Sukses

Senioritas di STIP Jakarta Kembali Makan Korban Jiwa, Mau Sampai Kapan?

Dunia pendidikan Tanah Air kembali tercoreng. Lembaga sekolah yang seharusnya menjadi wadah pembentukan karakter, etika dan moralitas, justru sebaliknya. Sekolah dijadikan tempat ajang unjuk kekuatan senior terhadap junior.

Liputan6.com, Jakarta Dunia pendidikan Tanah Air kembali tercoreng. Lembaga sekolah yang seharusnya menjadi wadah pembentukan karakter, etika dan moralitas, justru sebaliknya. Sekolah dijadikan tempat ajang unjuk kekuatan senior terhadap junior.

Seperti yang terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta. Seorang taruna junior tingkat satu kembali meregang nyawa akibat penganiayaan yang dilakukan seniornya.

Putu Satria Ananta Rustika, taruna berusia 19 tahun, harus mengubur mimpi setelah nyawanya melayang karena dianiaya senior. Ulu hatinya lebam usai mendapat hantaman sebanyak lima kali. Pada tubuh Putu juga terdapat luka-luka akibat penganiayaan.

"Memar pada mulut, lengan atas dan dada. Luka lecet di bibir. Memar pada paru dan per bendungan organ dalam," ujar Kepala Rumah Sakit RS Polri Kramat Jati, Brigjen Pol Hariyanto, saat menjelaskan hasil autopsi pada jasad Putu, Sabtu, 4 Mei 2024.

Dalam kasus kematian Putu Satria, polisi sudah menetapkan satu orang sebagai tersangka. Dia adalah Tegar Rafi Sanjaya alias TRS (21), taruna tingkat dua STIP Jakarta.

"Kami melakukan olah TKP, dan kami menyimpulkan bahwa ada sinkronisasi dari keterangan saksi, keterangan terduga pelaku yang sekarang sudah jadi tersangka," kata Kapolres Metro Jakarta Utara, Kombes Pol Gidion Arif Setyawan di Polres Jakarta Utara, Sabtu, 4 Mei 2024.

Penetapan tersangka itu setelah kepolisian melakukan gelar perkara dan berdasarkan keterangan sebanyak 36 orang saksi yang mengerucut pada Tegar Rafi Sanjaya.

"Singkatnya bahwa dari 36 orang yang kami lakukan pemeriksaan mengerucutkan pada peristiwa pidana, maka kami menyimpulkan tersangka tunggal di dalam peristiwa ini yaitu saudara TRS (Tegar Rafi Sanjaya)," jelas Gidion.

2 dari 5 halaman

Tersangka Tunggal

Gidion menjelaskan alasan Tegar Rafi Sanjaya menjadi tersangka tunggal karena rekan-rekan pelaku yang merupakan senior dari korban tidak terlibat melakukan kekerasan saat berada di lokasi kejadian.

"Putu Satria Ananta ini merupakan korban pertama yang mendapatkan pukulan tangan kosong dari pelaku TRS sebanyak lima kali, di bagian ulu hati korban yang membuat pingsan dan berujung pada kematian," kata Gidion seperti dikutip dari Antara.

Menurut Gidion, dalam konstruksi kasus benar ada lima orang senior yang memanggil lima junior yang dianggap melakukan kesalahan. Mereka dipanggil ke toilet.

"Korban menjadi orang pertama yang mendapatkan pemukulan dari pelaku, dan rekan-rekan pelaku belum melakukan aksi kekerasan," ujar Kapolres.

Sementara itu, terhadap empat rekan korban yang merupakan taruna tingkat satu STIP Jakarta juga belum mendapatkan aksi kekerasan dari pelaku. Meski begitu, polisi tetap mengambil visum keempat rekan korban tersebut untuk memastikan tidak mendapatkan aksi kekerasan.

"Ini pelaku tunggal yang melakukan aksi kekerasan yang membuat korban meninggal dunia," kata Gidion.

Akibat perbuatannya, Tegar Rafi dipersangkakan melanggar Pasal 338 Jo subsider 351 ayat 3 dengan ancaman 15 tahun penjara.

3 dari 5 halaman

Arogansi Senior Jadi Motif Penganiayaan

Polisi mengungkap pemicu penganiayaan hingga menyebabkan Putu Satria Ananta Rustika tewas. Aksi brutal Tegar Rafi dan rekan-rekannya dipicu masalah baju olahraga yang dikenakan korban bersama beberapa temannya.

Setidaknya ada lima mahasiswa tingkat 1 STIP Jakarta yang akan diberi sanksi oleh seniornya karena dinilai melakukan kesalahan. Namun hanya Putu yang menerima pukulan hingga menyebabkan tidak sadarkan diri dan meninggal dunia. Sementara empat teman Putu belum menerima tindakan dari seniornya.

"(Empat mahasiswa) belum ada kontak fisik antara tingkat dua dengan tingkat satu diproses itu. Tapi untuk menjaga semua clear, maka tetap kita lakukan visum. Nanti dokter menyatakan, tidak ada, ya tidak ada," kata Kapolres Metro Jakarta Utara, Kombes Pol Gidion Arif Setyawan kepada wartawan, Sabtu, 4 Mei 2024.

Gidion menjelaskan kasus penganiayaan ini berawal saat korban dan keempat taruna tingkat satu lainnya yang dinilai salah oleh seniornya.

"Ini kelima orang taruna tingkat satu semua melakukan sesuatu yang menurut senior ini salah. Apa yang dilakukan (junior) ini masuk kelas mengenakan baju olahraga. Di kehidupan mereka menurut senior ini salah," kata Gidion.

