Liputan6.com, Jakarta - Awal April 2024, PDIP melakukan akselerasi hukum dengan mengajukan gugatan PTUN kepada KPU RI terhadap keputusan Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan hasil rekapitulasi Pilpres dan Pileg 2024.
Baca Juga
Ketua Umum Komunitas advokat Lingkar Nusantara (Lisan) Hendarsam Marantoko menyampaikan, ada empat petitum yang menjadi sorotan dari PDIP. Empat petitum itu ialah menunda pelaksaan Keputusan KPU No 360 Tahun 2024. Kemudian memerintahkan KPU untuk tidak melakukan/menerbitkan keputusan apapun sampai dengan adanya putusan yang bersifat tetap.
Advertisement
"Dan keempat ialah mencabut keputusan KPU No 360 Tahun 2024 dan mencabut dan mencoret pasangan Prabowo-Gibran," kata dia, Rabu (24/4/2024).
Hal ini dimintakan PDIP karena KPU dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Atas hal itu, Ia menanggapinya dengan empat poin. Pertama, gugatan PTUN tidak relevan lagi dikarenakan pada 24 April 2024, Prabowo-Gibran sudah ditetapkan KPU RI sebagai pasangan Presiden-Wakil Presiden terpilih yang sesuai dengan amanat pasal 4 Peraturan KPU no 6 tahun 2024 dimana KPU harus menetapkan pasangan calon Prabowo-Gibran paling lambat 3 (tiga) hari setelah pembacaan putusan MK.
"Kemudian PDI P kembali “salah kamar” dengan mengajukan gugatan PMH terkait penetapan hasil rekapitulasi No 360 ke PTUN karena objek tersebut adalah ranah dari MK untuk mengadilinya," ujar dia.
Menurutnya, dari sini terlihat adanya dualisme, inkonsistensi dan overlap upaya hukum PDIP dengan mengajukan permohonan PHPU ke MK dan gugatan PMH ke PTUN dengan objek dan waktu yang sama terhadap Keputusan KPU No 360/2024 tersebut.
"Kita bisa cek dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Yurisprudensi MA No: 04.K/ PDT.PEN/2009 yang menyatakan Pengadilan tidak berwenang mengadili dan menguji Putusan MK terkait hasil Pemilu.” Hal di atas sesuai dengan nafas asas Lex dura set tramen scripta, asas Staro decises et Quieta Nonmoverre dan asas Similia Similabus," ujar dia.
Upaya Hukum Sudah Tertutup
Hendarsam menegaskan, keputusan MK final dan binding dan bersifat erga omnes. Oleh karenanya, seluruh upaya hukum maupun politik sudah tertutup, sehingga upaya hukum yang dilakukan setelah putusan MK adalah inkonstitusional.
"Petitum PDIP yang meminta KPU untuk tidak melakukan tindakan apa pun sampai dengan putusan PTUN mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah sikap yang egois, kekanak-kanakan dan tidak negarawan karena akan menciptakan kevakuman pemerintahan dan kekosongan hukum mengingat proses hukum di PTUN bisa memakan waktu bertahun-tahun, dan dalam hal ini PDI P tidak memberikan jalan keluar apapun terhadap akibat hukum dari Petitumnya tersebut," terang Hendarsam.
Selanjutnya, ia yakin dengan dasar hukum, logika hukum dan kenyataan politik yang sudah ada saat ini, bisa dipastikan gugatan PTUN dari PDIP tidak akan di terima.
Advertisement