Sukses

Amnesty International Sebut Kebebebasan HAM Alami Kemunduran, Ini Alasannya

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena menyebut, kebebasan hak asasi manusia (HAM) di dunia pada 2023 mengalami kemunduran.

Liputan6.com, Jakarta Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena menyebut, kebebasan hak asasi manusia (HAM) di dunia pada 2023 mengalami kemunduran.

Hal ini disampaikannya saat  membeberkan Laporan Tahunan Amnesty di kantor Amnesty International Indonesia, Gedung HDI Hive, Jakarta Pusat pada Rabu (24/4/2024).

"Tahun 2023 bukan tahun yang mudah bagi Hak Asasi Manusia secara global maupun secara regional dan nasional," kata Wirya kepada wartawan.

Menurut dia, ada empat indikator yang membuat ini turun. Wirya pun menyinggung konflik yang terjadi di belahan dunia seakan-akan membuat Hak Asasi Manusia (HAM) mundur sebelum tahun 1948.

Di mana saat itu tidak kesepakatan semua manusia setara dan martabat serta harkat manusia harus dilindungi.

Wirya mengatakan, menggarisbawahi saat beberapa negara terkuat di dunia seakan-akan menunjukkan hukum internasional semakin dilemahkan. Di mana tataran berbasis peraturan global telah terlihat sekarang mengalami tekanan besar.

"Dunia kelihatannya gagal dalam menjaga tatanan peraturan hukum internasional dan jelas ini berdampak nyata bagi orang-orang di seluruh dunia. Dunia masyarakat individu memanen intervensi dari pelbagai eskalasi konflik dan hukum internasional," ujar dia.

Wirya menyampaikan Amnesty menyoroti empat hal di dalam laporannya. Pertama, pelanggaran hak warga sipil dalam konflik bersenjata. Kedua, penolakan terhadap keadilan berbasis gender.

Ketiga, dampak krisis ekonomi, perubahan iklim degradasi lingkungan terhadap kelompok masyarakat di pinggir hutan termasuk masyarakat adat. Keempat, ancaman teknologi baru terhadap pemenuhan HAM seperti Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.

Dia membeberkan, munculnya berbagai pelanggaran hak warga sipil dalam konflik bersenjata. Menurutnya, akibat dunia gagal dalam menjaga tatanan peraturan global sehingga warga sipil menanggung beban terberat akibat konflik bersenjata.

Dalam konflik yang melanggar hukum humaniter atau dikenal juga dengan nama hukum perang seperti agresi Rusia terhadap Ukraina, penyerangan oleh militer myanmar terhadap masyarakat warga sipil, penyerangan Gaza oleh pihak berwenang di Israel.

"Kita melihat betapa banyak warga sipil menjadi korban bahkan yang menjadi entah ini unik atau tuntutan bagi kita semua. Banyak diantara serangan serangan tersebut terdokumentasikan dan dibagikan secara langsung di medsos kita dan dunia menyaksikan semua pelanggaran HAM itu terjadi," ujar Wirya.

"Tapi tidak menggerakkan negara-negara yang berkuasa untuk menghentikan atau mengambil tindakan tegas mengakhiri konflik tersebut," dia menambahkan.

 

2 dari 3 halaman

Minta Ada Langkah Tegas

Karena itu, Amnesty International mendorong agar semua anggota negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengambil langkah tegas menghentikan konflik bersenjata ini termasuk mereformasi dewan keamanan PBB.

"Sehingga anggota tetap dewan tersebut tidak dapat menggunakan hak vetonya tanpa pengawasan," ujar dia.

Lebih lanjut, Wirya membeberkan, soal penolakan terhadap keadilan berbasis gender. Amnesty International melihat kesenjangan gender semakin memburuk, walaupun sebenarnya beberapa negara memperlihatkan keberhasilan mendorong kesetaraan gender.

"Tapi di-outside oleh kejadian-kejadian yang mengundurkan kesetaraan gender di beberapa negara," ucap dia.

Wirya mencontohkan di negara seperti Afganistan misalnya pihak berwenang telah melarang perempuan dan anak perempuan di luar sekolah dasar. Selain itu di Iran pihak berwenang mewajibkan perempuan menggunakan kerudung.

Di sisi lain perlindungan hukum untuk mencegah dan mengurangi kekerasan berbasis gender tidak berhasil untuk menangani secara sistematis kekerasan berbasis gender yang sudah mengakar dan imunitas sering kali terjadi dan dinikmati oleh para pelakunya.

Terkait hal ini, Amnesty International mendorong pemerintah d belahan dunia harus mendukung keadilan dan bergerak bersama untuk mengatasi diskriminasi terhadap perempuan dan memenuhi kebutuhan jangka panjang para korban.

"Pemerintah wajib mengadvokasi pencabutan undang-undang yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok tertentu," ucap dia.

 

3 dari 3 halaman

Singgung Krisis Ekonomi

Wirya kemudian membeberkan perihal krisis ekonomi, perubahan iklim degradasi lingkungan terhadap kelompok masyarakat. Amnesty International mengatakan hal ini turut mempengaruhi komunitas marjinal dan pembela HAM terhadap hal ini justru menjadi sasaran.

Di Indonesia misalnya ada beberapa kasus HAM lingkungan justru menjadi korban persekusi dan kriminalisasi.

Wirya mengatakan, pemerintah dan aktor korporasi juga tidak berhasil untuk memenuhi hak atas lingkungan hidup yang sehat.

"Mereka gagal untuk mengatasi atau mencegah degradasi lingkungan yang akut. Di sini juga kita menggarisbawahi dampak yang tidak proporsional dari masyarakat termarjinalkan terhadap kegagalan perlindungan hak sosial ekonomi serta hak atas lingkungan hidup sehat," ujar dia.

Terakhir, Wirya menerangkan mengenai munculnya kecerdasaan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang menurutnya harus disikapi secara serius.

Amnesty International beberapa komunitas termarjinalkan diberbagai belahan dunia terkena dampak negatif dari penggunaan Artificial Intelligence.

"Sistem AI dan teknologi jika tidak di reputasi maka memperkuat ketidaksetaraan dan merugikan hak akses pelayanan udara pengkondisian keamanan dan migrasi," ujar dia.

Dengan tantangan ini, Wirya mendorong pemerintah harus mengambil langkah langkah legislatif dan regulasi untuk mengatasi risiko dan kerugian akibat Artificial Intelligence.