Kemudian, lanjut Gidion, korban bersama keempat orang lainnya dibawa ke toilet kampus perguruan tinggi yang berada di bawah Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tersebut.

Di sana, mahasiswa STIP atas nama Putu Satria Ananta Rustika (19) adalah orang pertama yang menerima pukulan. Hal itu karena adanya perkataan yang diucapkan oleh korban.

"(Keterangan) dari mereka, tersangka menyampaikan, 'mana yang paling kuat?'. Kemudian korban mengatakan, 'saya yang paling kuat'. Karena dia merasa bahwa dia adalah ketua kelompok dari komunitas tadi, tingkat satu ini," ujar Gidion.

Putu kemudian dipukul sebanyak lima kali hingga tidak sadarkan diri. Saat itu, tersangka mencoba melakukan pertolongan. Namun, tindakan dari tersangka itu justru memperparah keadaan korban.

"Dilakukan pertolongan dan dipindahkan ke suatu tempat. Kemudian, sebelum dipindahkan ke toilet dilakukan upaya penyelamatan, menurut tersangka nih ya, penyelamatan memasukkan tangan ke mulut untuk menarik lidahnya. Tapi itu justru yang menutup saluran (pernapasan), korban meninggal dunia," ujar Gidion.

4 dari 5 halaman

Tanggung Jawab Siapa?

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, kasus penganiayaan taruna senior terhadap junior di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta hingga tewas, merupakan tanggung jawab institusi terkait. Khususnya, kata dia, bidang kegiatan kemahasiswaan.

"Akan kita lihat kasusnya ya. Selama ini kan itu menjadi tanggung jawab dari institusi, termasuk kalau itu mahasiswa ya pimpinan yang bertanggung jawab di bidang kegiatan kemahasiswaan," ujar Muhadjir Effendy di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, 6 Mei 2024.

Muhadjir menyatakan pemerintah belum berencana melakukan intervensi ke pihak STIP Jakarta terkait kasus penganiayaan berujung kematian. Kata Muhadjir, pihaknya akan mendalami kasus ini terlebih dahulu untuk mengambil tindakan.

"Belum, belum kita belum sampai sejauh itu (intervensi)," ujar Muhadjir.

Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyampaikan ucapan belasungkawa dan keprihatinan atas kejadian tersebut. Budi memastikan kementeriannya ikut turun tangan untuk menangani kasus penganiayaan di STIP.

"Saya berbelasungkawa dan sangat prihatin. Kami sudah melakukan satu upaya penegakan hukum," ucap Budi Karya.

5 dari 5 halaman

Deretan Kasus Penganiayaan Berujung Kematian di STIP Jakarta

Aksi kekerasan berujung kematian yang dilakukan senior kepada junior di STIP Marunda, Jakarta Utara, bukan pertama kali ini terjadi.

Kasus kekerasan yang menewaskan taruna junior sudah sering terjadi di STIP Jakarta. Seperti tidak memberi efek jera kepada para pelaku, aksi arogansi senioritas di sekolah itu terus memakan korban jiwa.

Pada 12 Mei 2008, taruna tingkat pertama, Agung Bastian tewas di tangan 10 seniornya. Kasus kekerasan berujung kematian ini terungkap setelah korban tiga hari dimakamkan.

Polisi yang melihat kejanggalan pada kematian Agung, mendesak pihak keluarga untuk melakukan autopsi. Sebab, kematian Agung awalnya disebut karena kelelahan.

Setelah mendapatkan izin keluarga, polisi langsung membongkar makam Agung dan jasadnya kemudian diautopsi. Benar saja, dari hasil autopsi ada luka memar di dada dan muka. Tak hanya itu, lever Agung rusak dan kepala belakangnya mengalami pendarahan.

Kemudian, pada 25 April 2014, taruna Bernama Dimas Dikita Handoko (19) tewas setelah dianiaya para seniornya di rumah kos di Kawasan Semper, Jakarta Utara. Saat itu, kekerasan bukan hanya dialami Dimas. Enam temannya yang lain juga mendapatkan penganiayaan. Namun mereka selamat.

Kasus kekerasan berujung kematian kembali terjadi di STIP Jakarta. Kali ini menimpa Daniel Roberto Tampubolon. Taruna tingkat satu itu tewas pada 6 April 2015 usai mendapatkan penganiayaan dari para seniornya.

Aksi brutal para seniornya bukan hanya dilakukan dengan tangan kosong, melainkan benda keras. Sadisnya lagi, Daniel dipaksa memakan cabai rawit. Daniel pun tewas setelah mendapat hantaman di kepala, wajah, dan perut. Lima orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kematian Daniel.

Kekerasan di STIP Jakarta masih berlanjut. Taruna STIP angkatan 2016 bernama Amirullah Adityas (19) kali ini yang tewas usai dianiaya senior pada 10 Januari 2017 lalu. Dalam kasus ini, empat orang ditetapkan sebagai tersangka.

Berawal saat Sisko Mataheru (19), salah satu dari empat senior, meminta enam juniornya berkumpul di Gedung Dormitory 4 kamar M205, usai latihan drum band, pukul 22.00 WIB.

Di lokasi itu, para junior mendapatkan penganiayaan, termasuk Amirullah. Para korban diminta ke lokasi untuk mendapatkan penganiayaan. Amirullah yang dihantam bertubi-tubi oleh para seniornya pun tumbang. Amirullah dinyatakan meninggal dunia.