Sukses

Prabowo-Gibran Dinilai Punya PR Berat Usai MK Tolak Gugatan 01 dan 03, Apa Itu?

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC) Ahmad Khoriul Umam, putusan MK ini sudah diduga sebelumnya.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstistusi (MK) telah menolak seluruhnya gugatan Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud Md. Putusan MK terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) itu dibacakan Senin (22/4/2024).

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC) Ahmad Khoriul Umam, putusan ini sudah diduga sebelumnya lantaran selain karena memang jarak perbedaan suara yang sangat jauh, upaya pembuktian atas tuduhan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM) memang cukup berat dilakukan.

"Tim hukum 01 dan 03 seharusnya bisa menghadirkan alat bukti yang kuat berupa surat atau tulisan; keterangan saksi; keterangan ahli; keterangan para pihak; petunjuk; dan alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa, yang bisa meyakinkan Mahkamah bahwa semua proses itu terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif." kata dia kepada Liputan6.com, Senin (22/4/2024).

Sesuai penjelasan Pasal 286 UU Pemilu dan Peraturan Bawaslu No.8/ 2008, pelanggaran TSM dimaknai sebagai sebuah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama. Selain itu, pelanggaran itu harus bisa dibuktikan telah direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi; serta dijalankan secara masif sehingga dampaknya sangat luas terhadap hasil pemilihan.

"Namun demikian, dalam proses persidangan, Tim Hukum 01 dan 03 tampaknya kurang membekali diri dengan 6 jenis alat bukti yang kuat. Keterangan saksi lapangan yang seharusnya bisa membuka penjelasan modus operandi dari operasi TSM itu justru terbatas dan lebih banyak ditekankan keterangan ahli yang banyak hadir dengan keahlian sekaligus subjektivitas masing-masing," jelas dia.

Ditambah lagi, banyak saksi dan ahli yang mundur juga patut menjadi evaluasi bagi tim 01 dan 03. Sehingga, wajar jika Mahkamah akhirnya memutuskan menolak gugatan, dengan menyisakan dissenting opinion dari 3 hakim yang berhak mengadili PHPU ini.

"Dengan demikian, putusan MK ini merupakan tanda selamat datang bagi pemerintahan baru, Prabowo-Gibran yang akan dinyatakan sebagai pemenang secara sah dan konstitusional oleh KPU dan MK," ujar dia.

Kendati demikian, sebagai pemenang, Paslon 02 Prabowo-Gibran memiliki PR yang tidak ringan. Rangkaian kontroversi yang membayangi proses kemenangannya tentu berpengaruh pada kredibilitas dan legitimasinya, terutama di mata para basis pemilih loyal 01 dan 03, kalangan civil society dan juga dunia internasional yang concern pada perkembangan demokrasi.

"Kendati demikian, suara kritis itu tampaknya tidak terlihat di masyarakat di akar rumput, yang tampaknya tidak memiliki political engagement yang kuat dengan proses politik ini. Karena itu, tugas yang bisa dilakukan Prabowo-Gibran adalah melakukan konsolidasi kekuatan politik untuk menjaga stabilitas pemerintahan di awal transisi kekuasaan mereka," terang Umam.

 

2 dari 2 halaman

Konsolidasi Demokrasi Harus Tetap Terjaga

Selain itu, Prabowo-Gibran juga harus disiplin dalam bersikap dan bermanuver supaya tidak memunculkan gejolak dan instabilitas politik yang tidak produktif, sembari menjawab tudingan dan kekhawatiran masyarakat kritis terkait trend kemunduran demokrasi di masa kepemimpinan mereka.

"Prabowo-Gibran harus bisa membuktikan bahwa konsolidasi demokrasi akan tetap terjaga di masa pemerintahan mereka ke depan," dia menegaskan.

Umam menambahkan, terlepas dari akan hadirnya pemerintahan baru, materi dissenting opinion dari 3 hakim MK juga penting untuk dijadikan sebagai refleksi bersama untuk memperbaiki kualitas pemilu dan demokrasi Indonesia ke depan. Dalam konteks ini, evaluasi mendasar dari Pemilu 2024 terletak pada aspek netralitas kekuasaan yang harus dijaga betul.

"Dibutuhkan komitmen penuh dari pemimpin tertinggi di Republik ini, untuk memastikan instrumen kekuasaan negara tidak menjadi alat kepentingan dan terpolitisasi. Sehingga tidak memunculkan kekhawatiran atas praktik pelanggaran TSM," kata dia.

Selain itu, penguatan kapasitas dan kualitas penyelenggara pemilu juga perlu dievaluasi total. Selain terkait tahapan-tahapan Pemilu yang menjadi tanggung jawab KPU yang sempat memantik sejumlah kontroversi, laporan-laporan dugaan pelanggaran dan kecurangan yang seolah didiamkan oleh Bawaslu dengan alasan laporan belum lengkap, juga wajib dievaluasi total.

"Sebagai lembaga negara dengan tupoksi pengawas Pemilu, Bawaslu harus diperkuat secara kelembagaan, agar lebih punya nyali untuk berhadapan dengan aktor-aktor politik yang sebenarnya para aktor-aktor politik itu juga yang sebelumnya memilih para Komisioner Bawaslu. Konflik kepentingan dan bias kekuasaan harus dinetralisir. Jika tidak, maka keberadaan mereka seolah tidak ada (wujuduhu ka adamihi)," terang Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina ini.Â