhadap calon tertentu," jelas dia.
Arief mengatakan, pemilu 2024 ini secara umum amat berbeda dibandingkan dari penyelengaraan pemilihan umum tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Yang paling menonjol terletak pada dugaan intervensi kuat dari sentral cabang kekuasaan eksekutif, yang cenderung dan secara jelas mendukung calon tertentu dengan segenap infrastruktur politiknya.
"Anggapan bahwa presiden boleh berkampanye merupakan justifikasi yang tak dapat diterima oleh nalar yang sehat dan etika yang peka. Memang, desain politik hukum UU 7/2017 tentang Pemilu yang membolehkan presiden berkampanye memiliki cakupan ruang yang terbatas, yakni tatkala presiden akan mencalonkan diri kembali dalam konstestasi pemilihan presiden/wakil presiden untuk kali kedua," kata dia.
"Artinya, presiden boleh berkampanye ketika posisinya adalah sebagai pasangan calon presiden dan bukan berkampanye untuk mempromosikan pasangan calon presiden tertentu ataupun yang didukungnya," sambung Arief.
Â
Hakim MK Arief Hidayat Sebut Tindakan Presiden Jokowi Mengancam Demokrasi
Arief pun mengulas bagian kedelapan tentang Kampanye Pemilu oleh Presiden dan Wakil Presiden dan Pejabat Negara lainnya pada Pasal 299 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 300; dan Pasal 301 UU Pemilu.
Berdasarkan penafsiran sistematis dan gramatikal terhadap pasal tersebut, telah secara jelas diatur bahwa hak presiden/wakil presiden untuk berkampanye digunakan pada saat pasangan calon Presiden wakil presiden menjadi pasangan calon presiden wakil presiden dalam kontestasi pemilu. Hal ini tampak pada Pasal 301 UU Pemilu, yakni frasa 'Yang telah ditetapkan secara resmi oleh KPU sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden'.
"Oleh karena itu, apabila presiden/wakil presiden turut mengkampanyekan calon yang didukungnya, maka tindakan ini telah mencederai prinsip moral dan etika kehidupan berbangsa dan bernegara yang seharusnya dijunjung tinggi, sebagaimana termuat di dalam TAP MPR Nomor V/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa," bebernya.
Secara filosofis, Tap MPR itu lahir sebagai akibat adanya kemunduran dalam etika kehidupan berbangsa, sehingga menyebabkan krisis multidimensi. Untuk memulihkannya kembali, maka MPR kala itu membuat Rumusan Pokok-Pokok Etika Kehidupan Berbangsa sebagai pedoman bagi pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia, dalam rangka menyelamatkan dan meningkatkan mutu kehidupan berbangsa.
"Kembali ke soal perselisihan hasil pemilu, sejak pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019 tak pernah ditemukan pemerintah turut campur dan cawe-cawe dalam pemilihan presiden\wakil presiden. Akan tetapi, pada pemilihan presiden/wakil presiden 2024, terjadi hiruk pikuk dan kegaduhan disebabkan secara terang-terangan Presiden dan aparaturnya bersikap tak netral bahkan mendukung pasangan calon presiden tertentu," kata Arief.
"Apa yang dilakukan Presiden seolah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme sempit dan berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan," ucap Arief.
Oleh karena itu, Arief menyatakan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hasil pemilihan Umum presiden/wakil presiden tahun 2024 ini, MK sudah sepatutnya tidak hanya sekadar berhukum melalui pendekatan yang formal legalistik dogmatis yang hanya menghasilkan rumusan hukum yang rigid, kaku, dan bersifat prosedural.
"Melainkan perlu berhukum secara informal nonlegalistik ekstensif yang menghasilkan rumusan hukum yang progresif, solutif, dan substantif tatkala melihat adanya pelanggaran terhadap asas-asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil," Arief menandaskan.
Advertisement
Hakim MK Arief Hidayat: Terjadi Pelanggaran Pemilu Terstruktur Sistematis
Hakim MK Arief Hidayat menilai telah terjadi pelanggaran Pemilu secara terstruktur dan sistematis yang dilakukan oleh Presiden Jokowi beserta seluruh elemen pemerintah lainnya demi memenangkan salah satu paslon di pilpres 2024.
"Apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dengan dengan segenap struktur politik kementerian dan lembaga dari tingkat pusat hingga level daerah telah bertindak partisan dan memihak calon pasangan tertentu," tutur Arief di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Arief mengingatkan, dalam menjalankan fungsi pemerintah, seluruh organ negara haruslah tunduk pada prinsip konstiusionalisme yang ditentukan dalam konstitusi, dan dipagari oleh prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi alias check and balances antarcabang kekuasaan negara.
Seluruhnya demi memastikan bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan yang terkait dengan proses pemilu telah sejalan dengan hukum dan undang-undang, sehingga tercipta tujuan bernegara sebagaimana alinea keempat pembukaan UUD 1945.
"Tak boleh ada peluang sedikit pun bagi cabang kekuasaan tertentu untuk cawe-cawe dan memihak dalam proses Permilu Serentak 2024. Sebab, dia dibatasi oleh paham konstitusionalisme dan dipagari oleh rambu-rambu hukum positif, moral, dan etika," jelas dia.
Yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi, sambung Arief, telah mencederai Pilpres dan Pemilu 2024. Hal itu berpotensi berdampak pada sikap abuse of power dan abuse of ethics di kemudian hari.
"Tindakan ini secara jelas telah menciderai sistem keadilan pemilu (electoral justice) yang termuat tidak hanya di dalam berbagai instrumen hukum internasional, tetapi juga diadopsi di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa penyelenggaraan Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil," ungkapnya.
"Pada titik inilah pemerintah telah melakukan pelanggaran pemilu secara terstruktur dan sistematis," Arief Hidayat menandaskan.
Â